Senin, 16 Juli 2012

Pinjaman kepada IMF

Pinjaman kepada IMF
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo ; Pengamat Ekonomi
SINDO, 16 Juli 2012


Dalam beberapa minggu terakhir,ada dua berita yang seakan-akan bertentangan satu sama lain.Yang pertama dan pernah diulas di kolom ini adalah pinjaman siaga yang dibentuk oleh pemerintah dari pinjaman Bank Dunia, Asian Development Bank, dan bilateral dengan negara lain. 

Pinjaman siaga ini sudah dilaksanakan dengan jumlah USD5 miliar, sedikit lebih rendah dari yang direncanakan USD5,5 miliar.Yang kedua,kesepakatan kita untuk memberikan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Jumlah yang disepakati USD1 miliar.Kedua berita tersebut tentunya membuat banyak pihak berpikir, kita ini sebetulnya posisinya seperti apa? Negara yang sudah kuat sehingga mampu memberikan pinjaman kepada IMF ataukah masih kurang kuat sehingga memerlukan pinjaman siaga?

Dalam pembahasan tentang pinjaman siaga, pemerintah pada waktu itu menyatakan, pinjaman siaga dimaksudkan untuk berjagajaga seandainya pemerintah tidak bisa menarik pinjaman dari luar negeri sebagaimana yang diprogramkan. Setiap tahun, sebagai pelaksanaan APBN, pemerintah selalu harus mencari sumber pembiayaan (pinjaman) baik melalui penjualan surat berharga negara/SBN (Surat Utang Negara/SUN yang berjangka panjang atau Surat Perbendaharaan Negara/SPN yang berjangka maksimum 1 tahun). Selain itu, untuk menghindari tumpukan penjualan SBN yang terlalu besar (sering disebut bunching), pemerintah pada umumnya juga mencari pinjaman dengan mengeluarkan obligasi global (global bonds).

Dalam keadaan pasar uang global yang likuid, penjualan global bonds semacam itu pasti akan menarik, yaitu pembelinya banyak, sehingga yield-nya (bunga yang harus dibayar pemerintah) juga akan mengecil. Dengan adanya krisis di Eropa, yang intinya adalah krisis kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah beberapa negara Eropa, situasi itu menjadi tergeneralisasi, yaitu krisis kepercayaan terhadap negara-negara lain yang sebetulnya tidak ada masalah. Dalam keadaan seperti itu,ada kekhawatiran global bonds yang kita siapkan tidak akan laku terjual.

Ataupun jika laku, yield yang diminta pasar akan sangat tinggi. Oleh karena itu, sebagai tindakan berjaga-jaga, pemerintah menyepakati pinjaman siaga. Jika dalam keadaan mendesak dan dibutuhkan, pemerintah akan mencairkan pinjaman tersebut. Dalam perkembangan terakhir, pinjaman siaga memiliki fungsi ganda, yaitu untuk bisa ikut memperkuat cadangan devisa Bank Indonesia. Ini berarti jika cadangan devisa berada pada keadaan yang kurang menguntungkan, misalnya terus menurun, pemerintah dapat menarik pinjaman siaga.

Situasi ini mirip dengan di tahun 1980-an dan 1990-an di mana pada waktu itu Bank Indonesia menyiapkan diri dengan membangun pinjaman siaga dari berbagai bank besar di luar negeri. Dalam keadaan terdesak, pinjaman siaga tersebut ditarik untuk memperkuat cadangan devisa. Pinjaman itu sepenuhnya menjadi kewajiban Bank Indonesia. Adapun pinjaman siaga yang ini merupakan kewajiban pemerintah. Sementara itu, pemerintah sudah menyepakati untuk memberikan pinjaman kepada IMF sebesar USD1 miliar. Dari mana uang tersebut?

Cadangan devisa yang dimiliki Bank Indonesia (yang dalam hal ini merupakan lembaga pemerintah), jumlahnya dewasa ini cukup besar, yaitu sekitar USD106 miliar. Cadangan devisa ini ditanamkan dalam berbagai portofolio, yaitu dalam berbagai bentuk penanaman yang aman, tetapi masih memberikan hasil bunga. Sebagian dari penanaman devisa tersebut berupa pembelian Treasury Bills Amerika Serikat. Ini berarti Bank Indonesia sebetulnya juga memberikan pinjaman kepada Pemerintah AS.

Jumlah yang kita miliki dalam bentuk ini sangat kecil dibandingkan dengan yang dimiliki Bank Sentral China maupun Jepang. Di bank sentral lainnya, cadangan devisa mereka juga banyak ditanamkan pada obligasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah AS seperti Fannie Mae, Ginnie Mae, yaitu lembaga pembiayaan perumahan yang sepenuhnya adalah milik pemerintah. Selebihnya devisa ditanamkan dalam deposito maupun surat berharga yang dikeluarkan bankbank besar di dunia yang kriterianya ditentukan secara ketat,misalnya 5 bank terbesar di setiap negara yang dituju (AS, Eropa, Jepang, dan sebagainya).

Sebagian dari cadangan devisa kita juga berupa penempatan modal maupun special drawing rights (SDR) yang merupakan hak penarikan dana dari IMF. Secara mudahnya, SDR tersebut adalah uang yang diterbitkan IMF. Oleh karena itu, pinjaman kepada IMF bukanlah suatu hal yang harus dikeluarkan pemerintah dan berasal dari APBN kita, tetapi semata- mata adalah suatu bentuk penempatan dana (cadangan devisa) Bank Indonesia di lembaga keuangan internasional tersebut.

Karena krisis kepercayaan yang terjadi di negara dewasa ini (termasuk pula negara maju), penempatan di IMF tersebut sebetulnya bahkan jauh lebih aman dibandingkan dengan penempatan di surat utang pemerintah suatu negara. Ini berarti jumlah yang ditempatkan sebesar USD1 miliar tersebut (kurang dari 1% cadangan devisa kita) merupakan suatu jumlah yang relatif kecil.Bagi saya pribadi,pinjaman kepada IMF untuk jumlah yang lebih besar pun tidak masalah. Jika jumlah tersebut suatu saat kita butuhkan,IMF juga akan memperbolehkan kita untuk menariknya kembali.

IMF sangat tahu tentang kekuatan setiap negara, termasuk Indonesia, sehingga penempatan di lembaga tersebut terjadi karena IMF yakin kekuatan ekonomi Indonesia.Itulah sebabnya negara seperti Brasil bahkan bersedia membantu IMF dalam jumlah yang jauh lebih besar. Dengan melihat perkembangan tersebut, bisa dipahami bahwa kedua hal itu bukanlah bertentangan satu sama lain. Bahkan jika kita menarik pinjaman siaga sebesar USD5 miliar seperti yang sudah kita sepakati, cadangan devisa tersebut akan masuk ke Bank Indonesia.

Pemerintah akan memperolehnya dalam rupiah dari Bank Indonesia (ini tentunya jika Kementerian Keuangan menjual devisanya ke Bank Indonesia,bukan ke bank-bank umum). Devisa yang diterima Bank Indonesia itu pun dapat saja kemudian ditempatkan di IMF sebagai pinjaman. Ini merupakan tambahan gambaran bahwa kedua hal tersebut bukannya bertentangan, tetapi bahkan bisa saling memperkuat dan melengkapi.

Mudah-mudahan kita bisa semakin berbesar hati untuk melihat hubungan kita dengan IMF. Sikap antipati yang buta sudah tidak cocok lagi dengan peran Indonesia yang dewasa ini semakin kuat dalam perekonomian global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar