Saatnya
Penguasa Mewujudkan Tertib Sosial
Benny Susetyo ; Sekretaris Eksekutif Setara Institute
SINAR
HARAPAN, 21 Juli 2012
Pada periode Januari-Juni 2012 Setara Institute mencatat 129
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 179
bentuk tindakan, yang menyebar di 22 provinsi. Terdapat lima provinsi dengan
tingkat pelanggaran paling tinggi yaitu Jawa Barat (36) peristiwa, Jawa Timur
(20), Jawa Tengah (17), Aceh (12), dan Sulawesi Selatan (8).
Dari 179 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan, terdapat 68 tindakan negara yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor. Dari 68 tindakan negara, 52 tindakan merupakan tindakan aktif (by commission) termasuk 19 tindakan penyegelan tempat ibadah dan 16 di antaranya merupakan tindakan pembiaran (by omission).
Pelanggaran kebebasan yang termasuk dalam tindakan aktif negara adalah pernyataan-pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan (condoning). Padahal, UUD 1945 memerintahkan negara menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan.
Data itu menunjukkan penguasa tidak optimal dalam memberikan jaminan kebebasan beragama, karena negara seharusnya menjaga konstitusi.
Negara juga wajib memulihkan para korban palanggaran
kebebasan beragama/berkeyakinan. Untuk kategori tindakan kriminal dan
intoleransi yang dilakukan warga negara/masyarakat, kerangka hukum untuk
mempersoalkannya adalah melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Di bidang legislasi, di samping sejumlah perundang-undangan dan kebijakan restriktif yang sudah ada, di tahun 2008 tercatat satu undang-undang dan satu perda yang membatasi jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan dan kebebasan sipil lainnya.
Makin Mengintervensi
Sejauh ini, negara melalui serangkaian produk perundang-undangan yang berlandaskan moralitas dan agama terus-menerus memperluas peran dan intervensinya dalam kehidupan publik. Hal itu membuat sistem hukum menjadi rancu karena negara seharusnya menjadi zona netral, tetapi realitasnya negara tunduk pada moralitas tertentu.
Seharusnya negara adalah institusi yang memiliki otoritas
dan kewenangan untuk menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan. Minusnya
kapasitas pemerintah untuk bertindak tegas dan menjamin kebebasan ini telah
menyeret negara berpihak dan bertindak intoleran dengan membatasi melalui
sejumlah kebijakan yang ada.
Ambiguitas peran negara dalam menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan sekaligus telah menunjukkan bahwa elite negara telah dan terus memolitisasi agama di mana setiap keberpihakan dan tindakannya bergantung pada seberapa besar citra yang akan terpoles dan seberapa besar dukungan yang akan didapatkan.
Di lain pihak, kerentanan daerah-daerah dalam merespons
kebijakan pemerintah di tingkat pusat dalam hal jaminan kebebasan
beragama/berkeyakinan menunjukkan politisasi agama juga menjadi arena
kontestasi elite politik di daerah. Pada saat yang bersamaan, temuan-temuan
pemantauan menunjukkan rendahnya pendidikan politik masyarakat sehingga rentan
dipolitisasi.
Dapatlah dikatakan negara belum mampu memenuhi janji ratifikasi berbagai kovenan dan konvensi hak asasi manusia yang sudah mengikat secara hukum (legally binding) dengan tetap mempertahankan berbagai perundang-undangan yang secara formal dan substansial cacat hukum karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM.
Hal ini membuat wajah kebebasan beragama yang tercantum
dalam konstitusi menjadi tidak berarti lagi karena negara gagal memberi jaminan
yang paling asasi.
Ke Mana Tertib Sosial?
Ke Mana Tertib Sosial?
Kenyataan itulah yang membuat jaminan kebebasan beragama menjadi terancam ketika konstitusi tidak ditegakkan. Inti soalnya adalah ketiadaan niat politik dari penguasa untuk menjalankan konstitusi sebagai acuan kebijakan publik.
Seharusnya penguasa menjalankan politik tertib sosial
bagi tegaknya roh Proklamasi. Realitasnya penguasa tunduk pada
pandangan politik sempit sehingga para pelaku kekerasan mendapatkan hak
istimewa yakni “perlindungan di hadapan hukum”.
Hukum menjadi tumpul ketika politik penguasa tidak jelas
berpihak kepada mereka yang selama ini menjadi korban. Ke depan penguasa harus
hadir melaksanakan tertib sosial demi tercapainya masyarakat memiliki
keadaban hukum.
Keadaban hukum bisa dicapai bila aparat keamanan menjalankan tugasnya menjaga ketertiban sosial. Keutamaan dasar aparat kepolisian dan pejabat publik mengacu pada Roh Konstitusi bukan pada kekuatan lain di luar konstitusi.
Ini membutuhkan ketegasan dan kewibawaan pemimpin.
Harapan untuk memberikan tekanan politik hanya bisa efektif dari parlemen
dengan menyoal secara sungguh-sungguh pengabaian mandat konstitusional oleh
presiden.
Dunia internasional juga diharapkan terus memberikan tekanan
politik melalui diplomasi konstruktif agar pemerintah memperbaiki jaminan
kebebasan beragama/berkeyakinan. Kita berharap DPR juga menjalankan tugasnya
untuk secara tegas mengawasi perilaku pejabat publik yang tidak menjalankan
amanah UUD 1945.
Semoga kita semua menjadi sadar bahwa membiarkan pelaku kekerasan atas nama agama berbuat anarkistis terhadap umat beragama lainnya sama saja dengan menghina Tuhan. Perbuatan seperti itu sangat bertentangan dengan sila-sila dalam Pancasila. Saatnya penguasa bertindak demi terwujudnya cita-cita bersama yakni kewajiban negara untuk menjaga tertib sosial dan amanat konstitusi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar