Senin, 03 September 2012

Di Balik Kepolosan Pembangunan

Di Balik Kepolosan Pembangunan
Dodi Mantra ;  Dosen Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia; Pegiat Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia
KOMPAS , 03 September 2012


Ketika kemerdekaan masyarakat yang terjajah bermuara pada perwujudan entitas negara-bangsa, dengan segera pembangunan menjadi praktik yang mengisi ruang kemerdekaan.
Merdeka, dengan menjadi negara-bangsa, memang secara legal bermakna kesetaraan. Namun, komposisi legal sebagai negara-bangsa tidak serta-merta bermakna setara. 

Secara ekonomi dan politik, eksistensi negara-bangsa baru ini tetap dimaknai dalam kategori negara-bangsa ”yang tertinggal” dalam kancah relasi kuasa internasional.
Untuk mengatasi ”ketertinggalan”, pembangunan digariskan sebagai praktik yang mutlak harus dilakukan oleh negara-bangsa yang baru merdeka. Pembangunan menjadi praktik imperatif untuk mewujudkan keutuhan identitas negara-bangsa.

Atas nama pembangunan, beraneka sistem kehidupan dalam masyarakat mengalami transformasi radikal dan tenggelam ditelan laju industrialisasi. Beragam aktivitas ekonomi yang eksploitatif terhadap manusia dan alam menjadi hal wajar di negara-negara yang baru merdeka.

Selang setengah abad kemudian, ketika kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, kemiskinan dan kelaparan semakin signifikan dan pertumbuhan semakin tidak merepresentasikan kesejahteraan, lagi-lagi pembangunan yang menjadi solusi.

Pembangunan dianggap dapat mengatasi permasalahan kerusakan lingkungan. Bahkan, melalui pembangunan, lingkungan dapat dilestarikan. Melalui wacana pembangunan yang berkeadilan sosial, pembangunan pun dapat mengatasi ketimpangan sosial dan angka pertumbuhan.

Maka, pembangunan selalu terbebas dari dosa. Pembangunan selalu diyakini sebagai praktik yang mulia, yang berjalan bebas dari kepentingan politik dan ditujukan untuk kemajuan semua lapisan masyarakat. Demikianlah pembangunan tidak pernah punya salah.

Sebaliknya, makna sosial tidak lahir dari ruang kosong. Makna sosial selalu lahir dari relasi kuasa antaraktor-aktor sosial yang tidak setara. Relasi kuasa juga berlangsung di balik panggung makna kepolosan pembangunan.

Relasi Kuasa Pembangunan

Secara historis, kemunculan gagasan pembangunan terkait dengan kemunculan kapitalisme sebagai sistem yang menggantikan masyarakat feodal di Eropa pada abad ke-18 (Jorge Larrain, 1989). Berakar dari perkembangan sistem kapitalisme ini, terbuka peluang bagi munculnya kemajuan pembangunan material (Larrain, 1989).

Pelaku dari proses transformasi dan pencetus dari gagasan pembangunan ini adalah kelas borjuis, yang tidak akan bertahan tanpa revolusi konstan atas instrumen dan relasi produksi serta keseluruhan relasi dalam masyarakat. Maka, gagasan pembangunan menjadi alat kelas borjuis untuk mentransformasikan masyarakat demi akumulasi modal.

Menurut Larrain, teori-teori tentang pembangunan berkembang seiring perubahan dalam fase-fase dari kapitalisme. Tidak heran jika makna pembangunan bagi negara-negara yang baru merdeka pasca-Perang Dunia II selalu bermuara pada industrialisasi dengan modus produksi kapitalisme di jantungnya.

Sedikit sekali yang dapat memungkiri bahwa gagasan pembangunan bersifat Euro-sentris. Gagasan tentang pembangunan dibangun atas dasar logika berpikir yang dikotomis, di mana masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara dimaknai sebagai ”yang maju” (developed) dan masyarakat di Afrika, Asia, dan Amerika Latin sebagai ”yang terbelakang” (underdeveloped) (Ziai, 2007). Artinya, ”yang terbelakang” atau ”yang tertinggal” harus menjadi ”maju”.

Ada dua lapis makna yang dibangun atas dasar relasi kuasa dalam konteks ini. Dalam lapisan yang pertama, makna dari kehidupan masyarakat Afrika, Asia, dan Amerika Latin ”yang terbelakang” tidaklah bersifat alami. Makna itu digariskan oleh masyarakat di belahan bumi lain.

Gustavo Esteva (1992) mencatat bahwa saat Presiden Amerika Serikat Harry S Truman mencanangkan ”bold new program”, 20 Januari 1949, 2 miliar orang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin dituliskan sebagai ”yang terbelakang” dan karena itu membutuhkan ”pembangunan” (development).

”Pembangunan” untuk menjadi ”maju” mengacu pada kehidupan yang berlaku pada masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara. Praktik ”pembangunan” pun lalu meniru praktik-praktik di Eropa Barat dan Amerika Utara.

Implikasi Otoritarian

Gagasan pembangunan telah membawa implikasi yang bersifat otoritarian dan teknokratis. Jelas bahwa tidak semua orang dapat mendefinisikan makna dari pembangunan dan bagaimana pembangunan dijalankan (Ziai, 2007). Pengetahuan tentang keduanya tidak terlepas dari peran ”para ahli pembangunan”. Mereka adalah para ahli yang tidak lagi mempermasalahkan akar historis dan proses relasi kuasa dari makna pembangunan. Mereka secara ”taken-for-granted” menerima gagasan pembangunan sebagai rasional, alami, dan bermanfaat. Merekalah yang memiliki otoritas spesialisasi teknis menjalankan pembangunan.

Melalui peran mereka, pengetahuan tentang ”pembangunan” selalu didefinisikan dalam demarkasi positif. Bahkan, ”pembangunan” telah menjadi sinonim bagi ”perubahan sosial yang positif” (Ziai, 2007). Keberagaman konsep tentang kehidupan, yang tersebar di masyarakat Asia, Afrika, dan Amerika Latin, akhirnya satu per satu punah ditelan sebuah narasi ”tunggal” dan ”universal” yaitu pembangunan.

Jelas terlihat bahwa ada kepentingan politik, eksploitasi, dan penindasan di balik gagasan dan praktik pembangunan. Pembangunan adalah instrumen dominasi dalam relasi kuasa pada level nasional dan internasional.

Ironisnya, narasi tentang ”kepolosan” pembangunan justru terus mengisi kemerdekaan masyarakat Indonesia sampai hari ini. Lebih dari setengah abad kemerdekaan, pembangunan tetap terbebas dari dosa.

Empat Pilar

Bahkan, tecermin dari empat pilar strategi pembangunan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment), pembangunan diyakini layaknya panacea yang menyembuhkan segala penyakit yang menggerogoti negeri ini.
Termanifestasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), kepolosan dan kemuliaan makna pembangunan terus direproduksi.

Terlepas dari relasi kuasa, eksploitasi dan pengisapan yang melekat di dalamnya, kisah tentang ”pembangunan” selalu menjadi kisah upaya ”mulia” untuk kemajuan bangsa di negeri ini. Sementara itu, kekayaan pengetahuan, nilai-nilai dan sistem kehidupan atas dasar pemaknaan sendiri dari masyarakat Indonesia, satu per satu tenggelam.

Beragam cara, visi, dan imajinasi dalam kehidupan sosial tereduksi ke dalam sebuah narasi tunggal ”pembangunan” yang seolah universal, padahal berakar pada jejak sejarah dan kepentingan yang partikular. Maka, selama itu pula eksploitasi dari kerakusan kapitalis dan penindasan oleh kuasa negara atas rakyat akan terus berjalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar