Rabu, 19 September 2012

Simulacra Citra Kandidat


Simulacra Citra Kandidat
Suyatno ;  Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Terbuka
MEDIA INDONESIA, 19 September 2012


SETIAP menjelang berlangsungnya proses pemilihan pejabat publik, para kandidat selalu menjadi sorotan. Seperti dalam pemilu kada DKI putaran kedua, para jago akan dinilai publik. Track record, baik berupa prestasi maupun kelemahan, akan menjadi sorotan tajam berbagai kalangan dan calon pemilih. Baik-buruk seorang kandidat benar-benar akan dicermati orang. Dengan begitu, citra diri seorang calon benar-benar memiliki peran penting memengaruhi pemilih untuk memberikan suara kepada salah satu calon.

Seorang kandidat terkadang tidak dikenal luas oleh calon pemilih. Jangankan memberikan suara, untuk bersimpati kepada calon saja tidak akan terjadi bila pemilih tidak mengenal secara lengkap sang kandidat. Tugas tim sukses ialah memberikan informasi yang akan membawa citra atau penokohan seorang calon. Ibarat pepatah yang mengatakan `tak kenal maka tak sayang', tim kampanye berusaha agar calonnya dikenal luas di masyarakat untuk kemudian dipilih.

Political Image

Persoalan yang kemudian muncul ialah benarkah citra yang dibangun tim sukses seorang kandidat merupakan informasi yang dapat dipercaya? Politik pencitraan di kalangan politisi demi memenangi pemilu kada dan pemilu dapat terjebak dalam kemasan semu. Dalam konteks wacana, politik dipahami sebagai sebuah upaya membangun image (kesan). Keberhasilan seorang politikus ditentukan oleh kemampuannya membangun kesan positif di mata massa.

Kesan positif itu berupa kemampuan memimpin, kepribadian yang mantap, integritas moral yang tinggi, serta memiliki kapabilitas dan abilitas sehingga akan memengaruhi orang untuk memberikan pilihan kepada si politikus.

Karena namanya kesan, hal itu merupakan apa yang ditangkap atau dirasakan orang terhadap sesuatu. Artinya dalam kesan itu melekat erat subjektivitas dari seseorang untuk bersikap terhadap suatu kejadian atau terhadap objek tertentu.

Jadi, kesan bisa dibuat, diubah, atau didesakkan ke arah tertentu, sesuai dengan keinginan dan kepentingan yang membuat kesan. Bila dibutuhkan tampak kecil, sesuatu yang besar bisa seolah disusutkan. Sesuatu yang seharusnya bergerak ke satu arah bisa jadi seakan-akan bergerak sebaliknya. Dengan begitu, kesan itu bisa merupakan sesuatu yang sebenarnya atau bisa pula hal yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam pemahaman politik sebagai wacana, bisa saja terjadi simulacra terhadap citra seorang kandidat, manakala terjadi semacam gap (jarak) antara image yang diciptakan terhadap seorang kandidat dengan realitas calon tersebut.
 
Apa yang dilempar ke tengah publik terkadang tidak sepenuhnya ada dalam pribadi seorang kandidat. Kesenjangan tidak saja dimonopoli oleh hal yang negatif. Kekurangan calon senantiasa ditutupi dengan informasi tentang kelebihankelebihannya. Namun, bisa jadi kebaikan atau kapabilitas tidak tersampaikan secara baik kepada massa. Si calon jauh lebih baik dari apa yang dike tahui orang selama ini.

Semestinya kampanye diupayakan paling tidak mendekati kenyataan. Kita patut merujuk jingle iklan yang mengatakan `seindah warna aslinya'. Kampanye akan menampilkan kesan yang tidak akan menyesatkan para pemilih. Sebab, krisis kepercayaan grass root (massa) terhadap elite politik bisa berawal dari kampanye yang tidak pernah terwujud dalam realitas.

Referensi

Menurut Klingemann (1994), permasalahan utama yang dihadapi setiap partai atau peserta pemilu ada dua, bagaimana mempertahankan dukungan yang telah mereka raih, sekaligus bagaimana menarik lebih banyak suara untuk memperluas peluang duduk dalam pemerintahan. Meski begitu, para kontestan pemilu tidak bisa lantas melakukan kebohongan dalam menyampaikan materi kampanye.

Dalam rangka memperoleh suara sebanyak-banyaknya dalam pemilihan umum, setiap partai politik atau kandidat yang dinyatakan berhak ikut pemilu mempunyai kesempatan dan hak yang sama dalam melakukan kampanye. Meski demikian, bukan berarti hal itu lantas dilakukan dengan segala cara. Tim kampanye harus pandai menggarap kampanye tanpa terjebak pada black compaign. Kampanye bukan ajang untuk mengumbar informasi bohong atau menjelek-jelekkan kandidat lain.

Tujuan utama kampanye ialah memberikan informasi kepada pemilih. Informasi tersebut akan menjadi salah satu sumber referensi yang menjadi pertimbangan seseorang memilih atau tidak memilih. Orang bisa berubah dari awalnya tidak memilih karena minimnya informasi, kemudian menjadi memilih akibat semakin mengetahui kontestan yang ditawarkan. Demikian pula sebaliknya, semakin lengkap informasi, orang yang mulanya sudah punya pilihan bisa jadi berubah.

Ada beberapa hal yang memengaruhi pilihan rakyat terhadap calon pejabat publik. Pertama, faktor sosiologis. Orang memilih calon dengan pertimbangan si calon pernah memiliki peran sosial tertentu, seperti menduduki jabatan tertentu atau memimpin sebuah organisasi sosial.

Kedua, faktor subjektif, yaitu alasan memilih lebih ditentukan lewat ada atau tidaknya hubungan antara pemilih dan kandidatnya. Hubungan itu bisa bersifat individu, juga bisa bersifat kolektif. Secara individu, pemilih bisa memiliki hubungan keluarga, persahabatan, atau hubungan kerja. Calon yang seorang pebisnis bisa jadi memiliki hubungan bisnis dengan calon pemilihnya. Adapun hubungan kolektif bisa terjadi karena ada ikatan organisasi, kelembagaan, dan primordial.

Ketiga, pertimbangan yang sifatnya personal. Kapabilitas seorang calon untuk menjadi pemimpin menjadi dasar utama pertimbangan itu. Hal tersebut dapat dilihat dari latar belakang pendidikan, keahlian, pekerjaan yang ditekuni, serta abilitas seorang calon.

Berbagai faktor itu bisa menjadi pertimbangan secara bersama-sama ataupun parsial saja. Melalui kampanye, pertimbangan-pertimbangan tersebut bisa dipenuhi atau juga diubah. Dengan image yang diciptakan, orang bisa mengubah keputusan untuk memberikan pilihannya.

Satu yang bisa dijadikan patokan dalam menyikapi pemilihan presiden dan kepala daerah ialah adanya visi dari kandidat. Parameter utama visi itu ialah melakukan kebaikan bagi negeri ini, bukan banyak atau idealnya visi calon yang dijadikan ukuran. Sekecil apa pun hal yang ditawarkan kandidat, asal diperuntukkan bagi kebaikan bagi negara, itulah yang dibutuhkan. Apalah artinya jumlah yang banyak dan ideal bahkan rumit bila itu dijadikan jargon semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar