Jumat, 14 September 2012

Melacur demi Gaya Hidup

Melacur demi Gaya Hidup
Abu Zindy RM ;  Penulis skripsi
''Prostitusi di Kalangan Remaja ABG di Surabaya Tahun 2000''
JAWA POS, 14 September 2012


KEJAHATAN dan praktik prostitusi, tampaknya, tidak pernah habis. Wacana Pemkot Surabaya menutup Lokalisasi Dolly ternyata tidak membuat para pebisnis ''syahwat'' itu kehilangan akal. Mereka beralih dengan menggunakan sarana teknologi informasi (TI). Para pebisnis mengendalikan bisnisnya kapan saja dan di mana saja dengan memanfaatkan kecanggihan TI. 

Unit Kejahatan Umum Satreskrim Polrestabes Surabaya akhirnya berhasil menangkap ratu germo prostitusi online, Keyko, Lanny, dan Nonik, beserta barang bukti berupa 1.600 lembar foto koleksi PSK muda yang siap di-booking on call. Koleksi PSK Keyko di seluruh Indonesia mencapai 1.600 orang yang terdiri atas berbagai latar belakang profesi. Di antaranya, model, karyawan swasta, mahasiswi, dan SPG. 

Ribuan koleksi PSK itu tersebar di setiap provinsi di Indonesia seperti Surabaya, Semarang, Jakarta, dan Bali. Mereka berusia 19-22 tahun. Tarif wanita penghibur itu juga bervariasi, yakni Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta, dengan omzet mencapai ratusan juta per bulan.

Keyko dkk sangat lihai dan memiliki jam terbang cukup tinggi di dunia malam dan prostitusi online di Surabaya. Dia pun cukup piawai dalam merekrut dan menjual cewek-wecek muda kepada laki-laki hidung belang. Dari jasanya sebagai germo, cewek yang sekaligus bekerja sebagai ''pemuas syahwat'' itu mendapat bagian 20-30 persen dari ''anak buahnya''. Praktik prostitusi online Keyko yang melibatkan remaja muda tersebut sudah berlangsung dua tahun. Sudah cukup banyak remaja yang masuk perangkap Keyko. 

Seiring dengan perkembangan Kota Surabaya yang mengarah pada kota megapolitan, praktik prostitusi semakin berkembang. Hasil investigasi wartawan lokal Surabaya pada 2000 menunjukkan, mereka, para penjaja seks ABG itu, relatif berusia muda (usia-usia sekolah, 14-19 tahun). Menurut catatan Yayasan Abdi Asih Surabaya, sekitar 10 persen penghuni kompleks prostitusi Dolly adalah usia muda, yakni 14-19 tahun. 

Dianggap Masih ''Suci'' 

Pelacur remaja memang lebih laku di pasaran. Majalah Gatra menyebutkan, ada pula yang beranggapan pelayanan mereka jauh lebih baik dibanding PSK (WTS) dewasa (Gatra, Oktober 1998). Selain laku di pasaran, mereka, para penjaja seks remaja, terutama yang berusia 14-18 tahun, dianggap ''suci'' dari berbagai virus dan penyakit. Uang yang diraup germo pun jutaan rupiah. 

Jika dulu mobilitas para penjaja seks remaja sangat tinggi untuk menghindari razia aparat, sekarang mereka bisa diam di rumah, sekolah, atau tempat mana pun. Mereka tinggal menungu call dari germonya. Bisnis prostitusi online relatif lebih aman dan nyaman dibanding yang konvensional. Itulah bentuk evolusi bisnis prostitusi di kota-kota besar di Indonesia. Tidak semakin surut, namun justru semakin berkembang supercanggih.

Setidaknya ada tiga kriteria yang mereka gunakan sebagai ukuran dalam memilih pasangan kencan. Yakni, wajah, penampilan, dan usia. Sebanyak 68 persen penjaja seks remaja melihat penampilan sebagai kriteria utama dalam memilih pasangan kencan. Bagi mereka, ukuran penampilan bisa dilihat dari jenis mobil, merek HP yang dipakai, pakaian yang dipakai, dan merek jam tangan yang dipakai. Para penjaja seks remaja tersebut menduga orang seperti itu memiliki banyak uang. Dari kriteria utama yang dipilih para penjaja seks remaja tersebut, terlihat bahwa aspek metrialistis dan gaya hidup merupakan ''ideologi'' sebagian besar di antara mereka dalam melakukan praktiknya.

Hasil investigasi saya (2000) tidak jauh berbeda dalam kaitan dengan pemilihan pasangan kencan para penjaja seks remaja tersebut. Kebanyakan di antara mereka mengincar para advuntir seks itu yang berduit. Dari hasil tersebut juga diketahui, sebagian besar hasil jerih payah mereka lebih digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangan fisik (makan mewah, beli pakaian, sepatu bermerek, dan alat-alat kecantikan).

''Agama'' Gaya Hidup 

Dulu alasan pemenuhan kebutuhan hidup menjadi alasan melacur. Kini kondisi sosio-kultural masyarakat metropolis/urban memberikan daya tarik yang bernama gaya hidup (lifestyle). Gaya hidup itulah yang seolah-olah menjadikan kota laksana surga. Serbamudah, serbanyaman, serbakemilau. Dalam masyarakat semacam itu, budaya meterialistis dan gaya hidup tumbuh subur. Uang serta gaya hidup merupakan dua komponen yang hidup dan berkembang bagaikan sekeping mata uang. 

Karena itu, para penjaja seks remaja tersebut tidak hanya berorientasi pada uang semata (memenuhi kebutuhan dasar). Tetapi, lebih dari itu, bercampur aduk dengan budaya hedonisme permisif atau kesenangan serbaboleh. Uang, bagi mereka, tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup ekonomi semata, namun lebih dari itu, membuat kesenangan dengan mempercantik diri secara fisik.

Uang bisa digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup seseorang, baik kebutuhan dasar (basic need) maupun untuk mempercantik penampilan diri, menjadi sebuah gaya hidup. Namun, di antara berbagai kebutuhan yang ada, kebutuhan mempercantik diri untuk menjadi gaya hidup merupakan primadona dalam kehidupan manusia metropolis. Seseorang rela mengeluarkan uang berapa pun hanya untuk mempercantik diri dan penampilan mulai ujung rambut sampai ujung kaki. 

Konsumsi masyarakat metropolis pada level itu tidak lagi didasarkan pada nilai guna, nilai pakai, tapi lebih pada pembentukan citra atau image atau lebih luas pembentukan gaya hidup. Dalam konteks itu, mereka berbondong-bondong untuk saling mendemostrasikan segala atribut sosial, ekonomi, serta budaya yang diolah menjadi satu dalam sebuah bingkai gaya hidup metropolis.

Sebegitu ''berkuasanya'' dunia materi seakan-akan mengaktualkan kembali sebuah ungkapan Voltaire: ''Dalam perkara uang, semua orang mempunyai 'agama' yang sama.'' Dan prostitusi adalah jalan pintas (dan sesat) yang mudah untuk menyembah ''agama'' uang itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar