Senin, 03 September 2012

Membangun Keutamaan Publik


Membangun Keutamaan Publik
Paulinus Yan Olla MSF ;  Rohaniwan, Lulusan Program Doktor
Universitas Pontificio Istituto di SpiritualitàTeresianum, Roma;
Bekerja dalam Dewan Kongregasi MSF di Roma, Italia
KOMPAS , 03 September 2012


Artikel ”Puasa dan Kesalehan Publik” yang ditulis Masdar Hilmy (Kompas, 4 Agustus 2012) menegaskan bahwa sejauh ini terminologi agama hanya mengenal kesalehan individual-vertikal dan kesalehan sosial-horizontal. Maka perlu ditambahkan kesalehan publik-diagonal yang mengatur pola relasi warga masyarakat dengan struktur negara.
Kesalehan publik-diagonal meniscayakan hubungan timbal balik warga negara dengan struktur negara. Menurut Masdar, hubungan itu dimediasi oleh seperangkat peraturan perundang-undangan yang diinspirasi nilai-nilai substantif agama.

Namun, dalam praktiknya justru ada dua persoalan yang muncul dalam proses mediasi dan perumusan aturan perundang-undangan di atas.

Negara dan Agama

Persoalan pertama menyangkut bentuk mediasi yang melibatkan warga negara, negara dan agama. Yang sering tampak di ranah publik adalah kekaburan peran negara. Negara yang mendefinisikan diri sebagai bukan negara agama dan sekaligus bukan negara sekuler, seperti Indonesia, kesulitan menentukan peran dalam mediasi. Keterlibatan negara sering memicu polemik karena tidak jelas sebagai mediator atau campur tangan dalam urusan internal agama.

Absennya kesalehan publik tidak bisa dibebankan sepenuhnya pada agama-agama. Bukan wewenang agama untuk merumuskan undang-undang dan mengatur struktur negara. Kesalehan publik harus diwujudkan dalam kehidupan berwarga negara melalui penerapan nilai-nilai kewarganegaraan di ranah publik, yakni keutamaan publik.

Persoalan kedua berkaitan dengan reduksi dan politisasi nilai substantif agama di ranah publik. Isu-isu publik yang berinspirasi keagamaan dan yang diusung sangat diseleksi dan tidak komprehensif menanggapi kebobrokan kehidupan publik. Isu-isu tertentu diberi bobot keagamaan hanya untuk meraup atau pencitraan kekuasaan.

Politisasi nilai-nilai substantif agama di ranah publik tidak hanya terjadi Indonesia. Di Amerika Serikat, moralitas seksual dan gerakan pro-life dianggap sangat penting, tetapi dijadikan seakan-akan satu-satunya isu publik demi kekuasaan. Sering dilupakan usaha mengadakan transformasi kultural, pertobatan kultural, maupun konstruksi kultural sebagai bagian dari praktik iman (Richard G Malloy, A Faith that Frees, 2007: 58-59).

Pembangunan keutamaan publik perlu karena merupakan satu-satunya landasan bagi sebuah negara merdeka. Keutamaan publik berbeda sekaligus berkaitan dengan keutamaan pribadi. Keutamaan pribadi berurusan dengan nilai-nilai seperti integrasi diri, kejujuran, dan kemampuan mengontrol diri, sedangkan keutamaan publik lebih menunjuk pada nilai-nilai publik yang perwujudannya berupa pengorbanan kepentingan pribadi demi pembelaan kepentingan lebih besar sebuah bangsa.

Ketika kedua kalinya terpilih sebagai presiden AS, George Washington (menjabat 1789-1797) menulis, ”It would be the greatest sacrifice of my personal feelings and wishes that ever I have been called upon to make” (tugas itu akan menjadi pengorbanan terbesar perasaan dan harapan pribadi yang pernah dituntut dariku untuk dilakukan). Tugas presiden adalah pengorbanan diri bagi kepentingan bangsanya.

Kurang Keutamaan Publik

Indonesia dalam logika di atas semakin hari semakin tidak berdaya membangun keutamaan publik para pemimpinnya. Ada kekosongan dalam kaderisasi kepemimpinan. Partai-partai politik menjadi sekadar perahu menuju samudra kekuasaan dan harta. Makin sedikit atau bahkan tidak ada pemimpin negara, birokrat, dan politisi yang rela mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan rakyat. Kejujuran, rasa malu, dan rasa bersalah absen kendati kebijakannya mengkhianati publik. Kesejahteraan rakyat dirampok dan kekuasaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran penguasa.

Dalam hal keutamaan publik, Korea Selatan dipuji-puji dunia internasional. Budaya paternalistik, kerja keras, dan sikap solider disulap menjadi budaya bangsa maju dan pemenang. Mereka menjadi maju dalam bidang seni, musik, penguasaan teknologi modern, dan prestasi perolehan medali olimpiade di London (Corriere della Sera, 7/8/2012).

Sebagai negara multikultural, multietnis, dan multiagama, Indonesia dianugerahi kekayaan nilai-nilai secara berkelimpahan. Namun, diperlukan kemauan politis dan tanggung jawab negara untuk membangun nilai-nilai itu menjadi keutamaan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar