Selasa, 23 Oktober 2012

Kompleksitas Keamanan Nasional


Kompleksitas Keamanan Nasional
Fahmi Alfansi P Pane ;  Tenaga Ahli DPR RI
REPUBLIKA, 22 Oktober 2012

 
Perdebatan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Keamanan Nasional terjadi karena perbedaan definisi, cakupan, rancang bangun sistem, dan manajemen keamanan nasional. Perbedaan pandangan yang tajam juga disebabkan oleh persepsi dan pengalaman terhadap sistem, kebijakan, dan tindakan aparat keamanan pada masa lalu. Bahkan, kompleksitas keamanan nasional di Indonesia juga disumbangkan oleh perbedaan perspektif dan kepentingan dari birokrasi, aparat keamanan, dan pemangku kepentingan.
Sebagian pihak memandang, keamanan nasional secara tradisional dengan batasan yang lebih sempit dan ketat. Isu keamanan nasional lebih dipandang sebagai ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan negara, terutama dari ancaman militer dan bersenjata. Sebagian orang melihat keamanan nasional secara lebih luas, mendalam, dan menyeluruh. Isu keamanan nasional tidak hanya sebatas ancaman terhadap kedaulatan negara dan keamanan dari pihak asing, tetapi juga berupa keamanan insani (human security) dan keamanan publik.
Namun, perspektif modern ini dalam konteks Indonesia terlihat bercabang dua.
Cabang pertama mengakui sumber ancaman tidak lagi sebatas ancaman militer dan bersenjata, tetapi strategi penindakan tetap pada pendekatan keamanan tradisional, seperti terbaca pada RUU Keamanan Nasional. Semua aktor keamanan tradisional disebut jelas, mulai dari TNI, Polri, Kejaksaan Agung, BIN, BNN (Badan Nasional Narkotika), hingga BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), baik sebagai unsur keamanan nasional/daerah, Dewan Keamanan Nasional/Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, serta komando dan kendali penyelenggara.
Pertanyaannya, bagaimana mau membangun kapasitas pendeteksian dini dan penindakan terhadap ancaman potensial keamanan pangan, sabotase produksi/ distribusi tanaman buah-buahan, sawit, dan hutan Indonesia? Mengapa terhadap perang sibernetika (cyber warfare) yang nyata dan potensi kerusakannya besar, peran Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Riset dan Teknologi, dan Lembaga Sandi Negara, tidak disebut dalam RUU Keamanan Nasional?
Cabang kedua melihat masalah dan kerangka solusi secara luas dan menguta- makan pendekatan nonkekerasan dalam penyelesaian ancaman keamanan yang bukan ancaman militer dan bersenjata. Misalnya, kasus korupsi dan kegagalan penindakan korupsi sistemik adalah sumber ancaman keamanan. Ketika akan timbul demonstrasi dan konflik horizontal karena hal tersebut, penyelesaiannya bukan dengan mengantisipasi demontrasi melalui penguatan intelijen atau penindakan di lapangan, melainkan segera memenuhi harapan publik menindak pelaku korupsi dengan lebih keras sesuai hukum.
Sementar penilaian terhadap RUU Keamanan Nasional dari pengalaman traumatik masa lalu dirasa kurang adil dan objektif. Dari regulasi, kebijakan, dan proses politik terlihat kecil sekali kemungkinan Indonesia akan kembali seperti era orde baru. Bahkan, penindakan terorisme yang dalam beberapa kasus dirasa berlebihan juga dapat dikritik tanpa menimbulkan kekhawatiran bagi pengkritik Polri.
Kompleksitas lain Namun, ada sumber kompleksitas lain yang agaknya luput diperhatikan. Sepanjang pengamatan penulis, biasanya RUU bidang pertahanan dan keamanan sangat sulit untuk disetujui. Bila sudah disetujui, implementasinya dihadang hambatan internal dan eksternal.
Misalnya, pada 2009 RUU Rahasia Ne gara yang sudah hampir rampung mendadak ditarik lagi oleh pemerintah sesudah diprotes LSM dan media. Yang menarik adalah UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 15 tentang Dewan Pertahanan Nasional tidak kunjung terlaksana, bahkan akan dilikuidasi bila RUU Keamanan Nasional disetujui.
Begitu pula UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 9 ayat 1 huruf f tentang Pelak - sana Tugas Pokok di Daerah, khususnya untuk urusan Kementerian Pertahanan (Kemhan). Hingga kini, kita belum mendengar instansi vertikal Kemenhan telah berjalan di 33 provinsi atau sekurang-kurangnya dibentuk 10-15 kantor wilayah karena keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia.
Penerapan UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, terutama Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 1 tentang Koor dinasi Penyelenggaraan Intelijen Negara di Bawah Badan Intelijen Negara (BIN) juga diragukan terlaksana dengan baik. Indikasinya, masih banyak konflik horizontal, seperti tawuran antarpelajar/mahasiswa dan antarwarga, pencurian ikan, penyelundupan solar, korupsi, dan lain-lain. Padahal, semua penyelenggara intelijen di bawah koordinasi BIN.
Masalahnya bukan pada Presiden dan DPR. Buktinya, undang-undang tersebut dibuat atas persetujuan DPR bersama Presiden. Bahkan, Presiden RI melalui Perpres Nomor 41 Tahun 2010 menegaskan, pembentukan instansi vertikal Kemhan di daerah merupakan salah satu kebijakan pertahanan integratif. Apakah masalahnya pada birokrasi sipil, anggaran, ataukah ada tafsir berbeda tentang tugas TNI dalam pemberdayaan wilayah pertahanan?
Kompleksitas di atas selaiknya menjadi pertimbangan pemerintah, sehingga memprioritaskan penyempurnaan substansi, ekstensifikasi konsultasi publik, dan intensifikasi berbagi pengetahuan dengan fraksi/partai politik dan institusi keamanan dalam negeri. Menurut Balogun dan Hailey (2008, Exploring Strategic Change, hlm 194), perubahan yang kompleks memerlukan pemahaman yang mendalam dan bentuk komunikasi yang lebih beragam, terutama komunikasi lang sung perorangan atau kelompok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar