Tuan Presiden, Rakyat Hanya Ingin Bahagia
Iwan Meulia Pirous ; Pengajar
Departemen Antropologi, FISIP UI
|
KOMPAS,
14 September 2012
”Saya menolak memaksa mahasiswa untuk
membayar lebih banyak atau menghapus tunjangan kesehatan orang miskin, cacat,
dan berusia lanjut, dan terus akan menolak pemotongan pajak untuk orang-orang
yang kaya.”
Kutipan di atas adalah
pidato penerimaan Presiden Obama untuk ikut kembali dalam pemilihan periode
empat tahun ke depan dalam Konvensi Demokrat 2012, Kamis tanggal 6 September
lalu. Katanya lagi, ”Selama saya jadi
presiden, saya takkan pernah minta kepada keluarga kelas menengah untuk
membayar pajak lebih besar hanya semata-mata untuk membantu orang kaya membayar
kewajiban pajak mereka! Kenapa begitu? Sebab itu bukan Amerika yang kita mau!”
Pidato Obama menggetarkan
bukan karena menggunakan bahasa biasa, matematika biasa, dan logika yang
gampang dicerna. Dia tahu apa yang harus dikatakan dan yang tidak.
Menggetarkan karena dia
meyakinkan rakyat pemilihnya bahwa Amerika bisa berubah ke arah yang lebih
baik. Dia tunjukkan rutenya lewat program-program yang paling mendasar:
kepastian tentang keadilan sosial yang bisa dilalui bersama. Menggetarkan
karena dia hangat, bersemangat, dan merangkul pendengarnya.
Menyaksikan Obama bicara 39
menit menukik ke persoalan paling penting, yaitu kewarganegaraan, kepala penuh
dengan pertanyaan sederhana: apakah saya sudah merasa dilindungi di negara
sendiri? Apakah presiden saya sudah melindungi saya seperti bapak melindungi
anak-anaknya? Apakah dia memikirkan saya yang berpenghasilan pas-pasan dengan
pengeluaran terlalu banyak? Apakah dia memikirkan dana pensiun rakyat? Apakah
dia resah dan berdoa untuk keselamatan rakyatnya yang 200 juta lebih? Apakah
UUD 1945 digunakannya untuk melindungi hak-hak dasar saya?
Saya tidak yakin. Raut wajah
presiden terlalu muram di depan publik dan malah cenderung pemarah. Mungkin dia
bahagia ketika mencipta lagu, tetapi rakyat tidak butuh itu. Saya membutuhkan
pemimpin yang memberikan harapan bahwa bahagia itu tak terlalu jauh di depan
mata. Saya butuh presiden yang bisa membangkitkan harga diri. Bukan dengan
monolog mitos-mitos romantis bangsa besar, bukan dengan pencapaian statistik,
bukan dengan instruksi-instruksi moralitas di depan TV, tetapi presiden yang
bisa memahami perasaan rakyat yang terlalu lama menunggu perbaikan nasib
setelah 67 tahun merdeka.
Tentu saja Indonesia tak
sama dengan Amerika. Namun, kesamaan mendasar sebagai negara modern pasti ada.
Sama-sama percaya pada demokrasi walau dikuasai korporasi, kerepotan dengan
utang dan jumlah pengangguran rakyat tinggi, serta diancam oleh terorisme.
Bahkan, secara kultural ada miripnya: sama-sama religius, fobia komunisme, dan
secara alamiah multietnis. Kita sama-sama jatuh-bangun, sakit, dan terancam
oleh ”musuh” dari luar dan dari dalam.
Bedanya, Amerika berusaha
sembuh dan bangkit: kita tidak! Bedanya, Amerika tidak
membiarkan rakyatnya
berjuang sendirian. Kita semua tahu presiden bukanlah Superman, tetapi
setidaknya dia harus terbiasa menepuk-nepuk punggung rakyatnya agar rileks
menghadapi kehidupan keras.
Kewarganegaraan
Perasaan kebangsaan berawal
dari mitos-mitos heroik revolusioner. Namun itu tidak kekal. Nasionalisme
sesungguhnya harus dipelihara dari perlakuan baik negara kepada rakyatnya.
Maka, kewarganegaraan ini apa artinya jika tidak ditunjang dengan pelayanan
publik? Ke mana pajak yang dibayar itu, apakah dikembalikan dalam bentuk
pelayanan dan pemberian rasa aman?
Apa yang hilang dari
Indonesia adalah rasa aman sebagai warga negara. Dalam hal ini, rakyat sudah
berada dalam kondisi bahaya. Kita bisa dibunuh karena kebebasan beragama, mati
di jalan karena hukum rimba lalu lintas, kelaparan karena uang belanja habis,
atau tidak ada uang berobat. Bahkan, kita mungkin saja dihilangkan karena
terlalu galak kepada negara. Keamanan satu-satunya tersisa dalam lingkup kecil
keluarga, kerabat, dan tetangga, itu pun jika ada. Keluarga adalah teritori
hangat yang tak butuh negara dan presiden.
Mungkin presiden saya
tertekan oleh banyak beban sejarahnya sendiri. Dia terpilih karena
koalisi-koalisi dan lobi-lobi yang membuat posisinya sulit. Mungkin dia punya ”masalah kebudayaan sendiri” karena harus
memihak patron politik serta keluarganya sebagai balas budi dan sopan santun.
Mungkin dia takut dibunuh oleh organisasi teroris seperti yang pernah diakuinya
di televisi. Jangan-jangan presiden merasa sendirian juga ketika menuju ke
puncak kekuasaan sehingga tidak perlu memandang pada tangan-tangan rakyat yang
membawanya ke puncak itu. Saya hanya menduga.
Maka, saya butuh presiden
baru yang tak punya beban-beban yang membuatnya tersandung. Orang jujur yang
membuka sejarah diri dan bangsanya kepada publik. Seorang figur yang cepat
minta maaf jika melakukan salah atau meleset dalam menjalankan program.
Presiden yang berani memihak pada kebenaran sekalipun mengancam kredibilitas.
Seorang presiden yang mencintai dan menegakkan hak asasi manusia tanpa pandang
bulu, yang malu terhadap korupsi, dan yang yakin untuk memulai segala hal dari
kejujuran yang bersih. Juga bukan bagian dari masalah kronis Indonesia. Ya,
seseorang yang membuat saya bahagia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar