Pembangunan
Berbasis Ilmu
Bambang Kesowo ; Pengajar
Program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS
, 03 September 2012
Tampaknya tak ada yang
keliru dengan jargon pro growth, pro job,
pro poor sebagai strategi dasar pembangunan 10 tahun terakhir. Pertumbuhan
diharapkan membuka kesempatan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin.
Sejak awal pembangunan tahun
1970-an, pertumbuhan sudah menjadi strategi utama diikuti pemerataan. Penyederhanaan
logika waktu itu, ”Hanya bila ayam bertambah dan telurnya semakin banyak, ada
pemerataan. Tidak ada pemerataan tanpa adanya pertumbuhan”. Lantas, di mana
persoalannya?
Dalam 30 tahun era Orde
Baru, pertumbuhan jelas ada, tetapi isu tidak adanya pemerataan juga
berkembang. Betul bahwa pembangunan yang mengedepankan bidang ekonomi ini
tampak hasilnya, tetapi pertumbuhannya juga mendorong aspirasi lebih besar
lagi. Ketika desakan aspirasi terutama harapan keadilan dan kebebasan yang
lebih besar tidak terakomodasi, konsep pertumbuhan dan pemerataan ekonomi terus
digugat.
Pembangunan Kini
Pelaksanaan strategi
pembangunan 10 tahun terakhir ini sebenarnya ada juga kemajuan dalam upaya
peningkatan lapangan kerja dan pengurangan jumlah penduduk miskin, meski belum
tuntas. Adalah tidak adil menilai bahwa pertumbuhan sebagai capaian makro tidak
berdampak positif di tataran mikro. Justru kebebasan mengekspresikan pandangan
dan sikap sosial dan politik yang kemudian menampilkan gambaran tentang masih
banyaknya penganggur, kemiskinan, dan berbagai bentuk ketimpangan lain.
Masalah pembangunan nasional
dengan begitu bukan terletak pada benar tidaknya memilih pertumbuhan sebagai
strategi, melainkan bagaimana menopang dan memperbesar pertumbuhan dalam
kerangka berkelanjutan. Muncul pembangunan berkelanjutan dengan jargon ekonomi
hijau, suatu konsep pembangunan berwawasan lingkungan dan sosial. Kehadiran
konsep ini mendorong penyesuaian atau bahkan pemikiran ulang terhadap beberapa
aspek dalam pembangunan yang justru lebih mendasar sifatnya.
Pertama, baik untuk
kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan maupun kebutuhan energi
penopangnya. Pembangunan tidak dapat lagi terus-menerus bersandar pada
eksploitasi energi fosil. Selain sifatnya tidak terbarukan, sebentar lagi habis,
eksploitasi migas dan bahan tambang dianggap merusak lingkungan.
Kedua, keberlanjutan dan
kesinambungan pembangunan memerlukan kelestarian dan ketersediaan sumber daya,
baik alam maupun budaya. Semua adalah modal. Kemampuan kita mengenali,
menginventarisasi, dan mengelola sendiri kekayaan sumber daya hayati dan
kearifan lokal menjadi kebutuhan krusial.
Ketiga, keberlanjutan dan
kesinambungan pembangunan modal. Indonesia harus mampu menjual produk yang
berdaya saing di pasar internasional. Pasar domestik tidak lagi jadi sandaran
tunggal. Pada era keterbukaan perdagangan sekarang, pasar domestik juga
merupakan pasar internasional partner dagang kita.
Daya saing tidak hanya soal
biaya produksi dan harga jual, tetapi juga kenyamanan dan keselamatan penggunaan
produk. Faktor utama penentu daya saing adalah daya inovasi dan teknologi.
Berarti tingkat kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam penguasaan,
pengembangan, dan aplikasi teknologi.
Faktor Inovasi
Wacana tentang faktor
inovasi dan teknologi sebenarnya bukan hal baru. Kutub pemikiran alternatif
yang menawarkan teknologi sebagai tumpuan muncul sejak masa rencana pembangunan
lima tahun yang ketiga, awal 1980-an, sementara yang konvensional semata-mata
memanfaatkan sumber daya alam. Rivalitas kutub-kutub pikir ini diketahui
presiden pada waktu itu, tetapi dibiarkan berkompetisi.
Presiden SBY melihat
perlunya mendekatkan kutub pikir ekonom dan kutub pikir teknolog ini untuk
meningkatkan daya saing. Maka dibentuklah Komite Ekonomi Nasional dan Komite
Inovasi Nasional pada tahun 2010. Bagaimana hasilnya, mengingat salah satu
masalah bangsa ini adalah kurangnya konsistensi dan determinasi.
Negara-negara ”macan Asia”
yang miskin sumber daya alam bersandar kepada kualitas dan kapasitas SDM.
Inovasi dan peningkatan kemampuan penguasaan teknologi jadi tumpuan utama.
Ketika Korea Selatan memilih mengembangkan industri dengan basis metalurgi,
kimia, dan elektroteknik, maka pembangunan difokuskan pada kapasitas SDM serta
fasilitas riset dan pengembangan. Korea Selatan perlu waktu 10 tahun
menyiapkannya.
Indonesia memang perlu
pendekatan baru dalam pembangunan, tetapi kita belum tahu apa dan bagaimana
buah pikir strategi pembangunan ”untuk Indonesia yang maju, sejahtera, dan
mandiri” dari para calon presiden mendatang. Akankah meneruskan sistem
pembangunan yang telah dimulai 40 tahun lalu atau sedikit mengubah prioritas?
Kalau kemungkinan itu yang
terjadi, maka masalah dan tantangan yang sama sekitar konsepsi pembangunan
berkelanjutan dan ekonomi hijau tetap ada dan harus dijawab. Sebaliknya,
apabila presiden terpilih nanti memiliki pemikiran dan konsep pembangunan yang
berbeda, bagaimana kira-kira kondisi nanti?
Kenyataannya, mengganti
sistem dalam pembangunan tampaknya mustahil. Yang lebih realistis adalah
mengubah gaya dan pendekatan. Di satu sisi tetap menggunakan arsitektur
pembangunan ekonomi yang telah berlangsung 40 tahun, di sisi lain memperkuat
kebijakan pembangunan dengan dua langkah praktis.
Pertama, menegaskan
prioritas industri sehingga kebijakan pendidikan dan pembangunan SDM maupun
infrastruktur dibangun ke arah yang sama. Kedua, secara agresif menetapkan
kebijakan insentif fiskal bagi pembiayaan kegiatan inovasi dan pembiayaan
kegiatan produksi, serta membangun usaha modal ventura untuk mendukung produksi
hasil-hasil inovasi.
Melalui langkah penggeseran
tersebut, ego presiden terpilih terpenuhi, tidak ada iritasi politik terbuka,
dan secara psikologis dapat dicerna oleh sistem birokrasi sebagai pelaksana
utama pembangunan. Langkah tersebut seiring esensi tujuan pembangunan nasional
untuk bangsa Indonesia yang sejahtera dan mandiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar