Rabu, 03 Oktober 2012

Korupsi, Refleksi Kondisi Negeri


Korupsi, Refleksi Kondisi Negeri
Naufal Azizi  ;  Peneliti di Daksinapati Institute Jakarta
SUARA KARYA, 03 Oktober 2012


Negara dan bangsa ini hingga kini sulit lepas dari keterkungkungan. Meski pejajahan fisik telah lenyap, setidaknya muncul penjajahan model baru. Ambil contoh, kebijakan sistem yang pro-asing. Sistem global seakan kian kental mengikat. Seolah terkecoh pada kekuatan luar. Apalagi, diperparah dengan gurita lokal. Korupsi makin merajalela. Menyeret mental bahkan mendarah daging. Kinerja birokrasi lemah yang tak junjung sembuh. Belum lagi, kelanggengan patologi sosial. Gejolak tersebut makin tak mendapatkan tempat penyelesainnya. Hingga hari ini, kita serasa terjajah oleh sesama saudara sendiri.

Selain itu, demokrasi masih primordial. Politik kartel sering digalang. Tak ayal, kerap kali ditemukan politisi kutu loncat. Sekali lagi, hanya mengejar kemenangan. Sulit diharapkan tentang pencarian kesejahteraan rakyat. Begitulah tameng kekuasaan dijalankan. 

Lembaga survei pun disulap jadi sekedar tontonan. Memasang jutaan uang demi pencitraan. Perbaikan demokrasi serasa dilecehkan. Layaknya permainan opera. Berhenti pada tataran selebrasi atau cukup melirik simpatisan.

Secara terminologi, makna kemerdekaan adalah kemenangan atas segala perjuangan. Cita-cita meraih kebebasan. Melepas dari sebuah kungkungan. Akan tetapi, fakta sosial telah tergelincir atau sengaja digelincir. Kemenangan dilakukan dengan frontal. Jauh dari batasan normal. Psikologi seolah terguncang. Akibatnya, si tertindas kini seolah jadi penindas baru. Harusnya bangsa ini bisa belajar dari kondisi timpang masa lalu
Demikianlah pesan Thedorno W Adorno (1973) dalam Negative Dialectics. Padahal, di kala itulah manusia mencari pemaknaan hidup. Tapi, hal semacam ini terus terulang. Cita-cita bangsa bak tinggal tulang.

Bangsa ini seolah salah kaprah. Saat kesetaraan sudah didapatkan, mereka yang dulu tertindas malah balik menindas. Sembunyi di balik kebutuhan-kebutuhan transaksional. Bukan mengatasi kesenjangan malah menimbulkan keterpurukan. Sungguh disayangkan, praktik korupsi makin telanjang di mata banyak orang. Kedewasaan bangsa terus diseret pada masalah-masalah klasik.

Walaupun begitu kita tentu patut bersyukur atas kinerja KPK yang terus garang terhadap para koruptor. Beberapa pejabat terendus dan terseret ke ruang tahanan. Kasus nyudruknya sang cicak ke markas buaya semoga benar-benar jadi pelajaran bagi pihak kepolisian. Pihak kepolisian harus legowo atas upaya yang dilakukan oleh KPK. Bisa jadi ini akan jadi batu loncatan bagaimana mengubur budaya korupsi di lingkungan mereka sendiri. Aturan hukum segara dilaksanakan. (Suara Karya 2/7).

Meski begitu sangat ironis sepertinya. Satu sisi, budaya korupsi kian tak kunjung padam. Sisi lain, di hari kemerdekaan dan lebaran biasanya para koruptor telah mendapatkan remisi ataupun grasi. Sebuah pemasungan hukuman. Padahal, korupsi sudah jadi an extraordinary crime. Tidak perlu dispesialisasikan. Mungkin kita masih ingat bagaimana moratorium remisi ditolak tegas oleh para politisi yang teriak-teriak sendiri memberangus korupsi. Logika apa yang mereka pakai? Apa malah gak bikin koruptor kapok?

Ruang Singgah

Sudah saatnya ruang gerak para koruptor disempitkan. Jangan beri celah bagi mereka. Hilangkan model birokrasi patrimonial. Lantaran model kekuasaan tersebut mendorong kesempatan untuk melakukan tindak korupsi. Jika tidak bakal memberikan bumerang sendiri bagi bangsa ini. Krisis kemanusian berkepanjangan sudah terlampau sulit diurai. Korupsi menjelma sebagai budaya. Bila dibiarkan akan menggerus struktur serta sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut Seidler (1994), selain faktor kondisi sosial, korupsi juga erat kaitannya dengan mental. Kehancuran dan pembusukan mental korupsi akan tetap langgeng di masyarakat apabila individu-individu yang terkait hanya mengarahkan diri pada pemenuhan nafsu untuk kebahagiaan individu. Dan, tentu money making adalah orientasi utama. Tak salah jika mental adalah modal utama untuk menangkis setiap kesempatan korupsi yang ada. Selain itu juga, menjauhkan dari budaya permisif berlebihan.

Tahanan mestinya jadi barang ampuh buat koruptor. Sebisa mungkin bikin mereka jera. Belum lagi, ditambah pemotongan hukuman saat hari-hari tertentu. Bisa jadi hari kemerdekaan dan lebaran merupakan hari kelanggengan koruptor. Hari Kemerdekaan jadi kesempatan emas bagi para koruptur. Selain itu efek sosial harus juga berperan penting. Yang terjadi malah sebaliknya, tahanan sekedar batas singgahan waktu bagi para koruptor. Sekedar menunda pelaksanaan korupsi. Hukum pun bisa disulap sehingga dampaknya setiap urusan korupsi belum menemukan ujungnya. Kasus Anggodo, Centrury, Hambalang dan banyak lagi. Semua itu cuman jadi penghias hilir. Tak ada penyelesaian berarti.

Semangat kemerdekaan harus dijadikan sebagai refleksi membangun kekokohan fondasi bangsa. Problem korupsi memang tak bisa diterka. Bisa berlaku sepanjang masa. Menyentuh siapa saja. Maka, kita harus siaga. Di samping itu, upaya institusi penegak hukum memberangus korupsi wajib diapresiasi dan didukung. Proses penegakan hukum adalah elemen utama. Dengan demikian, membaca makna kemerdekaan tidak parsial. Bukan dipakai sebagai jalan penyebrangan.

Kemerdekaan bukanlah ruang pencurian remisi, bukan pula ruang pemanfaatan perlokusi. Tapi, bisa menjadi wujud koreksi diri sendiri menuju sikap pribadi yang termaknai. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar