Indonesia
Dikepung Para Koruptor
Ahmad Ubaidillah ; Mahasiswa pada Program Magister Studi Islam
UII Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 20 Oktober 2012
Gurita
korupsi di era pemerintahan SBY-Boediono semakin menggila. Kasus demi kasus
telah menyeret sejumlah penguasa di negeri ini ke penjara.
Yang
lebih menyedihkan lagi, cengkeraman para koruptor yang merusak harkat dan
martabat bangsa tersebut tidak ditumpas secara serius oleh orang nomor satu
di negeri ini (baca: Presiden SBY). Ringkasnya, pemberantasan korupsi belum
memenuhi harapan rakyat Indonesia.
Alih-alih
gong reformasi menjadi pertanda berakhirnya praktik korupsi, justru korupsi
semakin berkembang biak. Alih-alih koruptor bisa dihabisi oleh para penegak
hukum, malah yang terjadi penegak hukum diringkus para koruptor. Bahkan,
aparat penegak hukum terlibat korupsi.
Lihatlah
misalnya orang-orang partai politik, birokrat, pengusaha, bahkan penegak
hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim telah berkembang menjadi tempat
pembibitan koruptor. Tindak pidana korupsi telah bersemayam di semua lembaga
negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Kalau
di Orde Baru korupsi mungkin lebih banyak bersarang di pusat pemerintahan,
kini sudah menyebar ke hampir semua lapisan pemerintahan daerah seiring
dengan otonomi dan desentralisasi. Dari jutaan, miliaran hingga triliunan rupiah
uang APBN/APBD mengalir deras ke kantong-kantong pribadi dan kelompoknya.
Apalagi,
saat ini ada semacam regenerasi koruptor yang memang berlangsung secara
sistematis dan terencana. Lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif telah
menjadi persemaian yang subur bagi generasi-generasi baru koruptor. Lihat
saja beberapa anak muda dari kalangan partai politik, birokrasi, pengusaha,
dan sebagainya yang kini tersandung korupsi dan harus berurusan dengan
penegak hukum.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa koruptor-koruptor muda itu membentuk komunitas
kemudian larut dalam gaya hidup hedonis, foya-foya dan hura-hura. Dari
menggunakan narkoba, minuman keras, hingga membeli pekerja seks komersial
(PSK) demi melampiaskan nafsu bejatnya.
Mereka
bergerak liar dari hotel ke hotel melakukan transaksi gelap dan haram. Mereka
membicarakan fee proyek yang dibiayai, baik dari uang APBN maupun APBD yang
kemudian mengalir ke rekening istri, anak, atau kerabat.
Para
koruptor muda itu seperti bunglon yang mudah bersalin warna. Mereka juga bak
siluman yang sudah tidak mempan lagi dibacakan doa. Di depan televisi mereka
membungkus kejahatannya sebagai pembela rakyat dan pejuang aspirasi
masyarakat dengan menggunakan simbol agama (misalnya jilbab) sebagai tameng.
Yang tidak bisa dinalar lagi, mereka masih sempat pringas-pringis di depan
publik.
Melihat
realitas yang semakin tidak menguntungkan bagi kemajuan bangsa ini, sungguh
kita perlu prihatin. Bangsa yang sedang menjalani proses demokratisasi
terjerat kaderisasi koruptor. Tidak ada kalimat yang tepat bagi kita semua
kecuali “kita harus melawan korupsi”. Bangsa Indonesia tidak boleh kalah
dengan penguasa korup.
Maka
dari itu, semua rakyat Indonesia yang jumlahnya ratusan juta ini, tidak boleh
lengah oleh kelakuan dan akal bulus para koruptor. Rakyat harus bersatu
melakukan pengawasan berlapis atas semua proses penyelenggaraan negara.
Masyarakat
harus mewaspadai upaya pelemahan KPK sebagai lembaga pembumi hangus koruptor
oleh sejumlah elite DPR. Kita jangan membiarkan negara tercinta ini menuju
negara gagal hanya karena para penyelenggara negaranya korup.
Selain
itu, kewenangan penuntutan dan penyadapan yang dimiliki KPK perlu diperkuat
lagi. Pemiskinan koruptor melalui Undang-Undang Pencucian Uang mutlak
diperlukan agar anak-anak muda berpikir ulang sebelum melakukan korupsi.
KPK
harus membuat miskin para koruptor dengan menyita semua harta kekayaan,
terutama hasil rampokan uang rakyat tersebut (baca: uang korupsi). Negara ini
seharusnya tidak perlu ragu lagi menerapkan hukuman mati bagi para koruptor.
Peran
Presiden
Apakah
cukup sampai di situ penanganan korupsi? Tentu saja tidak. Peran presiden
tidak kalah penting. Presiden sebagai pemimpin bangsa dan negara juga harus
ikut membuat bangsa ini bebas dari generasi korup.
Pidato
presiden beberapa waktu lalu yang mencoba meredam ketegangan antara KPK dan
Polri adalah bentuk ketegasan seorang pemimpin bangsa, meski banyak kalangan
menyebut agak lamban atau hanya memenuhi tuntutan rakyat yang berdemonstrasi
menolak segala bentuk pelemahan terhadap KPK.
Presiden
SBY perlu menyadari kembali bahwa era reformasi sudah menjadi surga bagi para
koruptor. Penanganan yang tidak tuntas atas kasus-kasus besar korupsi,
misalnya kasus Bank Century atau kasus rekening gendut sebagian perwira
polisi, akan menjadi pintu masuk munculnya koruptor-koruptor baru.
Apakah ini
sudah dipikirkan secara bijaksana oleh pemimpin di negeri ini?
Tanpa
adanya tindakan tegas dan berani dari seorang presiden, sangat besar
kemungkinan koruptor-koruptor baru akan terus menggurita serta bebas merampok
uang negara. Kalau ini dibiarkan, sampai kapan pun negeri ini akan selalu
menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Negara ini akan kehilangan
wibawa, baik di mata rakyatnya sendiri maupun di mata masyarakat internasional.
Oleh
karena itu, sudah saatnya tindakan “seolah-olah” atau upaya ”seakan-akan”
dalam memberantas korupsi dan menghabisi para koruptor (muda) segera
dihentikan. Sudah waktunya segala bentuk akal-akalan, tipu muslihat dan
kepura-puraan memberantas korupsi secepatnya diakhiri.
Kini,
rakyat hanya butuh ketegasan dan keberanian seorang presiden. Rakyat sudah
sangat muak dan bosan dengan gaya pemberantasan korupsi yang sekadar pada
tataran citra belaka. Rakyat Indonesia saat ini butuh tindakan nyata dari
pemimpinnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar