Politi(k)si Musiman
Donny Gahral Adian ; Dosen
Filsafat Politik UI
|
KOMPAS,
14 September 2012
Seperti durian, politik pun
memiliki musimnya sendiri. Menjelang Pemilu 2014, orang pun ramai-ramai
berpolitik. Sebagian berpolitik secara terbuka, sebagian tertutup.
Ada yang membangun partai
politik, ada pula yang sekadar indekos di partai politik. Komoditas politik
yang ditawarkan beraneka ragam, mulai dari integritas, nasionalisme sampai ekonomi
kerakyatan. Gairah yang luar biasa ini membuat partai politik pun membeludak.
Dari hasil verifikasi administratif Komisi Pemilihan Umum, 34 partai politik
berhasil lolos (Kompas, 11/9/2012). Politik pun direduksi jadi urusan kertas
dan mesin fotokopi.
Politik Musiman
Beginilah jadinya ketika
politik direduksi menjadi kalender dan jadwal. Setiap lima tahun sekali orang
ramai-ramai mempertaruhkan investasi sosial dan politiknya di meja judi
politik. Ada yang berhasil dan ada yang tidak. Semua itu bukan perkara
sesungguhnya. Yang terpenting adalah keterlibatan dan kemungkinan terpilih.
Politik adalah seni kemungkinan. Siapa yang nyana Partai Demokrat dapat meraup
20 persen suara di Pemilu 2009. Politik adalah nubuat bagi mereka yang percaya
pada kemungkinan. Masalahnya, semua orang merasa dirinya terpanggil untuk
berpolitik.
Demokrasi bukan momen yang
terjadi sehari-hari. Ibarat pacuan kuda, dia diadakan secara reguler dan
terjadwal. Dia pun menjadi prosedur yang memiliki tahap dan syarat. Alhasil,
orang ramai-ramai menyiapkan syarat dan mengikuti tahap. Seolah politik selesai
saat semua syarat administratif kepartaian dilengkapi. Setiap musim politik
dimulai, kantor-kantor notaris ramai disesaki pengejar legalitas.
Demokrasi adalah ”peristiwa
politik”, bukan ”kejadian politik”. Dia teramalkan sehingga dapat dikendalikan.
Ibarat petani yang menunggu musim hujan, para politisi tahu kapan saat
merekrut, membuat akta, dan mendaftar ke KPU. Demokrasi bisa dikendalikan.
Lembaga survei bekerja siang malam meramalkan suara yang didapat partai
politik. Survei mempertontonkan elektabilitas. Mereka yang masih kurang
elektabilitasnya harus bekerja lebih keras lagi. Musim politik tidak
berlangsung lama. Siapa yang tidak menyiapkan diri dengan baik akan kehilangan
kesempatan dan ditelan sejarah.
Padahal, demokrasi bukan
musim. Dia adalah kejadian yang hidup dalam keseharian yang berdetak. Dia
tersembunyi di map seorang aktivis sosial yang memperjuangkan hak tanah para
petani. Dia bergumam di dalam setiap demonstrasi buruh menolak upah murah.
Demokrasi adalah saat. Saat suara yang tadinya tenggelam dalam keramaian sosial
sekarang terdengar nyaring menuntut perubahan. Dia bukan regularitas, prosedur,
dan nubuat. Dia adalah aksi radikal yang berhadapan dengan masa depan yang
gelap, tak tentu, dan sarat kejutan.
Proseduralisasi demokrasi
membuatnya kehilangan detak politik. Demokrasi prosedural hanya membuat
perebutan kekuasaan menjadi terjadwal sehingga semua dapat mempersiapkan diri.
Tidak ada anomali politik yang dapat membuat perubahan. Sebab, dalam rangka
merebut kekuasaan, semua menjual idiom perubahan, termasuk para penikmat status quo itu sendiri. Ketika semua
menjadi politik, maka politik pun hilang di belantaranya sendiri. Partai yang
lolos dari ”peristiwa politik” pun hanya bekerja minimal dua tahun lamanya.
Sebab, sisanya akan diabdikan untuk mempersiapkan ”politik administratif” dan
lobi-lobi elite untuk menyelamatkan partainya dari diskualifikasi.
Politisi Musiman
Politik musiman menghasilkan
politisi musiman. Politisi musiman adalah mereka yang mendadak jadi politisi
setiap kali musim politik dimulai. Politisi musiman bisa dari akademisi,
pengusaha, dan tentara. Partai politik punya andil penting dalam menciptakan
politisi musiman. Sebab, tak bisa dimungkiri, partai politik sangat perlu
mereka, politisi musiman. Partai membutuhkan pikiran dari akademisi, logistik
dari pengusaha, dan keamanan dari tentara.
Maka, dibuatlah program
percepatan politik untuk mengubah mereka yang tadinya mengajar ekonomi
pembangunan jadi politisi yang pintar memutar statistik. Pengusaha yang biasa
berpikir laba diubah secara paksa jadi pekerja sosial yang berempati. Tentara
pun mau tak mau harus diajari demokrasi.
Politisi musiman hanya
bermodalkan dua hal: logistik dan jaringan sosial. Mereka diukur berdasarkan
kemampuan membeli suara dan berapa teman yang dipunyai di media sosial.
Kalaupun tidak, semua bisa diatur dan dipersiapkan karena politik sudah
terjadwal sedemikian rupa. Akademisi yang punya ribuan teori di kepalanya,
misalnya. Kesesakan kognitif itu dapat berdaya guna ketika logistik dan
jejaring sosial mencukupi. Mereka pun jadi politisi musiman yang cukup menarik.
Bayangkan, mereka mampu berbicara dengan ibu-ibu rumah tangga dengan teori
ekonomi makro yang disederhanakan.
Politisi musiman punya satu
kesamaan. Semuanya berpikir bahwa dirinya mampu menjadi politisi. Kepercayaan
diri didongkrak oleh janji kekuasaan yang menanti di pengujung jalan. Akhirnya,
semuanya menganggap sepele politik. Politik dianggap selesai ketika sebuah buku
etika politik diluncurkan atau sembako dibagikan. Politik juga dianggap selesai
ketika teman di media sosial mencapai angka 10.000 lebih. Mereka menyepelekan
politik karena tidak menganggapnya sebagai profesi seumur hidup.
Mereka
beranggapan bahwa hidup terus berjalan ketika musim politik selesai dan jabatan
lolos dari genggaman. Politisi musiman tak ambil pusing dengan partai yang
selesai dikendarai. Mereka tak ambil pusing dengan partainya yang terganjal
verifikasi. Mereka kembali ke keseharian mereka yang banal dan menghasilkan
meski tak menjanjikan.
Padahal, politik membutuhkan
lebih dari sekadar janji dan keinginan. Politik membutuhkan konsistensi dalam
tindakan, ucapan, dan pikiran. Politik adalah seni keabadian. Untuk itu dia
membutuhkan kesetiaan. Politisi musiman, sayangnya, hanya ikut rombongan orang
yang berbondong-bondong memasuki lapangan politik. Dia, seperti orang
kebanyakan, berpikir, ”Ah, siapa tahu kali ini berhasil.” Ketika politik tidak
seperti yang dijanjikan dia pun melengos dan berkata, ”Ah, memang politik itu
bukan jalan hidupku.” Dia tidak tahu bahwa politik bukan sesuatu yang dapat
dinyalakan lalu dimatikan kembali. Politik adalah sesuatu yang wajib ditekuni
secara serius. Politik meminta komitmen penuh apa pun yang terjadi. Begitu
orang bersumpah menjadi politisi, dia mengikatkan diri pada sesuatu yang lebih
besar dari dirinya, seumur hidup. Musim politik boleh datang dan pergi, tetapi
politisi tidak pernah mati. Politik adalah keabadian kecuali buat mereka, para
politisi dadakan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar