Tragedi
Diskriminasi Pendidikan
Akh Muzakki ; Ketua PW
LP Maarif NU Jatim,
Anggota
Dewan Pendidikan Jatim, Dosen
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
JAWA
POS, 23 Juli 2012
DEMO besar-besaran oleh ribuan
santri dan alumni pesantren serta warga masyarakat di Kota Sumenep menarik
perhatian dunia pendidikan dan politik pemerintahan. Tidak saja karena
penyanderaan Wakapolres oleh massa serta jatuhnya korban luka (Jawa Pos,
18 Juli), melainkan juga potensi efek domino oleh kebijakan aparatur negara
yang menimpa dunia pesantren dan madrasah di seluruh Indonesia.
Demo yang berujung pada kekerasan sosial di atas berawal dari keluarnya surat pengumuman penerimaan brigadir brimob dan dalmas oleh Polres Sumenep nomor: Peng/03/VI/2012 tertanggal 5 Juni 2012. Pada bagian II butir 2 dalam surat itu, dijelaskan persyaratan lain bagi anggota masyarakat yang bisa mendaftar.
Butir itu berbunyi: "Khusus untuk pondok pesantren sesuai dengan Surat Departemen Pendidikan Nasional yang diakui setara dengan SMU dan diperbolehkan mendaftar menjadi anggota Polri antara lain: (a) Ponpes Gontor Ponorogo, (b) Ponpes Al-Amien Prenduan Sumenep, (c) Ponpes Mathabul Ulum Sumenep, (d) Ponpes Modern Al-Barokah Patianrowo Nganjuk."
Lamaran Moh. Azhari, alumnus Madrasah Aliyah (MA) 2 Annuqayah, ditolak oleh Polres Sumenep. Pesantren Annuqayah sendiri merupakan sebuah pesantren besar di ujung timur Madura. Penolakan itu tampak harga mati walaupun serangkaian langkah penyelesaian diupayakan pihak Yayasan Annuqayah.
Dalam surat pernyataan sikapnya nomor 11/SN.03/A/VII/2012 tertanggal 4 Juli 2012, Yayasan Annuqayah menjelaskan bahwa pada 18 Juni 2012, pimpinan Madrasah Aliyah 2 Annuqayah telah mendatangi Polres Sumenep dan meminta klarifikasi atas penolakan alumnusnya untuk mendaftar.
Juga, pada 20 Juni 2012, mereka melapor ke Dewan Pendidikan Sumenep. Keesokan harinya, Yayasan Annuqayah dan Dewan Pendidikan Sumenep mendatangi Kapolres Sumenep untuk meminta klarifikasi. Tetapi, hasilnya, diskriminasi jalan terus.
Sesat Pikir
Penyelesaian melalui negosiasi dan klarifikasi sudah dilakukan. Tetapi, akhirnya tetap saja tidak ada kata selesai. Bahkan, kebijakan diskriminasi itu tetap diteruskan. Ini berarti ada sesat pikir basis kognitif aparatur negara kita.
Lalu, pertanyaannya, di manakah sesat pikir itu? Saya mencatat, minimal, ada tiga poin. Pertama, sungguh janggal, surat pengumuman rekrutmen yang dikeluarkan oleh Polres Sumenep tertanggal 5 Juni 2012 di atas menyebut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan kesalahan nomenklatur yang sangat besar. Selain menggunakan kata "Departemen", surat itu juga menyebut istilah "Pendidikan Nasional".
Padahal, kata "Departemen" sudah sejak 2009 dihapus dari nomenklatur kabinet pemerintahan. Penggantian nomenkaltur departemen menjadi kementerian ini berdasar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan Perpres Nomor 47 Tahun 2009 tentang perihal serupa. Juga, istilah "Pendidikan Nasional" sudah diganti menjadi "Pendidikan dan Kebudayaan" sejak 2011.
Karena itu, sangat tidak jelas instansi mana yang dirujuk oleh surat Polres Sumenep di atas. Kondisi ini sungguh sangat absurd karena kesalahan dan ketidakjelasan itu berasal dari aparatur negara sendiri.
Kedua, surat oleh Polres Sumenep yang dijadikan sebagai dasar penolakan atas alumni pesantren dan madrasah di atas sama sekali tidak menjelaskan nomor surat, tanggal penerbitan, serta perihal surat oleh instansi yang disebut dengan istilah "Departemen Pendidikan Nasional" itu. Padahal, hal demikian lazim digunakan dalam tata persuratan dan dokumen negara. Akibatnya, semua serba tidak jelas tentang apa dasar penolakan Polres Sumenep terhadap alumni pesantren dan madrasah untuk mendaftar sebagai anggota kepolisian.
Lebih ironis lagi, surat tersebut menyebut empat pesantren dan menolak yang lain. Apa dasar perlakuan yang berbeda ini? Ini yang tidak jelas. Sebab, di surat itu tidak ada pendasaran hukumnya yang jelas pula dengan nomor dan perihal spesifik dari instansi yang berwenang. Juga, tidak jelas produk rezim mana dan tahun berapa aturan hukum yang dijadikan sebagai dasar itu. Tentu, semua indikasi diskriminasi ini harus dihentikan.
Ketiga, titik lemah perujukan yang tidak jelas oleh surat Polres Sumenep di atas semakin kelihatan saat dikaitkan dengan aturan perundang-undangan di atasnya. Sebut saja UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan. Tiga produk perundang-undangan tersebut secara jelas dan tegas menolak diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan, termasuk pesantren dan madrasah. Surat dikriminatif Polres Sumenep itu berarti batal demi hukum.
Masalah yang terjadi di Sumenep di atas bukanlah masalah lokal masyarakat setempat semata. Bukan pula masalah individual Moh. Azhari yang alumnus pesantren Annuqayah. Seluruh masyarakat pesantren dan madrasah di seantero nusantara ini bisa menjadi korban kebijakan diskriminatif.
Polres minta maaf memang baik. Namun, belum menyelesaikan masalah. Kebijakan naif di atas terjadi pada aparatur negara yang menjadi pelaksana teknis aturan perundang-undangan. Tentu, itu suatu ironi besar. Apalagi, jika aturan perundang-undangan itu bukan produk kemarin sore, tentu ironi itu sulit untuk sekadar diselesaikan dengan kata maaf. Perlu diseminasi dan up-grading basis pengetahun aparatur negara yang menegakkan hukum agar hukum dan keadilan berjalan seirama. ●
Demo yang berujung pada kekerasan sosial di atas berawal dari keluarnya surat pengumuman penerimaan brigadir brimob dan dalmas oleh Polres Sumenep nomor: Peng/03/VI/2012 tertanggal 5 Juni 2012. Pada bagian II butir 2 dalam surat itu, dijelaskan persyaratan lain bagi anggota masyarakat yang bisa mendaftar.
Butir itu berbunyi: "Khusus untuk pondok pesantren sesuai dengan Surat Departemen Pendidikan Nasional yang diakui setara dengan SMU dan diperbolehkan mendaftar menjadi anggota Polri antara lain: (a) Ponpes Gontor Ponorogo, (b) Ponpes Al-Amien Prenduan Sumenep, (c) Ponpes Mathabul Ulum Sumenep, (d) Ponpes Modern Al-Barokah Patianrowo Nganjuk."
Lamaran Moh. Azhari, alumnus Madrasah Aliyah (MA) 2 Annuqayah, ditolak oleh Polres Sumenep. Pesantren Annuqayah sendiri merupakan sebuah pesantren besar di ujung timur Madura. Penolakan itu tampak harga mati walaupun serangkaian langkah penyelesaian diupayakan pihak Yayasan Annuqayah.
Dalam surat pernyataan sikapnya nomor 11/SN.03/A/VII/2012 tertanggal 4 Juli 2012, Yayasan Annuqayah menjelaskan bahwa pada 18 Juni 2012, pimpinan Madrasah Aliyah 2 Annuqayah telah mendatangi Polres Sumenep dan meminta klarifikasi atas penolakan alumnusnya untuk mendaftar.
Juga, pada 20 Juni 2012, mereka melapor ke Dewan Pendidikan Sumenep. Keesokan harinya, Yayasan Annuqayah dan Dewan Pendidikan Sumenep mendatangi Kapolres Sumenep untuk meminta klarifikasi. Tetapi, hasilnya, diskriminasi jalan terus.
Sesat Pikir
Penyelesaian melalui negosiasi dan klarifikasi sudah dilakukan. Tetapi, akhirnya tetap saja tidak ada kata selesai. Bahkan, kebijakan diskriminasi itu tetap diteruskan. Ini berarti ada sesat pikir basis kognitif aparatur negara kita.
Lalu, pertanyaannya, di manakah sesat pikir itu? Saya mencatat, minimal, ada tiga poin. Pertama, sungguh janggal, surat pengumuman rekrutmen yang dikeluarkan oleh Polres Sumenep tertanggal 5 Juni 2012 di atas menyebut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan kesalahan nomenklatur yang sangat besar. Selain menggunakan kata "Departemen", surat itu juga menyebut istilah "Pendidikan Nasional".
Padahal, kata "Departemen" sudah sejak 2009 dihapus dari nomenklatur kabinet pemerintahan. Penggantian nomenkaltur departemen menjadi kementerian ini berdasar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan Perpres Nomor 47 Tahun 2009 tentang perihal serupa. Juga, istilah "Pendidikan Nasional" sudah diganti menjadi "Pendidikan dan Kebudayaan" sejak 2011.
Karena itu, sangat tidak jelas instansi mana yang dirujuk oleh surat Polres Sumenep di atas. Kondisi ini sungguh sangat absurd karena kesalahan dan ketidakjelasan itu berasal dari aparatur negara sendiri.
Kedua, surat oleh Polres Sumenep yang dijadikan sebagai dasar penolakan atas alumni pesantren dan madrasah di atas sama sekali tidak menjelaskan nomor surat, tanggal penerbitan, serta perihal surat oleh instansi yang disebut dengan istilah "Departemen Pendidikan Nasional" itu. Padahal, hal demikian lazim digunakan dalam tata persuratan dan dokumen negara. Akibatnya, semua serba tidak jelas tentang apa dasar penolakan Polres Sumenep terhadap alumni pesantren dan madrasah untuk mendaftar sebagai anggota kepolisian.
Lebih ironis lagi, surat tersebut menyebut empat pesantren dan menolak yang lain. Apa dasar perlakuan yang berbeda ini? Ini yang tidak jelas. Sebab, di surat itu tidak ada pendasaran hukumnya yang jelas pula dengan nomor dan perihal spesifik dari instansi yang berwenang. Juga, tidak jelas produk rezim mana dan tahun berapa aturan hukum yang dijadikan sebagai dasar itu. Tentu, semua indikasi diskriminasi ini harus dihentikan.
Ketiga, titik lemah perujukan yang tidak jelas oleh surat Polres Sumenep di atas semakin kelihatan saat dikaitkan dengan aturan perundang-undangan di atasnya. Sebut saja UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan. Tiga produk perundang-undangan tersebut secara jelas dan tegas menolak diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan, termasuk pesantren dan madrasah. Surat dikriminatif Polres Sumenep itu berarti batal demi hukum.
Masalah yang terjadi di Sumenep di atas bukanlah masalah lokal masyarakat setempat semata. Bukan pula masalah individual Moh. Azhari yang alumnus pesantren Annuqayah. Seluruh masyarakat pesantren dan madrasah di seantero nusantara ini bisa menjadi korban kebijakan diskriminatif.
Polres minta maaf memang baik. Namun, belum menyelesaikan masalah. Kebijakan naif di atas terjadi pada aparatur negara yang menjadi pelaksana teknis aturan perundang-undangan. Tentu, itu suatu ironi besar. Apalagi, jika aturan perundang-undangan itu bukan produk kemarin sore, tentu ironi itu sulit untuk sekadar diselesaikan dengan kata maaf. Perlu diseminasi dan up-grading basis pengetahun aparatur negara yang menegakkan hukum agar hukum dan keadilan berjalan seirama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar