Sabtu, 01 September 2012

Bercermin pada Pengadilan Socrates


Bercermin pada Pengadilan Socrates
Thomas Koten ;  Direktur Social Development Center; Seorang Sarjana Filsafat
SINAR HARAPAN, 01 September 2012


Salah satu alasan utama yang membuat terus terjadinya demoralisasi bangsa, seperti merebaknya wabah korupsi dan suap, adalah lemahnya penegakan supremasi hukum.
Atau, karena hukum di negeri ini tidak memiliki moralitas dan minus keadilan. Oleh karena itu, keadilan sejati yang dirindukan tidak kunjung terwujud, dan dekadensi moral atau demoralisasi bangsa pun semakin menyeruak.

Itu semua tidak lain disebabkan bobroknya mental aparat penegak hukum yang minus nurani dan moral mereka dalam menjalankan tugas-tugas penegakan hukum.
Dengan demikian, moralitas hukum yang hakikatnya berorientasi pada penciptaan kebenaran dan keadilan publik sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat pun semakin lenyap. Yang menyeruak adalah ketidakadilan dan kepalsuan hidup berbangsa.
Akhirnya, negara dinilai memiliki produk hukum dengan sistem hukum yang merupakan kosmetik belaka.

Padahal, tujuan dibuatkan hukum oleh suatu negara, tidak lain, seperti kata filsuf besar Yunani klasik, Socrates, adalah untuk dijadikan sebagai landasan hidup moral bersama dan terciptanya keadilan dan keadaban bangsa. Lalu, bagaimana supaya hukum kita menjadi lebih bermoral dan terutama supaya aparat penegak hukum kita lebih bernurani dan berintegritas?

Pengadilan Socrates

Sebagai ilustrasi dalam esai ini, kita kembali melihat pengadilan Socrates yang disebut  Pengadilan Heliasts (Court of the Heliasts) yang melemparkan sejumlah tuduhan kepada Socrates. Pertama, Socrates dituduh menolak menyembah dewa-dewa resmi Yunani (impiety).

Kedua, Socrates dituduh meracuni pikiran anak-anak muda Athena, lewat “filsafat kritis” yang diajarkannya, seperti kebebasan berpendapat. Semua tuduhan itu diperkuat dengan ramalan kuil Appollo bahwa Socrates merupakan orang terpandai dan merupakan hadiah dari para dewa untuk Athena.

Sebagaimana dikisahkan dalam buku-buku filsafat, pada waktu itu tidak ada jaksa dan hakim. Setiap warga Athena yang merasa diri mempunyai bukti tentang kejahatan yang dilakukan seperti yang dituduhkan kepada Socrates tampil ke depan untuk memberikan kesaksian.

Atau, setiap warga Athena dapat menjadi hakim dan jaksa. Di samping tidak ada tata krama dan etika pengadilan, juga Socrates tidak memiliki peluang untuk keluar dari jeratan Pengadilan Heliasts.

Ini karena “hakim” dan “jaksa”, yang terdiri dari seluruh warga Athena yang hadir itu, juga adalah musuh-musuh Socrates yang telah memiliki penilaian buruk sebelumnya, atau apriori negatif terhadap Socrates yang sulit dibantah.

Terbukti atau tidak, dan sejauh mana pun kebenaran yang dimiliki Socrates, dengan berbagai argumentasi yang diajukannya, Socrates sadar bahwa dirinya tidak bisa keluar dari jeratan hukuman mati yang diterimanya.

Ketika itu, seorang muridnya bermaksud membantunya agar ia bisa keluar dari penjara dengan menyuap para penjaga. Tetapi, Socrates menolak bantuan muridnya dan tidak mau menggunakan uang agar tetap hidup, meskipun ia tahu dirinya tidak bersalah.
Kepada para jaksa dan hakim, yaitu para warga Athena yang menuntutnya, Socrates mengatakan, “A man should take courage when about to die, and be of good hope, after leaving this life, he will attain to the greatest good younder”.

Orang harus tabah ketika menghadapi kematian, dan patut mempunyai harapan baik bahwa setelah meninggalkan dunia ini dia akan memperoleh kebaikan terbesar di dunia lain. Dengan demikian, yang pantas dipilih untuk dipertahankan adalah moral yang dianggapnya benar, meski dengan harus mengorbankan nyawa.

Artinya, lewat Pengadilan Heliasts itu juga Socrates hendak memberikan pendidikan hukum dan moral kepada para hakim dan jaksa dalam pelaksanaan tugas-tugas mulianya. Di depan Pengadilan Heliasts, Socrates berjanji taat pada hukum. “Saya tidak akan mengemis agar saya diberi pengampunan, tetapi saya akan memberikan pencerahan (enlightment) kepada Anda tentang tugas-tugas hakim dan jaksa serta berusaha meyakinkan Anda untuk melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan berintegritas tinggi.”

Memang, semasa hidupnya juga Socrates selalu memberikan kritik pedas kepada para hakim dan jaksa, terutama terhadap kiprah kelompok filsuf Sofis yang cenderung memanfaatkan kehormatan dan keahlian mereka sebagai ahli retorika yang senang berwacana untuk memengaruhi kaum muda Athena pada cara hidup yang tidak terhormat.

Kepandaian retorika bukan dipakai sebagai jalan menemukan kebenaran, tetapi sebagai alat kelicikan: memutarbalikkan fakta dan merekayasa berbagai persoalan kemasyarakatan.

Ketaatan pada hukum ini memang sering diucapkan pula dalam wacana dan tulisan-tulisanya. Suatu ketika Socrates berucap, celakalah negeri yang penghuninya tidak respek pada hukum, terutama para aparat penegak hukumnya.

Ini karena tiap pengabaian hukum merupakan tindakan keji, tidak bermoral, yang amat berbahaya bagi eksistensi bangsa. Begitu hukum dicabik-cabik, kebenaran hukum dimanipulasi, kebohongan dicuatkan, kehancuran hadir di depan mata, karena yang akan terjadi adalah ketidakadilan, penindasan, dan kebiadaban.

Renungan Bernegara

Keteguhan dalam menjaga moral seperti yang ditunjukkan Socrates ternyata berbanding terbalik dengan perilaku para koruptor, dus para hakim dan jaksa di negeri ini.
Hakim dan jaksa yang gemar menerima suap, merekayasa kebenaran hukum, dan tidak bernurani serta koruptor yang gemar berbohong dan serakah, adalah indikasinya. Semua itu adalah cermin kesia-siaan kematian Socrates yang ingin memberikan pencerahan hukum.

Akibatnya, dari potret hukum dus pengadilan di negeri ini yang bertolak belakang dengan perjuangan Socrates itulah bangsa ini memasuki periode berbahaya. Aksi suap dan korupsi pun semakin menjadi-jadi.

Orang semakin tidak takut menyuap dan mengorupsi, karena yakin bahwa dirinya dapat bebas dari jeratan hukum, jika pandai berselingkuh dengan para hakim dan jaksa dan lihai bermain mata dengan para penguasa.

Lalu, apakah keadaan bangsa seperti ini terus dibiarkan hingga jatuh ke tebing jurang kehancurannya? Jawabannya, tentu tidak. Oleh karena itu, pesan Socrates perlu direnungkan oleh semua komponen bangsa, terutama para hakim dan jaksa.

Pernyataan Socrates lain yang perlu menjadi sumber renungan adalah, “Pantang bagiku untuk melecehkan hukum di negeriku, karena aku tahu hukum, maka wajib bagiku untuk menjalankan dan menghormatinya. Hanya orang lalim yang tidak mewujudkan apa yang ia tahu dalam perbuatan; hidup terhormat lebih utama dari materi.”

Jika perilaku dan kualitas hidup moral etis para aparat penegak hukum tidak tercerahkan dari kematian Socrates, bukan saja wajah hukum kita kian tercoreng, tetapi kehidupan moral bangsa pun kian terdegradasi.

Dengan demikian, yang diperlukan kini adalah pembangunan keutamaan-keutamaan moral etis kehidupan bangsa yang dimulai dari pencerahan dan pencerdasan kehidupan hukum oleh aparat penegak hukum. Itu demi terbangunnya sebuah negara moral.

Kata Robert Spaeman, filsuf asal Jerman, sebuah negara menjadi negara moral adalah negara yang bukan saja memberikan ruang gerak bagi masyarakat madani (civil society) untuk mengekspresikan perilaku hidup yang penuh moral, tetapi harus mendesak aparat pengatur kehidupan negara seperti aparat penegak hukum untuk berperilaku dan bertindak adil dalam menjalankan tugas-tugasnya.

1 komentar:

  1. Samijaya

    Artikel yang bagus untuk santapan jiwa.

    Dalam buku yang berjudul ALEXANDER ADALAH ZULQARNAIN tulisan Wisnu Sasongko, disebutkan bahwa silsilah guru Alexander Agung adalah
    Aristoteles > Plato > Socrates.
    Dalam buku itu ditegaskan dengan yakin bahwa figur Socrates adalah seorang yang disebutkan dalam Qur'an sebagai Luqman al-Hakim (Luqman yang bijaksana).
    Kabarnya si Penulis buku itu akan menerbitkan buku khusus tentang Socrates sebagai Luqman Hakim. saya sangat berharap buku itu segera terbit, untuk mengobati kehausan saya pada sejarah.
    bagaimana pendapat anda?

    BalasHapus