Ironi Negara
Maritim
Oki Lukito ; Ketua
Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan
|
KOMPAS,
17 Oktober 2012
Hanya dalam waktu tiga hari, di akhir
September 2012, tiga peristiwa naas terjadi di laut.
Pertama kapal Bahuga Jaya yang mengangkut
lebih dari 200 penumpang di perairan Selat Sunda, Rabu (26/9), bertabrakan
dengan tanker asal Singapura, MT Norgas Cathinka. Dalam peristiwa tersebut
sedikitnya 7 penumpang Bahuga tewas.
Dua hari kemudian, 28 September 2012,
sebuah kapal baru milik Bronville Weroh, yang memuat 50 penumpang, tenggelam
dalam pelayaran perdana di perairan Palue, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa
Tenggara Timur. Dua orang dinyatakan meninggal, seorang penumpang hilang.
Peristiwa lain yang membuat kita mengelus
dada adalah terbakarnya KRI Klewang seharga Rp 114 miliar milik TNI AL, yang
baru diluncurkan pada 31 Agustus 2012 dari galangan kapal PT Lundin Industry
Invest, Banyuwangi. Tak satu barang pun dari kapal itu bisa diselamatkan.
Tiga peristiwa mengenaskan itu menambah
panjang jumlah musibah di laut, yang hampir setiap bulan terjadi sepanjang
tahun. Rentetan peristiwa ini membuktikan, pemerintah tak berusaha secara konkret
menata sistem transportasi laut nasional yang sistematis, efektif, efisien,
dan aman. Dampaknya, musibah di laut terus berulang.
Kelalaian
Dalam peristiwa kecelakaan laut pada
umumnya semua pihak (otoritas pelabuhan, operator kapal, penumpang, dan petugas)
lalai mematuhi aturan. Kapal sering mengangkut penumpang melebihi kapasitas.
Petugas meloloskan kendaraan atau penumpang yang membawa barang mudah
terbakar atau meledak. Petugas juga terlalu percaya pada surat pernyataan
pengemudi kendaraan tentang barang yang diangkut, tanpa melakukan pengecekan
fisik di lapangan.
Jika dicermati, pembangunan kelautan selama
tiga dasawarsa terakhir kurang dapat perhatian dan selalu diposisikan sebagai
pinggiran dalam pembangunan ekonomi nasional. Kondisi ini sangat ironis
mengingat hampir 70 persen wilayah Indonesia merupakan laut dengan potensi
ekonomi sangat besar. Kita memang tak memiliki keberpihakan politik ataupun
ekonomi dalam pembangunan kelautan.
Sebagai negara kepulauan dengan wilayah
perairan sangat luas, Indonesia hanya punya satu undang-undang yang mengatur
tentang penggunaan laut, yaitu UU No 21/1992 tentang Pelayaran, disempurnakan
dengan UU No 17/2008. UU itu digunakan untuk mengontrol dan mengawasi semua
jenis kegiatan di perairan Indonesia.
Dalam ketentuan umum UU Pelayaran
disebutkan, pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan
di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan
lingkungan maritim. Kegiatan pelayaran pada umumnya adalah mengangkut barang
atau penumpang dari satu lokasi ke lokasi lain atau dari pelabuhan ke
pelabuhan lain, keselamatan pelayaran, dan perlindungan lingkungan maritim
dari pencemaran bahan-bahan pencemar yang berasal dari kapal. Kegiatan itulah
yang diatur UU Pelayaran.
Peraturan atau UU untuk kegiatan lain,
seperti perikanan, pariwisata, pertambangan migas di lepas pantai, semua
mengacu pada UU Pelayaran. Padahal, jenis kegiatan yang dilakukan sangat
berbeda dengan kapal-kapal berlayar antar-pelabuhan mengangkut barang atau
penumpang.
Kebijakan Kelautan
Secara historis, kebijakan di bidang
kelautan dirintis sejak 13 Desember 1957 melalui Deklarasi Djuanda, yang
mengubah visi hukum laut internasional. Pasca- Deklarasi Juanda inilah muncul
beberapa kebijakan dan peraturan berkaitan kelautan, yang mengukuhkan
yurisdiksi perairan Indonesia. Di antaranya UU No 5/1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, Konvensi Hukum Laut 1982 (UU No 17/1985) sebagai
pengganti UU No 4/1960, UU No 45/2005 tentang Perikanan. Namun, sampai saat
ini kebijakan pemerintah tentang kelautan belum muncul sebagai sebuah
kebijakan politik dan ekonomi yang signifikan dalam pembangunan bangsa secara
nasional sebagai negara bahari.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS)
1982 dan Konvensi Organisasi Maritim Internasional (IMO) telah mengakui
Indonesia secara internasional sebagai negara kepulauan. Konvensi IMO yang
sudah diratifikasi oleh Indonesia sebagai standar kelaiklautan kapal
melakukan persaingan dapat digunakan sebagai dasar membuat peraturan menjaga
keselamatan, keamanan, dan perlindungan lingkungan pelayaran. Namun, sangat
disayangkan, sampai sekarang pemerintah belum serius menggunakan kemudahan
yang telah disepakati bersama oleh negara-negara anggota IMO itu.
Jika hal itu dapat dituntaskan, gagasan tentang
kebijakan kelautan dalam pembangunan ekonomi nasional jadi sebuah pilihan
politik yang harus dilakukan pemerintah. Kebijakan inilah yang akan jadi
payung politik kebijakan pemerintah—pusat dan daerah—untuk menjadikan bidang
kelautan sebagai arus utama pembangunan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar