Korupsi,
Refleksi Kondisi Negeri
Naufal Azizi ; Peneliti di Daksinapati Institute Jakarta
|
SUARA
KARYA, 03 Oktober 2012
Negara dan bangsa ini hingga kini sulit lepas
dari keterkungkungan. Meski pejajahan fisik telah lenyap, setidaknya muncul
penjajahan model baru. Ambil contoh, kebijakan sistem yang pro-asing. Sistem
global seakan kian kental mengikat. Seolah terkecoh pada kekuatan luar.
Apalagi, diperparah dengan gurita lokal. Korupsi makin merajalela. Menyeret
mental bahkan mendarah daging. Kinerja birokrasi lemah yang tak junjung sembuh.
Belum lagi, kelanggengan patologi sosial. Gejolak tersebut makin tak
mendapatkan tempat penyelesainnya. Hingga hari ini, kita serasa terjajah oleh
sesama saudara sendiri.
Selain itu, demokrasi masih primordial. Politik
kartel sering digalang. Tak ayal, kerap kali ditemukan politisi kutu loncat.
Sekali lagi, hanya mengejar kemenangan. Sulit diharapkan tentang pencarian
kesejahteraan rakyat. Begitulah tameng kekuasaan dijalankan.
Lembaga survei pun
disulap jadi sekedar tontonan. Memasang jutaan uang demi pencitraan. Perbaikan
demokrasi serasa dilecehkan. Layaknya permainan opera. Berhenti pada tataran
selebrasi atau cukup melirik simpatisan.
Secara terminologi, makna
kemerdekaan adalah kemenangan atas segala perjuangan. Cita-cita meraih
kebebasan. Melepas dari sebuah kungkungan. Akan tetapi, fakta sosial telah
tergelincir atau sengaja digelincir. Kemenangan dilakukan dengan frontal. Jauh
dari batasan normal. Psikologi seolah terguncang. Akibatnya, si tertindas kini
seolah jadi penindas baru. Harusnya bangsa ini bisa belajar dari kondisi
timpang masa lalu.
Demikianlah pesan Thedorno
W Adorno (1973) dalam Negative Dialectics.
Padahal, di kala itulah manusia mencari pemaknaan hidup. Tapi, hal semacam ini
terus terulang. Cita-cita bangsa bak tinggal tulang.
Bangsa ini seolah salah kaprah. Saat kesetaraan
sudah didapatkan, mereka yang dulu tertindas malah balik menindas. Sembunyi di
balik kebutuhan-kebutuhan transaksional. Bukan mengatasi kesenjangan malah
menimbulkan keterpurukan. Sungguh disayangkan, praktik korupsi makin telanjang
di mata banyak orang. Kedewasaan bangsa terus diseret pada masalah-masalah
klasik.
Walaupun begitu kita tentu patut bersyukur atas
kinerja KPK yang terus garang terhadap para koruptor. Beberapa pejabat terendus
dan terseret ke ruang tahanan. Kasus nyudruknya sang cicak ke markas buaya
semoga benar-benar jadi pelajaran bagi pihak kepolisian. Pihak kepolisian harus
legowo atas upaya yang dilakukan oleh KPK. Bisa jadi ini akan jadi batu
loncatan bagaimana mengubur budaya korupsi di lingkungan mereka sendiri. Aturan
hukum segara dilaksanakan. (Suara Karya 2/7).
Meski begitu sangat ironis sepertinya. Satu
sisi, budaya korupsi kian tak kunjung padam. Sisi lain, di hari kemerdekaan dan
lebaran biasanya para koruptor telah mendapatkan remisi ataupun grasi. Sebuah
pemasungan hukuman. Padahal, korupsi sudah jadi an extraordinary crime. Tidak perlu dispesialisasikan. Mungkin kita
masih ingat bagaimana moratorium remisi ditolak tegas oleh para politisi yang
teriak-teriak sendiri memberangus korupsi. Logika apa yang mereka pakai? Apa
malah gak bikin koruptor kapok?
Ruang Singgah
Sudah saatnya ruang gerak para koruptor
disempitkan. Jangan beri celah bagi mereka. Hilangkan model birokrasi
patrimonial. Lantaran model kekuasaan tersebut mendorong kesempatan untuk
melakukan tindak korupsi. Jika tidak bakal memberikan bumerang sendiri bagi
bangsa ini. Krisis kemanusian berkepanjangan sudah terlampau sulit diurai.
Korupsi menjelma sebagai budaya. Bila dibiarkan akan menggerus struktur serta
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Seidler (1994), selain faktor kondisi
sosial, korupsi juga erat kaitannya dengan mental. Kehancuran dan pembusukan
mental korupsi akan tetap langgeng di masyarakat apabila individu-individu yang
terkait hanya mengarahkan diri pada pemenuhan nafsu untuk kebahagiaan individu.
Dan, tentu money making adalah
orientasi utama. Tak salah jika mental adalah modal utama untuk menangkis
setiap kesempatan korupsi yang ada. Selain itu juga, menjauhkan dari budaya
permisif berlebihan.
Tahanan mestinya jadi barang ampuh buat
koruptor. Sebisa mungkin bikin mereka jera. Belum lagi, ditambah pemotongan
hukuman saat hari-hari tertentu. Bisa jadi hari kemerdekaan dan lebaran
merupakan hari kelanggengan koruptor. Hari Kemerdekaan jadi kesempatan emas
bagi para koruptur. Selain itu efek sosial harus juga berperan penting. Yang
terjadi malah sebaliknya, tahanan sekedar batas singgahan waktu bagi para
koruptor. Sekedar menunda pelaksanaan korupsi. Hukum pun bisa disulap sehingga
dampaknya setiap urusan korupsi belum menemukan ujungnya. Kasus Anggodo,
Centrury, Hambalang dan banyak lagi. Semua itu cuman jadi penghias hilir. Tak
ada penyelesaian berarti.
Semangat kemerdekaan harus dijadikan sebagai
refleksi membangun kekokohan fondasi bangsa. Problem korupsi memang tak bisa
diterka. Bisa berlaku sepanjang masa. Menyentuh siapa saja. Maka, kita harus
siaga. Di samping itu, upaya institusi penegak hukum memberangus korupsi wajib
diapresiasi dan didukung. Proses penegakan hukum adalah elemen utama. Dengan
demikian, membaca makna kemerdekaan tidak parsial. Bukan dipakai sebagai jalan
penyebrangan.
Kemerdekaan bukanlah ruang pencurian remisi, bukan pula ruang
pemanfaatan perlokusi. Tapi, bisa menjadi wujud koreksi diri sendiri menuju
sikap pribadi yang termaknai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar