Senin, 09 Juli 2012

Pilkada DKI dan Edukasi Politik Etis


Pilkada DKI dan Edukasi Politik Etis
AM Fatwa ; Anggota DPD
KOMPAS, 09 Juli 2012

Dua hari lagi Jakarta menggelar pesta demokrasi kedua sepanjang sejarah reformasi.
Beragam gejala yang terjadi belakangan semakin mengukuhkan prediksi para pengamat bahwa Pilkada DKI Jakarta akan berlangsung lebih dramatis dibandingkan dengan pilkada sebelumnya.

Sebagai satu-satunya mekanisme demokrasi untuk meraih jabatan politik, pilkada tidak boleh dipandang sebatas sarana meraih kekuasaan. Pasalnya, pandangan semacam ini bukan hanya berpotensi menghadirkan praktik kotor ala Machiavellianisme yang menghalalkan segala cara, lebih dari itu juga dapat me- reduksi makna pilkada dari sebuah aktivitas luhur untuk mendapatkan legitimasi publik, menjadi rutinitas lima tahunan untuk memperebutkan jabatan politik.

Prototipe

Ketika ditarik ke dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih dalam transisi menuju kehidupan berdemokrasi yang lebih cerdas dan bermartabat, Pilkada DKI bisa menjadi momen tepat untuk memberi edukasi politik etis bagi seluruh penduduk Indonesia. 

Setidaknya tiga alasan yang bikin Pilkada DKI berpotensi dan berposisi strategis.
Pertama, Jakarta pernah menjadi prototipe penyelenggaraan pilkada berdasarkan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2007. Ketika UU tentang penyelenggaraan pemilihan umum di mana pilkada dimasukkan dalam rezim dan resmi diberi nama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat pilkada ditetapkan, Jakarta merupakan daerah pertama yang berkesempatan mengimplementasikan UU itu. 

Kebetulan jabatan gubernur yang disandang Sutiyoso berakhir pada tahun yang sama.
Pada momen krusial itu, Jakarta berhasil menyelenggarakan pilkada demokratisnya dengan baik sehingga menjadi referensi representatif bagi penyelenggaraan pilkada selanjutnya di daerah lain di seluruh penjuru Nusantara.

Jika lima tahun yang lalu Jakarta memiliki momen menjadi contoh bagi pelaksanaan pilkada yang demokratis, pada tahun ini Jakarta kembali memiliki momen memberikan contoh proses pelaksanaan pemilu demokratis yang etis dan bermoral. Hal ini sangat penting untuk mendewasakan masyarakat Indonesia agar tak terjebak pada sisi gelap demokrasi yang cenderung menguntungkan kandidat yang memiliki dana besar.

Kedua, sebagai Ibu Kota negara, Jakarta tak hanya berhasil memainkan peran vitalnya sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi, tetapi juga menjelma menjadi kiblat peradaban sosial dan budaya. Dengan begitu, sangat wajar bila semua peristiwa yang terjadi atau fenomena yang berkembang di Jakarta cepat tersebar luas dan berdampak nasional meski tentu saja intensitasnya tak sebesar di Jakarta.

Kalau posisi ini diimbangi dengan kerja keras segenap komponen masyarakat Jakarta untuk mewujudkan pilkada yang tertib, aman, dan jujur, bukan hanya ekses positifnya yang akan dinikmati masyarakat Jakarta. Lebih dari itu, sikap dan perilaku politik mereka berpeluang besar ditiru masyarakat di wilayah lain.

Begitu juga sebaliknya, kalau Pilkada DKI diwarnai dengan tindakan Machiavellistik yang melanggar etika dan moralitas politik, tidak menutup kemungkinan modus kotor itu akan ditiru oleh elemen-elemen politik di daerah lain. Jika kesalahan ini yang ditiru, sengketa pilkada yang bermuara di Mahkamah Konstitusi lama kelamaan akan menjadi episode tak terpisahkan dalam setiap penyelenggaraan pilkada.

Ketiga, Pilkada Jakarta tahun ini mempersilakan enam pasang kandidat bertarung secara sportif dalam memperebutkan jabatan orang nomor satu di Ibu Kota. Keenam pasang kandidat itu tak semuanya berasal dari Jakarta, atau dari etnis Betawi, penduduk asli daerah DKI.

Realitas ini harus dipandang positif karena mengandung nilai pendidikan yang bisa menyempurnakan wawasan demokrasi dan nasionalisme masyarakat Indonesia. Realitas ini juga bisa me- nyadarkan masyarakat akan tuju- an ideal yang ingin dicapai demo- krasi: menyeleksi figur yang memiliki kapasitas, kapabilitas, profesionalitas, dan integritas terbaik memimpin suatu daerah.

Bukankah untuk mendapat pemimpin terbaik, masyarakat harus mengedepankan kualitas kandidat sebagai bahan pertimbangan memilih, serta mengabaikan aspek emosional yang dilan- dasi kesamaan primordial seperti SARA dan sebagainya?

Pada titik inilah keragaman latar etnis dan sosiokultural kandidat gubernur DKI bisa menjadi modal berharga untuk menyuburkan semangat nasionalisme, serta mengikis segenap potensi sektarianisme sempit yang berporos pada unsur SARA.

Dengan semua kelebihan yang dimiliki dan momentum yang segera tiba, Jakarta memiliki kesempatan emas mengukir prestasi sebagai daerah percontohan perilaku politik etis bagi seluruh penduduk Indonesia. Tentu butuh kerja sama integral antara semua elemen masyarakat dan seluruh komponen politik untuk meraih prestasi itu. Namun, dengan tingkat kearifan yang membaik, rasanya tidak ada kesulitan berarti bagi penduduk Jakarta untuk mewujudkan prestasi itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar