Senin, 02 Juli 2012

Reformasi yang Terlunta-lunta

Reformasi yang Terlunta-lunta
M Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO, 02 Juli 2012


Di bagian mana—dalam hidup kita—yang menunjukkan bahwa reformasi menjawab kebutuhan riil kita? Demokrasi tumbuh? Kita menjadi lebih bebas menyatakan pendapat dan mengkritik pemerintah? Itu jawaban, tetapi tidak substantif.

Pertama karena mengkritik pemerintah bukan tujuan hidup kita. Dan, kedua, karena apa gunanya demokrasi jika dalam hidup kita seharihari perasaan kita tak bertambah aman-tenteram? Lagipula segenap usaha kita untuk memperoleh kebutuhan sandang pangan kelihatannya tak bertambah mudah. Sekali lagi, apa gunanya demokrasi jika rakyat tak menempati posisi sebagai “raja” di negeri sendiri?

Kapan rakyat menjadi “raja” dan diperlukan sebagai “raja” yang hidup terhormat, merdeka, dan mandiri dalam segenap sepak terjang dan pemikirannya untuk membangun suatu tata kehidupan adil, makmur, dan tenteram lahir batin di dalam struktur kehidupan yang harmonis, tapi dinamis? Agung Djojosoekarto, yang hampir dua puluhan tahun mengabdikan hidupnya secara utuh buat memenuhi “komitmen sosial” dan “intellectual curiosity” dalam pengelolaan “governance” yang terserakserak dan tak terkonsolidasi dengan baik, menjadi sangat penasaran.

Idiom “good governence” yang berkembang secara global dalam dunia politik dan pemerintahan memberinya harapan dan menjadi sejenis tempat berlabuh, biarpun mungkin sangat sementara, dalam perjalanannya di dunia “governance” tersebut. Apakah “good governance” merupakan jawaban memadai bagi pergulatan mewujudkan “komitmen sosial” dan “intellectual curiosity” tersebut?

Dalam pemikiran Agung yang diuji dan diuji di dalam dan melalui penelitian ilmiahnya, “fragmentasi dan dilema politik dalam transformasi demokrasi” di negeri kita ini, bagaimana menjelaskannya secara terperinci dan detail serta transparan dan bagaimana menjawabnya secara jelas sebagai jalan keluar agar negeri ini tidak mandek di tengah ketidakjelasan sikap politik dan tata kelola birokrasinya yang begitu mahal?

Jumat lalu,Agung menjadi tontonan lebih dari dua ratus saksi mata, termasuk ibunya, istri dan kedua putranya,serta para sahabat bahwa dia telah bekerja keras, selama tujuh setengah tahun, dan mempertahankan hasil penelitian dan analisis ilmiahnya di depan sidang terbuka yang seram dan resmi di Gedung Lengkung UGM, Bulaksumur. Judul disertasinya “Keterkelolaan Fragmentasi dan Dilema Politis dalam Transformasi Demokrasi”. Prof Mohtar Mas’ud, sang promotor, bertanya, bagaimana Agung memandang secara jernih,dalam penelitiannya yang menjadi disertasi itu, problem dalam kehidupan politik dan birokrasi kita dan apa bagaimana jalan keluarnya.

Satu pertanyaan ini saja yang kita petik dari sidang terbuka tadi untuk kita bahas di sini. Bagi Agung, reformasi ini sejak awal telah dibajak oleh para elite—lama maupun baru—yang berebut pengaruh, kekuasaan, dan konsesi politik ekonomi. Setelah Soeharto lengser, rakyat tertipu karena para pemimpin sibuk melakukan transaksi satu sama lain dan semua lupa kepada rakyat. Di tingkat lokal,hal yang sama terjadi. Sikap mau menang sendiri tampak sebagai gejala mencolok dan manipulasi legitimasi pun berlangsung.

Inilah akar dari segenap konflik horizontal di negeri ini. Politik kotor terjadi dan rakyat tak sanggup mengawasi. Oligarki dan kartel nasional dan lokal mencaplok dengan rakus uang negara. KPK sendiri tak berdaya. Tokoh-tokoh dalam masyarakat sipil makin terhegemoni pemerintah. Para donor harus merasa puas sekadar menjadi pengelola proyek. Masyarakat sipil pun makin kehilangan daya kritis. Keadilan terbelah dan retak-retak.

Di bidang ekonomi sudah lama keadilan hancur. Begitu juga di bidang politik, di ruang kebudayaan, hukum, dan tata kehidupan sosial. Hanya yang berkuasa yang bisa memperoleh ruang yang mereka inginkan. Jangan heran, aktor-aktor ekonomi,hukum sangat oportunistis dan serakah karena sistem pasar mengakomodasinya. Tapi sistem sontoloyo ini mematikan rakyat. Kita mengingkari Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945. Apa yang harus dilakukan?

Di forum resmi yang diselingi humor NU dari Prof Mohtar Mas’ud yang segar itu, Agung menjelaskan, kita harus menempuh langkah bersama-sama, saling mendengarkan dan saling belajar, untuk merumuskan apa yang hendak kita capai secara konsisten dan konsekuen. Semua unsur etnis di dalam masyarakat dilibatkan. Semua diberi ruang dan panggung politik secara adil. Pluralitas budaya dalam Bhinneka Tunggal Ika jangan dinodai.

Semua cita-cita itu harus dikristalkan di dalam UUD yang diamendemen kembali secara lebih bijaksana. Hasil kesepakatan bersama itu harus diterjemahkan di dalam suatu model umum dan terapan di dalam sistem demokrasi politik, ekonomi, hukum,dan kebudayaan. Selebihnya, seluruh pemimpin harus kembali ke Bhinneka Tunggal Ika secara konsekuen dan konsisten. Tentara, polisi, agamawan, politisi, mahasiswa. Begitu juga rakyat biasa. Pancasila dan UUD harus dibangun ulang berdasarkan konteks Bhinneka Tunggal Ika itu.

Semangat nasionalistis yang melandasi komitmen sosialnya selama ini, kerja keras untuk kepentingan yang lebih luas dari sekadar bekerja mencari nafkah, dia juga mengembangkan idealisme: bekerja untuk bangsa. Saran untuk melakukan amandemen kembali itu jelas cerminan wawasan nasionalis tersebut. MPR generasi pertama sesudah reformasi merekomendasi UUD 45, menjadikannya lebih liberal, sesuai dengan kepentingan pasar global, dan itulah sumber kerusakan hidup kita.

Para lobbyist asing,kepentingan asing, pemodal asing, negara asing menjarah semua kesempatan ekonomi kita, terutama pertambangan, perbankan, perkebunan, dan semua segi bisnis karena difasilitasi MPR tersebut. Semua orang di dalamnya, terutama Amien Rais, harus bertanggung jawab atas perusakan itu. Maka, tepat kata Agung, semua pihak berebut akses, juga para tokoh bisnis berebut menguasai aset negara yang terbuka lebar itu dengan segenap keserakahan yang tak pernah tersembunyi.

Selebihnya, di bidang politik dan birokrasi, negeri kita luluh lantak. Para tokoh tidak pernah merasa malu dan bertanggung jawab. Mereka makin serakah. Tak peduli reformasi menuju jurang kehancuran. Tak peduli reformasi terseok-seok, seperti nenek-nenek piyut.

Kita malu tiap bertemu para tokoh, yang berbicara begitu manusiawi, demokratis, dan serba adil. Kita malu karena kita tahu sebenarnya mereka tak peduli apa yang terjadi pada reformasi. Mereka tak peduli reformasi terlunta-lunta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar