Jumat, 21 September 2012

Migas untuk Kemakmuran Rakyat


Migas untuk Kemakmuran Rakyat
Kurtubi ;  Alumnus Colorado School of Mines, Denver,
dan Ecole Nationale Superieure du Petrole et des Moteurs, Paris
KOMPAS, 20 September 2012


Setelah UU Migas (UU No 22/2001) berlaku lebih dari 10 tahun, kondisi industri perminyakan nasional semakin memburuk di tengah terus meningkatnya kebutuhan energi sebagai dampak dari pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Ini, antara lain, ditandai ketergantungan pada minyak impor yang makin besar. 

Kebutuhan gas untuk listrik PLN dan industri dalam negeri selalu gagal dipenuhi, sementara gas/LNG Tangguh yang dikembangkan atas dasar UU Migas terus diekspor/dikapalkan hingga hari ini dengan harga sangat murah (sekitar 3,35 dollar AS per MMBTU) di bawah harga jual gas dalam negeri (sekitar 7 dollar AS per MMBTU). Juga jauh lebih rendah dari harga ekspor LNG Badak yang dikembangkan atas dasar UU No 8/1971 yang diekspor dengan harga sekitar 20 dollar AS per MMBTU.

Klaim yang Jauh dari Fakta
Meski demikian, menurut klaim ”iklan anonim” UU Migas di Kompas edisi 27 Agustus 2012, negara tetap berdaulat penuh atas sumber daya migasnya. Dicontohkan bahwa pemerintah masih tetap jadi pemilik LNG yang diekspor sampai titik serah di luar negeri. Kalau di dalam negeri membutuhkan gas, LNG yang sudah dikapalkan tetapi belum sampai di titik serah itu dapat disuruh kembali untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Namun, faktanya, hingga hari ini LNG Tangguh terus dikapalkan ke China tanpa pernah ada satu tanker LNG yang disuruh balik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri! Ini membantah secara nyata apa yang diklaim oleh iklan tersebut.

Realisasi pengeboran eksplorasi di blok-blok baru sejak keberadaan UU Migas terus anjlok. Penemuan cadangan/lapangan baru menjadi langka. Lifting minyak terus turun karena hanya mengandalkan lapangan-lapangan yang sudah tua. Sasaran lifting dalam APBN setiap tahun, pasca- UU Migas, nyaris tidak pernah tercapai. Indonesia berubah dari negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC jadi negara pengimpor minyak netto. Indonesia harus keluar dari OPEC.

Sebelum IMF memerintahkan penggantian UU No 8/1971 melalui letter of intent (LOI), lifting minyak masih sekitar 1,5 juta bbls per hari. Kini, lifting hanya tersisa sekitar 850.000 bbls per hari. Padahal, secara geologis potensi sumber daya migas di perut bumi masih relatif sangat besar, 50 miliar-80 miliar barrel minyak dan 300-350 TCF gas. Sementara itu, harga minyak dunia dalam 10 tahun terakhir sangat tinggi, bahkan pada 2008 sempat menyentuh 147 dollar AS per bbls.

Secara teoretis, mestinya penemuan cadangan minyak di Indonesia akan sangat tinggi. Sebab, berdasarkan penelitian, elastisitas penemuan cadangan minyak di Indonesia lebih bersifat price elastic. Artinya, laju penemuan cadangan di Indonesia sangat dipengaruhi perkembangan harga minyak dunia, di mana laju penemuan cadangan akan lebih tinggi dari laju kenaikan harga. Namun, nyatanya, penemuan cadangan baru pasca-UU Migas nyaris tak ada meski harga minyak dunia terus naik. Satu-satunya penemuan baru yang signifikan, bisa tambah lifting 165.000 bbls per hari, adalah Blok Cepu. Itu pun ditemukan sebelum UU Migas.

Tata Kelola yang Buruk
Kondisi sangat memprihatinkan itu adalah buah dari sistem tata kelola yang sangat buruk. Hal ini disimpulkan oleh hasil survei Fraser Institute Canada dalam laporannya, ”Global Petroleum Survey 2011”. Dari 135 negara yang disurvei, Indonesia di posisi ke-114. Di kawasan Asia-Oceania, sistem tata kelola migas di Indonesia paling buruk, lebih buruk daripada semua negara tetangga, termasuk Timor Leste.

Penyebabnya, menurut survei, selain faktor korupsi, kualitas data geologi, koordinasi yang buruk, dan tumpang tindih lahan, juga terutama karena sistem tata kelola yang didasarkan atas UU Migas. UU ini menciptakan sistem tak efisien dengan menciptakan lembaga baru (BP Migas) sebagai penanda tangan kontrak, sementara BP Migas bukan pemegang kuasa pertambangan.

Di samping itu, sistem di bawah UU Migas juga telah terbukti menyimpang dari konstitusi karena Mahkamah Konstitusi sudah mencabut empat pasal pokok dan saat ini juga dalam proses uji materi. UU Migas sudah terbukti merugikan negara secara finansial dalam jumlah yang sangat besar.

Bertolak belakang dengan klaim iklan UU Migas, UU Migas justru telah menyebabkan kedaulatan negara atas SDA migas menjadi terkikis/hilang. Soalnya, yang berkontrak dengan perusahaan asing adalah BP Migas yang dibentuk pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan. Sementara BP Migas tak punya aset yang memadai dengan perusahaan minyak asing sebagai partner dalam berkontrak.

Keberadaan BP Migas yang mewakili pemerintah tak akan bisa memitigasi/ menghilangkan risiko disitanya aset pemerintah di luar negeri oleh perusahaan minyak bila terjadi sengketa dengan BP Migas. Perusahaan minyak asing mau berkontrak dengan BP Migas, meski tak punya aset memadai, karena BP Migas mewakili pemerintah. Sistem B to G seperti ini pasti akan menghilangkan kedaulatan negara atas SDA migasnya karena pada hakikatnya pemerintahlah yang berkontrak. Contoh konkret dari hilangnya kedaulatan negara adalah ketakberdayaan pemerintah menghentikan pengapalan LNG Tangguh ke China meski negara dirugikan sekitar Rp 30 triliun per tahun dan dalam negeri sangat membutuhkan gas.

Pola hubungan dengan investor yang menjamin kedaulatan negara atas SDA migasnya adalah pola B to B. Di sini yang berkontrak adalah perusahaan minyak nasional yang punya aset lapangan minyak, kilang, infrastruktur hilir, sementara pemerintah berada di atas kontrak. Dengan begitu, pemerintah bisa mengeksekusi kebijakan yang menyangkut migas tanpa menunggu persetujuan perusahaan/kontraktor minyak asing.

Contoh, dengan UU No 8/1971, pemerintah bisa mengubah persentase bagi hasil antara Pertamina dan perusahaan asing, yang semula 60:40 (60 persen Pertamina dan 40 persen asing). Dengan melonjaknya harga minyak, porsi tersebut dirasakan sudah tak adil. Pemerintah lalu mengubahnya menjadi 85:15 tanpa menunggu persetujuan para pihak yang berkontrak. Namun, kini karena yang berkontrak BP Migas (mewakili pemerintah), langkah tersebut tidak bisa dilakukan tanpa persetujuan pihak asing. Pada kasus terjualnya LNG Tangguh dengan harga sangat murah, pemerintah tidak berani menyetop pengapalan LNG Tangguh ke China.

Iklan yang Menyesatkan
Oleh karena itu, PP Muhammadiyah bersama sekitar 20 organisasi dan tokoh-tokoh nasional sudah mengajukan uji materi atas UU Migas No 22/2001 ke MK. Di tengah menunggu keputusan MK, muncul iklan kaleng/anonim setengah halaman di Kompas (9 dan 27 Agustus 2012) yang substansi isinya seluruh atau sebagian tidak benar.

Selain klaim kedaulatan dan kepemilikan negara atas LNG Tangguh tidak benar, iklan tersebut, antara lain, menyatakan: ”bahwa UU Migas 1 merupakan buah hasil perjuangan reformasi 1998 untuk mendorong akuntabilitas, tata kelola industri dan manajemen pengelolaan hulu migas yang lebih baik, serta mendukung gerakan antikorupsi”.

Faktanya, jauh panggang dari api. Bahkan cenderung memutar balik fakta, sesat dan menyesatkan. Pasalnya, UU Migas No 22/2001 sejatinya bukanlah hasil perjuangan reformasi 1998. UU Migas berasal dari LOI IMF karena Indonesia berutang pada IMF pascakrisis moneter 1998. UU Migas oleh IMF dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi upaya liberalisasi sektor migas nasional, sekaligus membuka pintu selebar-lebarnya bagi penguasaan SDA migas oleh pihak asing atau swasta.

Klaim iklan UU Migas yang menyatakan sistem di bawah UU Migas jadi lebih akuntabel dan antikorupsi juga tidak benar. Justru BP Migas tak pernah terbuka memberikan data cost recovery kepada daerah penghasil migas ataupun kepada publik.

Ke depan, terlepas apakah MK akan mencabut seluruh atau sebagian dari pasal-pasal UU No 22/2001 tentang Migas, sesuai tuntutan pemohon, perbaikan tata kelola kekayaan/aset migas nasional harus segera dilakukan sesuai amanat konstitusi. Termasuk peluang untuk segera dapat memanfaatkan aset migas yang berupa cadangan terbukti. Nilainya sekitar 20 triliun dollar AS, yang bisa dipakai untuk membayar seluruh utang negara dan membangun secara masif infrastruktur ekonomi yang dibutuhkan guna mempercepat tercapainya kemakmuran rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar