Jumat, 14 September 2012

Sindiran dari “Miss Prostitusi 2012”


Sindiran dari “Miss Prostitusi 2012”
Cucuk Espe ;  Alumnus Universitas Negeri Malang,
Peneliti pada Lembaga Baca-Tulis Indonesia
JAWA POS, 14 September 2012


METROPOLIS Surabaya kembali mencuat setelah "Ratu Prostitusi", Keyko, tertangkap pekan lalu. Tidak tanggung-tanggung, Keyko memiliki anak buah -"barang jualan"-sekitar 1.600 perempuan muda yang tersebar di seluruh kota besar di Indonesia. Omzet setiap bulan pun lebih dari Rp 3 miliar. Memang pantas Keyko menyandang gelar Miss Prostitusi 2012. 

Sebagai kota besar kedua setelah Jakarta, Kota Pahlawan ini sudah amat dikenal memiliki lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, yakni Dolly. Nama Dolly pun melambung hingga dikenal di mancanegara, seperti Vietnam, Thailand, India, bahkan Belanda. 

Kini, keterkenalan Kota Surabaya kembali melonjak dengan ditangkapnya Keyko, sang germo yang memiliki anak buah di seluruh Indonesia. Pelanggannya pun rata-rata para pejabat, politisi, dan pengusaha karena jaringan Keyko menawarkan perempuan-perempuan pilihan yang sebagian ABG dan mahasiswi.

Pelacuran memang "penyakit" yang ada sejak manusia muncul di muka bumi dan terus berkembang seiring perkembangan demografis dan sosiologis masyarakat. Yang menarik dicermati atas tertangkapnya Keyko adalah sistem kerja dan pola bisnisnya yang rapi serta memanfaatkan perkembangan teknologi. Sang germo ini mampu mengendalikan bisnisnya di berbagai kota hanya dari Surabaya. Tentu dia memanfaatkan jejaring sosial dan transaksi lewat BlackBerry Messenger -BBM), serta pembayaran via bank. 

Konsumen memesan melalui BBM setelah melihat "perempuan" yang diinginkan di jejaring sosial, lantas nego melalui BBM. Pembayaran dilakukan dengan mentransfer sejumlah uang yang telah disepakati. Hanya dari Surabaya! Ini karena Keyko telah memiliki "gerai-cabang" di Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Semarang, Bali, Medan, dan sejumlah kota lain. Sungguh sistem binis yang sangat technocable dan sangat rapi. 

Belajar dari Keyko 

Ada beberapa realitas kekinian yang patut kita cermati terkait dengan tertangkapnya ratu prostitusi di Surabaya ini. Sebuah realitas yang luput dari jangkau-pandang kita karena sibuk terbelit persoalan pragmatis politis. Pertama, fenomena Keyko merupakan indikasi kegagalan pendidikan secara holistik. Jujur saja, kita selama ini telah mempersempit makna pendidikan hanya pada dunia persekolahan. Kita pun merasa nyaman apabila anak-anak kita pamit pergi ke sekolah atau izin ada jam pelajaran tambahan. Namun, sadarkah kita bahwa pamit pergi ke sekolah pun mampu menjadi modus untuk lepas dari rumah?

Dengan kata lain, pendidikan di rumah oleh orang tua menjadi kunci keberhasilan pendidian holistik. Pembekalan nilai-nilai moral tidak dimulai dari sekolah, tetapi dari rumah. Sebab, harus diakui, dunia pendidikan formal kita tidak menjamin transformasi nilai moralitas, melainkan hanya "nilai ujian" ketika materi tuntas. Patut disadari bahwa sebagian besar remaja yang terjerumus dalam liang pelacuran, sejatinya bukan terdorong oleh keinginan nurani, tetapi karena ketidaberesan komunikasi dalam keluarga.

Kedua, fenomena Keyko seolah menyindir kita agar mampu mengoptimalkan teknologi dengan baik. Dunia maya menyajikan beragam informasi dan sensasi sekaligus mampu membuat lupa diri. Prostitusi alias bisnis perzinaan melalui dunia maya bukanlah hal baru. Pangsa pasar dan komoditas yang diperjualbelikan telah menyentuh konsumen yang luas. Yakni perempuan di bawah umur serta pejabat publik yang ternyata menjadi pelanggan tetap. 

Kemajuan teknologi membuat prostituti tidak kentara dan bisa dilakukan tanpa harus keluar ke jalanan atau lokalisasi. Cukup koneksi internet dari kamar hotel, pilih-pilih, lalu telepon dan dibayar via online banking. Sederhana, cepat, dan rapi. Tidak heran peluang ini mengundang para pejabat publik dan mereka yang "malu-malu" tergiur menyambutnya. 

Pada titik inilah teknologi harus digunakan dengan cerdas karena manfaat optimal perkembangan teknologi tidak akan diperoleh penggunanya jika hanya mengandalkan kepintaran (keahlian) tanpa ada kecerdasan. 

Ketiga, fenomena Keyko seolah menyentak kita -terutama warga Surabaya- bahwa di Kota Pahlawan ini makin rentan (baca: longgar) terjadinya bisnis haram. Jika Kramat Tunggak, Jakarta, telah hilang, mengapa Dolly dan sejumlah lokalisasi lain masih tarik ulur? Jujur saja, ini problem politis. 

Di sisi lain, sebagai kota metropolitan kedua setelah Jakarta, aparatur di Surabaya juga harus menyiapkan kompetensi untuk mencegah tindak kejahatan jalanan maupun moral. Tentu saja upaya ini harus dibarengi kemampuan masuk dalam wilayah kejahatan yang menggunakan teknologi tinggi (cybercrime). Tetapi, terbongkarnya jaringan protitusi online di Surabaya ini mengundang "senyum" sambil berkata; Surabaya memang nggak ada matinya. 

(Un)welcome Miss Protitusi 2012. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar