Jumat, 13 Juli 2012

Menyongsong Masa Depan

Menyongsong Masa Depan
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 13 Juli 2012


MENKO Perekonomian Hatta Rajasa lewat acara Economic Challenges Metro TV memberikan gambaran menggembirakan tentang ekonomi Indonesia untuk paruh kedua tahun 2012 ini. Gejala positif itu dapat ditilik dari pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,5% tahun lalu, yang lebih tinggi daripada pertumbuhan global 4%-4,5% dalam periode sama.

Ketika krisis ekonomi Eropa masih berlanjut dan Amerika sedang berusaha memulihkan ekonomi mereka yang mengalami kemerosotan, kita boleh bangga bahwa investasi asing yang menjadi salah satu andalan pertumbuhan kita mengalir masuk dengan derasnya di tahun ini. Firmanzah, Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan, menulis di Suara Pembaruan bahwa angka FDI (foreign direct investment) tercatat 30% lebih tinggi daripada tahun 2011; rekor tertinggi selama lima tahun terakhir. Itu bukti kepercayaan luar terhadap negeri ini cukup tinggi.

Bukti menggembirakan lain ialah masuknya Indonesia dalam kelompok G-20, kelompok negara dengan perekonomian terbesar dunia. Indonesia menempati urutan 16, setingkat lebih tinggi daripada Belanda. Mengingat Belanda dahulu penjajah kita, sekarang kita bisa lega bahwa kurang dari tujuh dasawarsa setelah merdeka, kita mampu mengunggulinya.

Dalam menyongsong hari depan, bagaimana strategi kita untuk menjamin agar kemajuan yang kita capai sejauh ini tidak mereda; agar kita bisa seiring dengan negara-negara Asia lain yang paling pesat kemajuan ekonominya, seperti China dan India?

Ekonomi versus Politik Praktis

Bila menilik sejarah peradaban manusia sejauh ini, maju tidaknya sebuah negara ditentukan modernisasi ekonominya. Dalam kerangka itu, untuk menciptakan ekonomi modern, diperlukan masyarakat yang bersikap modern pula. Perubahan ke arah sikap modern itulah yang menjadi ciri pergeseran dari masyarakat petani ke masyarakat ekonomi maju. Transformasi tersebut, pada gilirannya, menghadirkan gejolak-gejolak kecil, kalau bukan kejutan-kejutan.

Yang menjadi dilema, dalam perkembangan dunia yang memaksa negara-negara berkembang bersaing tidak saja satu sama lain, tetapi juga dengan negara-negara maju, stabilitas politik merupakan prasyarat untuk mempertahankan laju pertumbuhan. Kelompok elite di negara berkembang, yang menyadari hakikat kebenaran konsep itu, menghadapi beban berat. Di satu pihak, demi kestabilan pembangunan, dia tidak ingin terjadi gejolak apa pun, sekalipun kecil. Orde Baru, contohnya. Di lain pihak, menjadi kewajibannya untuk menjawab keinginan rakyat yang mungkin tidak cukup sabar untuk mencapai kemajuan-kemajuan pesat, lebih-lebih setelah melihat perkembangan di negara-negara yang belum lama maju, seperti Korea Selatan.

Masalah-masalah itulah yang umumnya menjadi percaturan pendapat, kalau bukan adu kekuatan dalam ajang politik praktis negara berkembang umumnya. Kadang-kadang percaturan itu sendiri demikian mengasyikkan sehingga tema sentral yang semula menjadi katalisator yang mendorong perjuangan membebaskan diri dari penjajah sering terabaikan, yakni bagaimana menemukan jalan pintas untuk memajukan kehidupan dan penghidupan rakyat banyak. Ini pasti terabaikan bila orientasi berpikir kalangan elitenya memberat ke masalah politik praktis semata. Lebih-lebih bila kalangan politiknya tidak segan-segan mensponsori tindakan-tindakan melanggar hukum demi kemenangan kelompoknya.

Strategi yang Relevan

Futurolog Alvin Toffler (Future Shock, 1970; The Third Wave, 1980) mengajukan argumentasi: setelah mengalami revolusi pertanian yang berangkat mulai 10 ribu tahun yang lalu (gelombang pertama), lalu revolusi industri mulai 300 tahun yang lalu (gelombang kedua), kita memasuki perubahan-perubahan sosial untuk gelombang ketiga. Itulah yang sering membangkitkan krisis sehingga perumusan-perumusan lama tidak berlaku lagi untuk menghadapi masalah-masalah yang ada sekarang. Namun, katanya, krisis ini mungkin memang kita perlukan--suatu tahap yang bisa membuka landasan berpikir baru, yang menyiapkan kita untuk menghadapi ideologi-ideologi baru.

Satu argumen untuk renungan: negara berkembang menurut Toffler tidak harus menjalani proses tepat seperti yang pernah dilalui negara-negara maju sebelumnya. Ada bidang-bidang yang bisa diloncati. Persoalannya, seberapa jauh kita berani menentukan bidang-bidang mana yang bisa kita loncati, tanpa kecemasan akan kemungkinan akibat-akibat sampingnya? Tentang industrialisasi, misalnya, apakah itu yang antara lain menyebabkan kita tidak merancang pembangunan negara industri sejak awal, yang mensyaratkan pembangunan ekonominya memiliki industri-industri dasar demi percepatan industrialisasi? Industri-industri ringan sulit membuat lompatan-lompatan besar. Itu pula yang menyebabkan kita harus menyediakan dana besar untuk impor barang-barang modal. Sebaliknya, kita mengandalkan kekayaan bumi dan alam kita untuk ekspor dalam bentuk bahan mentah. Diperlukan orang-orang yang berani membuka diri untuk berpikir teliti. Sesuai dengan kata Menko Perekonomian, sistem yang ada selama ini tidak akan terus seperti sekarang, demi masa depan.

Tanpa apriori menolak atau menerima argumen-argumen yang ada, rasanya pantas bila kita bertanya, “Langkah-langkah mana yang bisa merugikan atau tidak merugikan masa depan kita?” Sulit menjawabnya mengingat strata pendidikan dan budaya kita yang merentang dari budaya zaman batu, seperti yang masih ada di sebagian wilayah kita, sampai ke budaya hotel bintang lima seperti yang ada di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar