Membangun
Keutamaan Publik
Paulinus Yan Olla MSF ; Rohaniwan,
Lulusan Program Doktor
Universitas
Pontificio Istituto di SpiritualitàTeresianum, Roma;
Bekerja dalam Dewan Kongregasi MSF di Roma,
Italia
|
KOMPAS
, 03 September 2012
Artikel ”Puasa dan Kesalehan
Publik” yang ditulis Masdar Hilmy (Kompas, 4 Agustus 2012) menegaskan bahwa
sejauh ini terminologi agama hanya mengenal kesalehan individual-vertikal dan
kesalehan sosial-horizontal. Maka perlu ditambahkan kesalehan publik-diagonal
yang mengatur pola relasi warga masyarakat dengan struktur negara.
Kesalehan publik-diagonal
meniscayakan hubungan timbal balik warga negara dengan struktur negara. Menurut
Masdar, hubungan itu dimediasi oleh seperangkat peraturan perundang-undangan
yang diinspirasi nilai-nilai substantif agama.
Namun, dalam praktiknya
justru ada dua persoalan yang muncul dalam proses mediasi dan perumusan aturan
perundang-undangan di atas.
Negara dan Agama
Persoalan pertama menyangkut
bentuk mediasi yang melibatkan warga negara, negara dan agama. Yang sering
tampak di ranah publik adalah kekaburan peran negara. Negara yang
mendefinisikan diri sebagai bukan negara agama dan sekaligus bukan negara
sekuler, seperti Indonesia, kesulitan menentukan peran dalam mediasi.
Keterlibatan negara sering memicu polemik karena tidak jelas sebagai mediator
atau campur tangan dalam urusan internal agama.
Absennya kesalehan publik
tidak bisa dibebankan sepenuhnya pada agama-agama. Bukan wewenang agama untuk
merumuskan undang-undang dan mengatur struktur negara. Kesalehan publik harus
diwujudkan dalam kehidupan berwarga negara melalui penerapan nilai-nilai
kewarganegaraan di ranah publik, yakni keutamaan publik.
Persoalan kedua berkaitan
dengan reduksi dan politisasi nilai substantif agama di ranah publik. Isu-isu
publik yang berinspirasi keagamaan dan yang diusung sangat diseleksi dan tidak
komprehensif menanggapi kebobrokan kehidupan publik. Isu-isu tertentu diberi
bobot keagamaan hanya untuk meraup atau pencitraan kekuasaan.
Politisasi nilai-nilai
substantif agama di ranah publik tidak hanya terjadi Indonesia. Di Amerika
Serikat, moralitas seksual dan gerakan pro-life dianggap sangat penting, tetapi
dijadikan seakan-akan satu-satunya isu publik demi kekuasaan. Sering dilupakan
usaha mengadakan transformasi kultural, pertobatan kultural, maupun konstruksi
kultural sebagai bagian dari praktik iman (Richard
G Malloy, A Faith that Frees, 2007: 58-59).
Pembangunan keutamaan publik
perlu karena merupakan satu-satunya landasan bagi sebuah negara merdeka. Keutamaan
publik berbeda sekaligus berkaitan dengan keutamaan pribadi. Keutamaan pribadi
berurusan dengan nilai-nilai seperti integrasi diri, kejujuran, dan kemampuan
mengontrol diri, sedangkan keutamaan publik lebih menunjuk pada nilai-nilai
publik yang perwujudannya berupa pengorbanan kepentingan pribadi demi pembelaan
kepentingan lebih besar sebuah bangsa.
Ketika kedua kalinya
terpilih sebagai presiden AS, George Washington (menjabat 1789-1797) menulis, ”It would be the greatest sacrifice of my
personal feelings and wishes that ever I have been called upon to make”
(tugas itu akan menjadi pengorbanan terbesar perasaan dan harapan pribadi yang
pernah dituntut dariku untuk dilakukan). Tugas presiden adalah pengorbanan diri
bagi kepentingan bangsanya.
Kurang Keutamaan Publik
Indonesia dalam logika di
atas semakin hari semakin tidak berdaya membangun keutamaan publik para
pemimpinnya. Ada kekosongan dalam kaderisasi kepemimpinan. Partai-partai
politik menjadi sekadar perahu menuju samudra kekuasaan dan harta. Makin
sedikit atau bahkan tidak ada pemimpin negara, birokrat, dan politisi yang rela
mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan rakyat. Kejujuran, rasa malu,
dan rasa bersalah absen kendati kebijakannya mengkhianati publik. Kesejahteraan
rakyat dirampok dan kekuasaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran penguasa.
Dalam hal keutamaan publik,
Korea Selatan dipuji-puji dunia internasional. Budaya paternalistik, kerja
keras, dan sikap solider disulap menjadi budaya bangsa maju dan pemenang.
Mereka menjadi maju dalam bidang seni, musik, penguasaan teknologi modern, dan
prestasi perolehan medali olimpiade di London (Corriere della Sera, 7/8/2012).
Sebagai negara
multikultural, multietnis, dan multiagama, Indonesia dianugerahi kekayaan
nilai-nilai secara berkelimpahan. Namun, diperlukan kemauan politis dan
tanggung jawab negara untuk membangun nilai-nilai itu menjadi keutamaan publik.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar