Di Balik
Kepolosan Pembangunan
Dodi Mantra ; Dosen
Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia; Pegiat Aliansi Pemuda
Pekerja Indonesia
|
KOMPAS
, 03 September 2012
Ketika kemerdekaan
masyarakat yang terjajah bermuara pada perwujudan entitas negara-bangsa, dengan
segera pembangunan menjadi praktik yang mengisi ruang kemerdekaan.
Merdeka, dengan menjadi
negara-bangsa, memang secara legal bermakna kesetaraan. Namun, komposisi legal
sebagai negara-bangsa tidak serta-merta bermakna setara.
Secara ekonomi dan
politik, eksistensi negara-bangsa baru ini tetap dimaknai dalam kategori
negara-bangsa ”yang tertinggal” dalam kancah relasi kuasa internasional.
Untuk mengatasi ”ketertinggalan”,
pembangunan digariskan sebagai praktik yang mutlak harus dilakukan oleh
negara-bangsa yang baru merdeka. Pembangunan menjadi praktik imperatif untuk
mewujudkan keutuhan identitas negara-bangsa.
Atas nama pembangunan,
beraneka sistem kehidupan dalam masyarakat mengalami transformasi radikal dan
tenggelam ditelan laju industrialisasi. Beragam aktivitas ekonomi yang
eksploitatif terhadap manusia dan alam menjadi hal wajar di negara-negara yang
baru merdeka.
Selang setengah abad
kemudian, ketika kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, kemiskinan dan
kelaparan semakin signifikan dan pertumbuhan semakin tidak merepresentasikan
kesejahteraan, lagi-lagi pembangunan yang menjadi solusi.
Pembangunan dianggap dapat
mengatasi permasalahan kerusakan lingkungan. Bahkan, melalui pembangunan,
lingkungan dapat dilestarikan. Melalui wacana pembangunan yang berkeadilan
sosial, pembangunan pun dapat mengatasi ketimpangan sosial dan angka
pertumbuhan.
Maka, pembangunan selalu
terbebas dari dosa. Pembangunan selalu diyakini sebagai praktik yang mulia,
yang berjalan bebas dari kepentingan politik dan ditujukan untuk kemajuan semua
lapisan masyarakat. Demikianlah pembangunan tidak pernah punya salah.
Sebaliknya, makna sosial
tidak lahir dari ruang kosong. Makna sosial selalu lahir dari relasi kuasa
antaraktor-aktor sosial yang tidak setara. Relasi kuasa juga berlangsung di
balik panggung makna kepolosan pembangunan.
Relasi Kuasa Pembangunan
Secara historis, kemunculan
gagasan pembangunan terkait dengan kemunculan kapitalisme sebagai sistem yang
menggantikan masyarakat feodal di Eropa pada abad ke-18 (Jorge Larrain, 1989).
Berakar dari perkembangan sistem kapitalisme ini, terbuka peluang bagi
munculnya kemajuan pembangunan material (Larrain, 1989).
Pelaku dari proses
transformasi dan pencetus dari gagasan pembangunan ini adalah kelas borjuis,
yang tidak akan bertahan tanpa revolusi konstan atas instrumen dan relasi
produksi serta keseluruhan relasi dalam masyarakat. Maka, gagasan pembangunan
menjadi alat kelas borjuis untuk mentransformasikan masyarakat demi akumulasi
modal.
Menurut Larrain, teori-teori
tentang pembangunan berkembang seiring perubahan dalam fase-fase dari
kapitalisme. Tidak heran jika makna pembangunan bagi negara-negara yang baru
merdeka pasca-Perang Dunia II selalu bermuara pada industrialisasi dengan modus
produksi kapitalisme di jantungnya.
Sedikit sekali yang dapat
memungkiri bahwa gagasan pembangunan bersifat Euro-sentris. Gagasan tentang
pembangunan dibangun atas dasar logika berpikir yang dikotomis, di mana
masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara dimaknai sebagai ”yang maju” (developed) dan masyarakat di Afrika,
Asia, dan Amerika Latin sebagai ”yang terbelakang” (underdeveloped) (Ziai, 2007).
Artinya, ”yang terbelakang” atau ”yang tertinggal” harus menjadi ”maju”.
Ada dua lapis makna yang
dibangun atas dasar relasi kuasa dalam konteks ini. Dalam lapisan yang pertama,
makna dari kehidupan masyarakat Afrika, Asia, dan Amerika Latin ”yang
terbelakang” tidaklah bersifat alami. Makna itu digariskan oleh masyarakat di
belahan bumi lain.
Gustavo Esteva (1992)
mencatat bahwa saat Presiden Amerika Serikat Harry S Truman mencanangkan ”bold new program”, 20 Januari 1949, 2
miliar orang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin dituliskan sebagai ”yang
terbelakang” dan karena itu membutuhkan ”pembangunan” (development).
”Pembangunan” untuk menjadi
”maju” mengacu pada kehidupan yang berlaku pada masyarakat Eropa Barat dan
Amerika Utara. Praktik ”pembangunan” pun lalu meniru praktik-praktik di Eropa
Barat dan Amerika Utara.
Implikasi Otoritarian
Gagasan pembangunan telah
membawa implikasi yang bersifat otoritarian dan teknokratis. Jelas bahwa tidak
semua orang dapat mendefinisikan makna dari pembangunan dan bagaimana
pembangunan dijalankan (Ziai, 2007). Pengetahuan tentang keduanya tidak
terlepas dari peran ”para ahli pembangunan”. Mereka adalah para ahli yang tidak
lagi mempermasalahkan akar historis dan proses relasi kuasa dari makna
pembangunan. Mereka secara ”taken-for-granted”
menerima gagasan pembangunan sebagai rasional, alami, dan bermanfaat. Merekalah
yang memiliki otoritas spesialisasi teknis menjalankan pembangunan.
Melalui peran mereka,
pengetahuan tentang ”pembangunan” selalu didefinisikan dalam demarkasi positif.
Bahkan, ”pembangunan” telah menjadi sinonim bagi ”perubahan sosial yang
positif” (Ziai, 2007). Keberagaman
konsep tentang kehidupan, yang tersebar di masyarakat Asia, Afrika, dan Amerika
Latin, akhirnya satu per satu punah ditelan sebuah narasi ”tunggal” dan
”universal” yaitu pembangunan.
Jelas terlihat bahwa ada
kepentingan politik, eksploitasi, dan penindasan di balik gagasan dan praktik
pembangunan. Pembangunan adalah instrumen dominasi dalam relasi kuasa pada
level nasional dan internasional.
Ironisnya, narasi tentang
”kepolosan” pembangunan justru terus mengisi kemerdekaan masyarakat Indonesia
sampai hari ini. Lebih dari setengah abad kemerdekaan, pembangunan tetap
terbebas dari dosa.
Empat Pilar
Bahkan, tecermin dari empat
pilar strategi pembangunan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment), pembangunan diyakini
layaknya panacea yang menyembuhkan segala penyakit yang menggerogoti negeri
ini.
Termanifestasi dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), kepolosan dan kemuliaan makna
pembangunan terus direproduksi.
Terlepas dari relasi kuasa,
eksploitasi dan pengisapan yang melekat di dalamnya, kisah tentang
”pembangunan” selalu menjadi kisah upaya ”mulia” untuk kemajuan bangsa di
negeri ini. Sementara itu, kekayaan pengetahuan, nilai-nilai dan sistem
kehidupan atas dasar pemaknaan sendiri dari masyarakat Indonesia, satu per satu
tenggelam.
Beragam cara, visi, dan
imajinasi dalam kehidupan sosial tereduksi ke dalam sebuah narasi tunggal
”pembangunan” yang seolah universal, padahal berakar pada jejak sejarah dan
kepentingan yang partikular. Maka, selama itu pula eksploitasi dari kerakusan
kapitalis dan penindasan oleh kuasa negara atas rakyat akan terus berjalan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar