Senin, 15 Oktober 2012

Austerity Versus Konsolidasi Fiskal


Austerity Versus Konsolidasi Fiskal
A Tony Prasetiantono ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
KOMPAS, 15 Oktober 2012


Pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia di Tokyo pekan lalu sangat dinamis. Presiden baru Bank Dunia, Jim Yong Kim—sebelumnya adalah Presiden (Rektor) Dartmouth College, merupakan orang Amerika-Asia pertama yang memimpin Universitas Ivy League—berkampanye untuk menyudahi kemiskinan (end poverty). Jim adalah dokter dan antropolog lulusan Harvard yang sebelum di Bank Dunia memang giat menyuarakan isu ini dengan menekankan aspek kesehatan dan kesetaraan jender di negara-negara berkembang.

Data Bank Dunia menunjukkan, hanya 60 persen penduduk yang semestinya bekerja (employable population) kini memiliki pekerjaan. Sementara itu, 24 juta orang kehilangan pekerjaan dalam tiga tahun terakhir, terutama oleh krisis. Obat dari situasi ini adalah berharap agar perekonomian dunia segera tumbuh. Namun, di sisi lain, ekonom terkenal India, Montek Singh Ahluwalia, mengkritisi bahwa statistik pertumbuhan ekonomi tinggi di berbagai emerging markets, termasuk India, ternyata tak mampu menyerap banyak tenaga kerja. Artinya, pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup mengatasi pengangguran dan kemiskinan.

Di Indonesia, isu ini sering kita sebut sebagai ”pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas”. Perekonomian memang tumbuh tinggi, tetapi lemah dalam penyerapan tenaga kerja. Akibatnya, pengangguran tinggi sehingga tidak mampu menyudahi kemiskinan. Situasi ini diakui menyebabkan para pembuat kebijakan frustrasi.

Krisis ekonomi global kali ini serius. Di Yunani sebagai pusat krisis, tingkat penganggurannya sudah 25 persen. Tingkat pengangguran anak muda 55 persen. Di Spanyol, penganggurannya 24 persen dan pengangguran anak muda 53 persen. Portugal bakal sama. Mengerikan. Namun, di sisi lain, pengangguran di Amerika Serikat mulai turun, dari level tertinggi 10 persen (2009) kini 7,8 persen. Masih tinggi, tapi trennya menurun.

Diskusi di Tokyo pun kemudian bergulir, bagaimana menciptakan pekerjaan? Strategi kebijakannya apa? Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde memunculkan gagasan ”konsolidasi fiskal”. Istilah ini pertama kali saya dengar langsung dari Olivier Blanchard, profesor Massachusetts Institute of Technology yang kini Kepala Ekonom IMF, dalam sebuah pertemuan kecil.

Konsolidasi fiskal berbeda dengan austerity, yakni upaya mengatasi krisis global dengan memperketat penggunaan anggaran pemerintah. Yunani kelewat boros menyantuni para penganggur dan pensiunan, sampai harus berutang hingga 160 persen terhadap produk domestik bruto (PDB)-nya. Defisit APBN-nya 17 persen terhadap PDB, padahal batas defisit sehat adalah 2 persen.

Karena itu, Yunani diminta menjalankan ”diet ketat”. Defisitnya diminta turun dari 17 persen ke 3 persen. Akibatnya, rakyatnya protes karena akan langsung menurunkan tingkat kesejahteraannya. Masalah ini kemudian berkembang menjadi isu politik yang mengancam siapa pun penguasanya.

Lagarde mempertanyakan, jika austerity diterapkan, bagaimana mungkin ada stimulus fiskal? Para penganut paham Keynesian pasti meyakini bahwa krisis ekonomi bisa diakhiri dengan cara memompa dana belanja dari pos APBN. Tetapi, kalau APBN dihemat ekstrem, dari mana stimulus diperoleh? Secara teoretis, harapan lain adalah stimulus moneter. Namun, kebijakan suku bunga nyaris nol persen di AS ternyata tidak menolong. Intermediasi finansial tidak jalan.

Karena itu, IMF cenderung berpendapat bahwa austerity justru akan ”membunuh upaya menciptakan lapangan pekerjaan”. Kontraproduktif untuk situasi sekarang. Di sinilah konsolidasi fiskal menemukan relevansinya. Kebijakan fiskal tetap diusahakan bisa menjadi stimulus, tetapi harus disertai reformasi struktural. Perekonomian membutuhkan stimulus fiskal, tetapi tatanan struktural harus dibenahi untuk menjawab kebutuhan jangka menengah dan panjang.

Reformasi struktural adalah hal-hal mendasar yang diperlukan sebuah bangsa, seperti pendidikan, pelatihan, kesehatan, inovasi, dan kewirausahaan. Jika hal ini terus diperkuat, ke depannya akan dapat dibangun perekonomian yang tangguh, yang tidak bergantung pada kemampuan fiskal dan moneter untuk menggerakkan ekonomi.
Untuk mencapai semua itu diperlukan kepemimpinan yang kuat. Hal inilah yang kini banyak diderita negara berkembang, termasuk Indonesia. Menteri Keuangan Swedia Anders Borg, yang didukung Ahluwalia, menekankan pentingnya menyediakan pembiayaan infrastruktur di negara-negara berkembang. Mereka perlu mencontoh China, yang belanja infrastrukturnya 10 persen terhadap PDB, sehingga dapat mendorong perdagangan dan investasi.

Gagasan konsolidasi fiskal tidak menyurutkan pendukung austerity. Mereka berargumen, mendorong stimulus fiskal sama saja menambah utang baru. Pemerintah dapat mendorong belanja jika menerbitkan surat utang baru. Ini akan menjadi beban bagi generasi mendatang. Karena itu, austerity adalah pilihan tepat saat ini.
Ketika debat ini dilakukan dan disiarkan BBC, moderator Nik Gowing mencoba melakukan survei atas 2.000 hadirin yang ada. Dia bertanya: siapa hadirin pendukung austerity dan siapa yang pro-konsolidasi fiskal? Ternyata hasilnya imbang.

Berkaca dari krisis Indonesia tahun 1998, austerity merupakan hal yang tak terhindari, setidaknya jangka pendek. Pemerintah perlu berhemat dan selektif berbelanja. Dampaknya, akan terjadi penderitaan (sacrifice), misalnya maraknya pengangguran. Analoginya, tidak pernah ada pasien dengan tingkat keparahan sakit tinggi yang tidak menderita dalam proses penyembuhannya. Namun, konsolidasi fiskal dan transformasi struktural juga diperlukan secara simultan.

Pemulihan ekonomi tampaknya akan panjang, lebih maraton daripada lari cepat. Para panelis juga menyiratkan bahwa kecepatan pemulihan merupakan masalah besar. Ada yang tetap optimistis dalam 2-3 tahun ke depan kondisi bakal stabil di zona euro dan AS. Namun, ada yang mengatakan 20 tahun karena pemulihan adalah proses gradual. Selain problem utang pemerintah, zona euro juga dilanda masalah pada bank-banknya, perlu rekapitalisasi. Ini mirip Indonesia tahun 1998. Krisis bakal sulit dan panjang, tetapi tidak berarti sudah tak ada ruang lagi untuk berjuang mengatasinya. Inilah inspirasi terpenting dari Tokyo. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar