Dialog
Intraagama: Urgen dan Relevan
Hajriyanto Y Thohari ; Wakil Ketua MPR RI
|
SINDO,
01 September 2012
Serangkaian peristiwa konflik dan kekerasan yang menimpa kelompok
minoritas yang terjadi akhir-akhir ini menyadarkan kita bahwa persoalan
ke-Bhinneka Tunggal Ika-an atau kemajemukan (pluralitas) masih menjadi problem
di negeri ini.
Ternyata pula problem ini bukan hanya menyangkut kemajemukan
eksternal (pluralitas agama), melainkan yang tidak kurang gawatnya adalah
kemajemukan internal (pluralitas internal agama). Tidak mengherankan jika Prof
Nurcholish Madjid dulu sangat gigih mengajarkan dikembangkannya paham
pluralisme eksternal dan sekaligus pluralisme internal di kalangan umat dan
bangsa Indonesia.
Saya memandang gagasan Cak Nur tersebut masih sangat relevan dan strategis sekali untuk terus dikembangkan. Dalam tulisan ini saya sengaja menghindari penggunaan kata pluralisme oleh karena kata itu cenderung polemis. Jauh lebih aman kita menggunakan kata bahasa Indonesia daripada kata asing (serapan), yaitu kemajemukan eksternal dan internal.
Langkah Kultural: Dialog
Fakta menunjukkan bahwa kemajemukan internal agama perlu ditangani dengan serius dan penuh kehati-hatian. Pasalnya, konflik-konflik internal agama antaraliran, mazhab, sekte, paham, atau apa pun namanya tidak jarang,bahkan sering kali, berlangsung jauh lebih keras daripada konflik antaragama. Kasus kekerasan yang menimpa kelompok Syiah di Sampang akhir-akhir ini, tarikat Tijaniyah, dan Ahmadiyah di Ciketing belum lama berselang membuktikan adanya problem itu.
Apalagi ternyata konflik kekerasan internal agama itu bahkan sampai mengakibatkan jatuhnya korban jiwa secara sangat mengenaskan dan memilukan. Konflik-konflik internal agama dalam bentuk polemik perbedaan pemahaman tentu tidak mungkin dihilangkan karena menyangkut pemahaman teologi yang memang nisbi dan subjektif meski menyangkut sesuatu yang sangat doktrinal dan fundamental.
Tapi jika konflik-konflik keagamaan akibat perbedaan pemahaman atau aliran itu menjurus pada tindak kekerasan, apalagi sampai jatuh korban jiwa, mutlak harus ada langkah-langkah cepat untuk menghentikannya. Langkah-langkah struktural tentu harus dilakukan oleh negara yang memang memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi segenap bangsa apa pun suku, agama, atau aliran teologi yang dianutnya.
Tapi tentu saja langkah-langkah struktural semata tidaklah cukup. Di sini diperlukan suatu pendekatan budaya atau kultural dengan menghidupkan kembali dialog-dialog antarmazhab, antaraliran,atau apa pun namanya dalam Islam di Indonesia ini. Seruan-seruan mengenai perlunya hidup berdampingan dalam kemajemukan internal (lagi-lagi saya menghindari kata pluralisme internal) harus terus disuarakan dan diteladankan oleh para ulama dan tokoh-tokoh agama.
Dialog internal agama (terutama Islam) memiliki urgensi yang sangat tinggi untuk digelar mengingat fakta bahwa isu-isu keagamaan yang sebenarnya sudah dianggap persoalan khilafiah ternyata masih ada, bahkan masih cenderung ibarat api dalam sekam. Adalah sangat mengejutkan ternyata isu-isu lama mengenai misalnya saja tahlilan, ziarah kubur, peringatan maulid nabi, dan sejenisnya masih juga menjadi penyebab konflik di tengah-tengah umat atau masyarakat.
Di sebuah daerah di Jawa Tengah terjadi sebuah konflik yang sudah menjurus kekerasan hanya karena ada kelompok yang secara terbuka menyatakan tahlil itu bid’ah dan ziarah kubur itu syirik.Sementara kelompok yang satunya lagi menuduh kelompok lainnya sebagai penganut Islam transnasional yang puritan dan atau Wahabisme atau bahkan menuduhnya sebagai pembawa ajaran ekstremisme dan terorisme.
Sangatlah menyedihkan menyaksikan fakta-fakta bahwa persoalan yang selama ini sudah disepakati sebagai masuk wilayah khilafiah ternyata masih bisa menjadi akar konflik internal agama. Menjadi fakta pula bahwa perbedaan awal Ramadan dan 1 Syawal (Idul Fitri) telah cukup untuk menjadi penyebab ketegangan (tension) di kalangan umat Islam.Ketegangan ini menjadi semakin sengit oleh karena ada yang berusaha menarik-narik negara agar ikut campur tangan dalam perbedaan paham keagamaan itu.
Dialog yang Diperluas
Walhasil dialog internal agama mendesak untuk diselenggarakan. Dialog-dialog ini bukan hanya dialog-dialog yang berdimensi doktrinal atau mazhab, melainkan juga dialog-dialog karya yang jauh lebih konkret. Dialog-dialog itu secara langsung dan tidak langsung akan mengajarkan kepada umat masing-masing untuk dapat hidup berdampingan secara rukun dan harmonis meskipun berbeda paham,aliran, mazhab, dan praktik-praktik keagamaannya.
Dialog-dialog antarmazhab ini setidaknya akan dapat meningkatkan pemahaman timbal balik antarmazhab yang berbeda. Lebih daripada itu akan mengurangi ketegangan antargolongan keagamaan yang diakibatkan ketidaktahuan atau ketidakmengertian di antara satu golongan atau aliran dengan golongan atau aliran yang lain.
Dialog-dialog ini sangat mungkin dilakukan. Pertama, di antara elite aliran agama masing-masing tentu sudah sangat akrab dengan perbedaan mazhab atau aliran oleh karena di bangku kuliahnya dulu mereka ketika studi agama tentu sempat belajar ilmu perbandingan mazhab (muqaranah ‘l-mazhab).
Kedua, setelah reformasi diselenggarakan beberapa kali Kongres Umat Islam (KUI) di Jakarta.Tapi agenda-agenda yang diangkat dalam kongres tersebut terlalu sarat dengan dimensi politik. Kini format kongres tersebut perlu diganti dengan dialog internal umat Islam dengan melibatkan bukan hanya golongan-golongan konvensional saja, melainkan juga golongan-golongan dan kelompok-kelompok Islam inkonvensional atau gerakangerakan Islam kontemporer.
Golongan-golongan konvensional atau gerakan-gerakan Islam kontemporer dengan segala bentuk dan corak pemahaman keagamaannya yang baru nyatanya telah tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kita. Bahkan memiliki pengikut dalam jumlah yang semakin besar secara numerikal yang diakui atau tidak telah menimbulkan kegalauan kalangan Islam konvensional yang telah memiliki sejarah panjang di negeri ini.
Golongan konvensional memandang gerakan-gerakan Islam kontemporer atau yang secara agak peyoratif disebut sebagai kelompok-kelompok sempalan (splinter groups) itu dengan sedikit curiga. Sementara kelompok yang terakhir ini kadang-kadang— meski tidak semuanya— tampil agak sedikit eksklusif. Bertemunya sikap curiga dan kecenderungan eksklusivisme atau sikap sektarianisme antarkelompok keagamaan ini terus terang saja ikut menyuburkan komunalisme atau ashabiyah. Inilah sejatinya yang menjadi benih-benih konflik antarkelompok internal agama di Indonesia.
Walhasil, dialog internal umat Islam perlu dilakukan. Jika selama ini umat Islam Indonesia dapat memelopori diselenggarakannya dialog-dialog antaragama, bahkan interfaith dialogue, dengan peserta perwakilan dari agama-agama besar yang ada, rasanya aneh kalau umat Islam tidak bisa menyelenggarakan dialog internal agama Islam sendiri.
Maka untuk melengkapi penyelenggaraan dialog antaragama, interfaith dialogue, dialog peradaban, dan lainnya perlu digelar dialog antarmazhab, dialog antar-“aliran”, dialog antargerakan Islam, atau apa pun namanya. Dialog-dialog semacam ini akan mampu mengikis sikap saling curiga, sikap merasa benar sendiri, dan sikap mudah menghakimi atau menyesatkan kelompok lain sebagai menyimpang. Dialog ini setidaknya berpotensi mendinginkan suasana ketegangan di antara aliran dan atau mazhab dalam Islam.
Sebagai penutup perlu ditegaskan di sini bahwa umat Islam adalah bagian terbesar dari bangsa ini. Jika umat Islam yang berbeda-beda mazhab, aliran, organisasi, dan pemahaman itu bisa hidup berdampingan dengan rukun dan harmonis niscaya akan memberikan sumbangan yang sangat besar bagi integrasi nasional. Sangat meyakinkan, gengsi, prestasi, dan reputasi bangsa Indonesia sebagian (besar) terletak di pundak umat Islam, semata-mata karena merupakan bagian terbesar dari bangsa ini. Jika persoalan internal umat Islam selesai, selesailah separuh dari persoalan bangsa ini. Percayalah. ●
Saya memandang gagasan Cak Nur tersebut masih sangat relevan dan strategis sekali untuk terus dikembangkan. Dalam tulisan ini saya sengaja menghindari penggunaan kata pluralisme oleh karena kata itu cenderung polemis. Jauh lebih aman kita menggunakan kata bahasa Indonesia daripada kata asing (serapan), yaitu kemajemukan eksternal dan internal.
Langkah Kultural: Dialog
Fakta menunjukkan bahwa kemajemukan internal agama perlu ditangani dengan serius dan penuh kehati-hatian. Pasalnya, konflik-konflik internal agama antaraliran, mazhab, sekte, paham, atau apa pun namanya tidak jarang,bahkan sering kali, berlangsung jauh lebih keras daripada konflik antaragama. Kasus kekerasan yang menimpa kelompok Syiah di Sampang akhir-akhir ini, tarikat Tijaniyah, dan Ahmadiyah di Ciketing belum lama berselang membuktikan adanya problem itu.
Apalagi ternyata konflik kekerasan internal agama itu bahkan sampai mengakibatkan jatuhnya korban jiwa secara sangat mengenaskan dan memilukan. Konflik-konflik internal agama dalam bentuk polemik perbedaan pemahaman tentu tidak mungkin dihilangkan karena menyangkut pemahaman teologi yang memang nisbi dan subjektif meski menyangkut sesuatu yang sangat doktrinal dan fundamental.
Tapi jika konflik-konflik keagamaan akibat perbedaan pemahaman atau aliran itu menjurus pada tindak kekerasan, apalagi sampai jatuh korban jiwa, mutlak harus ada langkah-langkah cepat untuk menghentikannya. Langkah-langkah struktural tentu harus dilakukan oleh negara yang memang memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi segenap bangsa apa pun suku, agama, atau aliran teologi yang dianutnya.
Tapi tentu saja langkah-langkah struktural semata tidaklah cukup. Di sini diperlukan suatu pendekatan budaya atau kultural dengan menghidupkan kembali dialog-dialog antarmazhab, antaraliran,atau apa pun namanya dalam Islam di Indonesia ini. Seruan-seruan mengenai perlunya hidup berdampingan dalam kemajemukan internal (lagi-lagi saya menghindari kata pluralisme internal) harus terus disuarakan dan diteladankan oleh para ulama dan tokoh-tokoh agama.
Dialog internal agama (terutama Islam) memiliki urgensi yang sangat tinggi untuk digelar mengingat fakta bahwa isu-isu keagamaan yang sebenarnya sudah dianggap persoalan khilafiah ternyata masih ada, bahkan masih cenderung ibarat api dalam sekam. Adalah sangat mengejutkan ternyata isu-isu lama mengenai misalnya saja tahlilan, ziarah kubur, peringatan maulid nabi, dan sejenisnya masih juga menjadi penyebab konflik di tengah-tengah umat atau masyarakat.
Di sebuah daerah di Jawa Tengah terjadi sebuah konflik yang sudah menjurus kekerasan hanya karena ada kelompok yang secara terbuka menyatakan tahlil itu bid’ah dan ziarah kubur itu syirik.Sementara kelompok yang satunya lagi menuduh kelompok lainnya sebagai penganut Islam transnasional yang puritan dan atau Wahabisme atau bahkan menuduhnya sebagai pembawa ajaran ekstremisme dan terorisme.
Sangatlah menyedihkan menyaksikan fakta-fakta bahwa persoalan yang selama ini sudah disepakati sebagai masuk wilayah khilafiah ternyata masih bisa menjadi akar konflik internal agama. Menjadi fakta pula bahwa perbedaan awal Ramadan dan 1 Syawal (Idul Fitri) telah cukup untuk menjadi penyebab ketegangan (tension) di kalangan umat Islam.Ketegangan ini menjadi semakin sengit oleh karena ada yang berusaha menarik-narik negara agar ikut campur tangan dalam perbedaan paham keagamaan itu.
Dialog yang Diperluas
Walhasil dialog internal agama mendesak untuk diselenggarakan. Dialog-dialog ini bukan hanya dialog-dialog yang berdimensi doktrinal atau mazhab, melainkan juga dialog-dialog karya yang jauh lebih konkret. Dialog-dialog itu secara langsung dan tidak langsung akan mengajarkan kepada umat masing-masing untuk dapat hidup berdampingan secara rukun dan harmonis meskipun berbeda paham,aliran, mazhab, dan praktik-praktik keagamaannya.
Dialog-dialog antarmazhab ini setidaknya akan dapat meningkatkan pemahaman timbal balik antarmazhab yang berbeda. Lebih daripada itu akan mengurangi ketegangan antargolongan keagamaan yang diakibatkan ketidaktahuan atau ketidakmengertian di antara satu golongan atau aliran dengan golongan atau aliran yang lain.
Dialog-dialog ini sangat mungkin dilakukan. Pertama, di antara elite aliran agama masing-masing tentu sudah sangat akrab dengan perbedaan mazhab atau aliran oleh karena di bangku kuliahnya dulu mereka ketika studi agama tentu sempat belajar ilmu perbandingan mazhab (muqaranah ‘l-mazhab).
Kedua, setelah reformasi diselenggarakan beberapa kali Kongres Umat Islam (KUI) di Jakarta.Tapi agenda-agenda yang diangkat dalam kongres tersebut terlalu sarat dengan dimensi politik. Kini format kongres tersebut perlu diganti dengan dialog internal umat Islam dengan melibatkan bukan hanya golongan-golongan konvensional saja, melainkan juga golongan-golongan dan kelompok-kelompok Islam inkonvensional atau gerakangerakan Islam kontemporer.
Golongan-golongan konvensional atau gerakan-gerakan Islam kontemporer dengan segala bentuk dan corak pemahaman keagamaannya yang baru nyatanya telah tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kita. Bahkan memiliki pengikut dalam jumlah yang semakin besar secara numerikal yang diakui atau tidak telah menimbulkan kegalauan kalangan Islam konvensional yang telah memiliki sejarah panjang di negeri ini.
Golongan konvensional memandang gerakan-gerakan Islam kontemporer atau yang secara agak peyoratif disebut sebagai kelompok-kelompok sempalan (splinter groups) itu dengan sedikit curiga. Sementara kelompok yang terakhir ini kadang-kadang— meski tidak semuanya— tampil agak sedikit eksklusif. Bertemunya sikap curiga dan kecenderungan eksklusivisme atau sikap sektarianisme antarkelompok keagamaan ini terus terang saja ikut menyuburkan komunalisme atau ashabiyah. Inilah sejatinya yang menjadi benih-benih konflik antarkelompok internal agama di Indonesia.
Walhasil, dialog internal umat Islam perlu dilakukan. Jika selama ini umat Islam Indonesia dapat memelopori diselenggarakannya dialog-dialog antaragama, bahkan interfaith dialogue, dengan peserta perwakilan dari agama-agama besar yang ada, rasanya aneh kalau umat Islam tidak bisa menyelenggarakan dialog internal agama Islam sendiri.
Maka untuk melengkapi penyelenggaraan dialog antaragama, interfaith dialogue, dialog peradaban, dan lainnya perlu digelar dialog antarmazhab, dialog antar-“aliran”, dialog antargerakan Islam, atau apa pun namanya. Dialog-dialog semacam ini akan mampu mengikis sikap saling curiga, sikap merasa benar sendiri, dan sikap mudah menghakimi atau menyesatkan kelompok lain sebagai menyimpang. Dialog ini setidaknya berpotensi mendinginkan suasana ketegangan di antara aliran dan atau mazhab dalam Islam.
Sebagai penutup perlu ditegaskan di sini bahwa umat Islam adalah bagian terbesar dari bangsa ini. Jika umat Islam yang berbeda-beda mazhab, aliran, organisasi, dan pemahaman itu bisa hidup berdampingan dengan rukun dan harmonis niscaya akan memberikan sumbangan yang sangat besar bagi integrasi nasional. Sangat meyakinkan, gengsi, prestasi, dan reputasi bangsa Indonesia sebagian (besar) terletak di pundak umat Islam, semata-mata karena merupakan bagian terbesar dari bangsa ini. Jika persoalan internal umat Islam selesai, selesailah separuh dari persoalan bangsa ini. Percayalah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar