Senin, 02 Juli 2012

Pagar Api dan Pemberitaan Pilkada

Pagar Api dan Pemberitaan Pilkada
Agus Sudibyo ; Anggota Dewan Pers
KOMPAS, 02 Juli 2012


Ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tingkat kebenarannya masih sumir atau tak dapat dipastikan secara tegas, tugas pers cukup menampilkan pilihan-pilihan itu apa adanya dan mewadahi di ruang publik.

Pers tak perlu terburu-buru memastikan mana pilihan yang lebih baik atau menggiring publik mengambil suatu pilihan. Pers hanya perlu memberikan parameter yang dapat membantu publik menilai fakta terkait dan mandiri menentukan sikap.
Prinsip itu perlu ditekankan saat ini ketika pers sedang menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) di sejumlah tempat. Menghadapi banyak kandidat dalam pilkada, pers mestinya tidak perlu memaksa diri menggiring publik kepada pilihan politik tertentu. Pers cukup menampilkan rekam jejak lengkap setiap kandidat dan terverifikasi. Pers kemudian menampilkan parameter yang dapat membantu publik mandiri menilai kandidat dan menentukan pilihan.

Pers yang profesional tak akan menggurui, apalagi membodohi, khalayak dengan pilihan politik tertentu, tetapi membantu mereka jadi subyek melek politik dan mampu rasional otentik menghadapi pilihan-pilihan politik.

Pertimbangan politik pragmatis juga mengharuskan pers hati- hati dan imparsial. Bukan rahasia lagi bahwa kehidupan politik kita saat ini sarat dengan aneka politik uang. Sulit menentukan kandidat pilkada yang benar-benar bersih dan layak direkomendasikan. Jika ada kandidat layak rekomendasi, pers perlu menakar kadar keterpilihannya.

Pada pilkada DKI tahun ini publik menghadapi kandidat yang sama-sama layak direkomendasikan. Menentukan kandidat yang lebih baik dan yang akan memenangi pilkada DKI bukan perkara mudah. Kompetisi ketat. Pers juga dihadapkan pada keragaman aspirasi politik masyarakat. Ada yang sudah memutuskan memilih kandidat tertentu, ada yang belum punya pilihan, ada yang netral atau apatis. Pers harus mencerminkan keberagaman aspirasi politik ini.

Amat Berisiko

Pada titik ini bersikap partisan dalam pilkada sangat berisiko bagi media. Media mungkin saja mendukung kandidat yang ternyata kemudian kalah dalam pilkada. Media juga berhadapan dengan risiko ditinggalkan khalayaknya yang punya pilihan politik berbeda, atau yang mengharapkan media netral terhadap semua kandidat.

Khalayak media cetak dan online notabene adalah kelas menengah yang relatif cerdas dan kritis menghadapi rayuan politis para kandidat atau media. Persoalan lain, para produsen besar umumnya enggan memasang iklan di media partisan. Maka, media partisan mungkin hanya mendapat pemasukan iklan dari partai politik dan simpatisan kandidat dukungannya. Dalam jangka panjang, citra sebagai media partisan akan terus membekas di benak pengiklan atau produsen besar.

Tertutupkah peluang bagi media merekomendasikan pilihan politik tertentu? Media sebenarnya dapat menggunakan rubrik editorial menyampaikan pandangan politiknya, termasuk merekomendasikan kandidat tertentu secara proporsional, argumentatif, dan tidak menghakimi pihak lain.

Namun, sejauh ini jarang media menggunakan editorial untuk mendukung kandidat tertentu. Yang lebih sering terjadi, justru banyak media terang-terangan menggunakan liputan atau bincang-bincangnya untuk mengampanyekan kandidat tertentu atau menampilkan berita yang terselubungi iklan dukungan terhadap suatu kandidat.

Pada akhirnya problem media dalam pilkada adalah menjaga pagar api. Pagar yang membatasi antara yang privat dan yang publik. Partai politik dan simpatisan boleh memuji-muji kandidatnya melalui iklan politik. Redaksi media dapat menggunakan sikap editorial merekomendasikan sikap politik tertentu. Namun, dalam berita dan bincang-bincang, media wajib menegakkan prinsip ruang publik yang etis dan adil terhadap semua pihak. Kemampuan menjaga pagar api ini merupakan tantangan utama bagi media dalam pilkada.

Godaan tentu besar sekali sebab dana politik yang dialokasikan untuk kampanye melalui media melimpah, sementara pilkada hanya sekali dalam lima tahun. Apalagi di samping media profesional yang menempatkan kepercayaan publik sebagai modal utama yang harus dijaga, banyak media yang tak segan-segan menyediakan diri menjadi sarana kampanye bagi kandidat pilkada. Tak sedikit pula media musiman yang hanya beroperasi menjelang pilkada atau pemilu.

Bagaimana masyarakat menyikapi peran media dalam pilka- da? Yang disampaikan media belum tentu benar. Masyarakat harus kritis, memilah-milah informasi, dan aktif menyampaikan aspirasi melalui telepon interaktif, SMS, komentar berita media online, atau surat pembaca. Jangan berdiam-diri ketika ada media yang terang-terangan mendukung atau menghakimi kandidat tertentu. Masyarakat dapat meminta campur tangan lembaga yang otoritatif menyelesaikan masalah seperti ini. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar