Sabtu, 20 Oktober 2012

Menganiaya Wartawan Melanggar Konstitusi



Menganiaya Wartawan Melanggar Konstitusi
S Sinansari Ecip ; Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi
KOMPAS, 20 Oktober 2012


Kamu orang mati kalau ambil gambar!” kata tentara itu. Lalu Didik ditendang, dibanting, ditindih, dicekik, dan dipukul. Kamera fotonya dirampas. Beberapa wartawan lain juga dapat perlakuan yang kasar dari oknum TNI AU.

Apa yang salah? Tentara itu letnan kolonel, perwira menengah, dengan jabatan Kadispers. Dengan pangkat tinggi dan jabatannya yang berhubungan dengan pers, mestinya tak terjadi penganiayaan seperti itu. Ancaman ”mati kalau ambil gambar”, apa artinya? Mengambil gambar akan dimatikan atau ada peluru kendali di pesawat yang bisa tiap saat meledak?

Memperhatikan penganiayaan dan perampasan kamera foto itu, arahnya adalah akan dilakukan tindakan kasar sampai mati. Jika untuk menghindari ledakan peluru kendali, masyarakat, termasuk wartawan, dihalau saja.

”Tindakan itu untuk melindungi rahasia,” kata Kepala Staf TNI AU Marsekal Imam Sufaat di Jakarta sembari minta maaf. Apa yang rahasia? Pesawat yang jatuh dan terbakar itu berada di tempat terbuka, di luar landasan udara, siapa saja boleh menonton. Beberapa orang yang mengabadikan peristiwa dengan telepon genggamnya dapat hardikan dan dirampas peralatannya. Tak ada yang perlu dirahasiakan karena ”rahasia” pesawat tempur itu dapat dicari di internet.

Bahan tentang peristiwa di Pekanbaru, Riau, Selasa (16/10), diambil dari berbagai situs berita dan Kompas. Pada intinya, tak boleh ada kekerasan. Wartawan dan masyarakat cukup diberi peringatan dan penjelasan, misalnya dengan menggunakan megafon. ”Kami tak tahu undang- undang jurnalistik, yang kami tahu undang-undang komandan,” kata tentara. Maksudnya mungkin Kode Etik Jurnalistik atau mungkin UU Pers.

Menyedihkan! Di tingkat perwira menengah, tak hanya di TNI AU, tetapi juga di polisi, mereka tak kenal UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Cepatnya pergantian jabatan mengakibatkan adanya pejabat baru yang tertinggal dalam memahami banyak hal berkaitan dengan tugasnya. Sosialisasi tidak menyeluruh, tetapi hanya tambal sulam.

Pada masa Orba, pemerintah sangat dominan. Angkatan bersenjata sebagai alat pemerintah juga sangat berkuasa. Warga takut kepada mereka, tidak merasa terlindungi. Tindak sewenang- wenang aparat bersenjata sering terjadi tanpa perlawanan.

Masuk masa Reformasi banyak perubahan. Pemerintah tak lagi menjadi tukang perintah, tetapi pelayan masyarakat. Misi itu sangat belum berhasil. Penataan belum disertai pelaksanaan yang mantap karena, antara lain, kurangnya pengendalian atasan. Masyarakat berubah berani melawan tentara dan polisi. Perha- tikan konflik di Jawa Timur, antara lain dengan TNI AL di sekitar Pasuruan, konflik dengan polisi sampai membakar pos-pos polisi di Sumatera.

Perubahan penting terjadi di lingkungan pers. UU pertama yang lahir setelah memasuki Reformasi adalah UU No 40/1999 tentang Pers pada zaman Presi- den BJ Habibie. Untuk menerbit- kan media cetak, tak perlu izin lagi. Tiada sensor adalah bagian kebebasan yang luar biasa.

Bagian penting UU Pers adalah Pasal 4 Ayat (1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; (2) Terhadap pers nasional tak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran; (3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Menurut Pasal 6, pers nasional melaksanakan perannya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, serta mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Manakala ada pelanggaran, ada ketentuan pidananya pada Pasal 18 Ayat (1). Setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan Pasal 4 Ayat 2 dan Ayat 3 dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Jadi, penganiayaan terhadap wartawan yang menjalankan tugas berarti melakukan bagian dari prapenyensoran (Ayat 2) dan menghalangi tugas jurnalisme (Ayat 3). Maaf-memaafkan itu baik. Kesantunan itu tidak menghilangkan pidana. Penganiayaan adalah tindak pidana umum. Tak perlu ada pengaduan. Kita tunggu hasilnya!

Langgar UUD

Sebelum ada amandemen UUD 1945, soal kebebasan pers hanya disebut agak tersamar pada Pasal 28: kemerdekaan berse- rikat dan berkumpul, mengeluar- kan pikiran dengan lisan dan tu- lisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Amandemen menghasilkan tambahan yang tak kurang pentingnya.

Pasal 28F: setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosi- alnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Isi Pasal 28F itu sering disebut kegiatan jurnalisme (UU Pers Pasal 1 Ayat 1). Lembaga yang menjalankan kegiatan jurnalisme disebut pers.

Siapa pun, termasuk aparatur pemerintah, sekarang perlu hati-hati. Penganiayaan terhadap war- tawan yang menjalankan tugas akan dipidana karena menghambat/menghalangi proses informasi yang terbuka. Hukumannya kurungan atau denda uang. Jadi, penghambat itu juga melanggar UUD alias konstitusi.

Wartawan juga harus sadar diri dalam menggunakan perlindungan hukumnya. Mereka lebih dihargai jika tampil lebih santun. Kepada siapa pun, berkomunikasilah dengan ramah tanpa kehilangan harga diri. Tugas Saudara mulia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar