Lapindo
dan Ketidakberdayaan Republik
Eddy
Purwanto ; Mantan Deputi BP Migas
SINDO, 23 Juli 2012
Protes
masyarakat menolak negara turut membiayai kerugian akibat semburan lumpur
Lapindo semakin meluas, para penggugat merasa kerugian yang dianggap murni
akibat kesalahan korporasi harus menjadi beban PT Lapindo Brantas sepenuhnya,
tidak pantas dibebankan kepada pihak lain apalagi kepada negara melalui APBN.
Benarkah
demikian? Baru-baru ini sekelompok masyarakat mengajukan gugatan uji materi ke
Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang No 4/2012 tentang APBNP tahun 2012 pasal
18 yang intinya menolak alokasi dana BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo) tahun 2012 untuk membayar kerugian dampak semburan lumpur Lapindo,
dengan pertimbangan seharusnya uang pajak dari rakyat kembali untuk
kesejahteraan rakyat, bukan untuk membayar kelalaian korporasi.
Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar sidang perdana pengujian Pasal 18 UU APBN-P/2012 tersebut yang mengalokasikan anggaran Rp1,2 triliun untuk menangani lumpur Lapindo. Secara fisik volume lumpur yang menyembur mencapai lebih dari 10 juta meter kubik mencakup luas area lebih dari 600 ha dan 50.000 jiwa telah mengungsi.
Hingga tahun 2012, konon biaya yang sudah dikeluarkan Lapindo Brantas (melalui PT Minarak Lapindo Jaya) mencapai Rp3,8 triliun, antara lain untuk biaya penanggulangan semburan, penanganan lumpur, dan penanganan sosial. Sedangkan dana yang dianggarkan Pemerintah (APBN) melalui BPLS sebesar Rp6,7 triliun di antaranya untuk relokasi fasilitas umum dan pembayaran ganti rugi.
Keputusan MA yang Kontroversial
Pada tanggal 3 April 2009 Mahkamah Agung telah mengeluarkan keputusan hukum yang dipandang kontroversial, yang pertama adalah memperkuat keputusan peradilan di bawahnya bahwa kasus lumpur Lapindo bukan disebabkan oleh human error, tetapi murni karena fenomena alam, dan yang kedua karena kasus ini perdata bukan pidana maka upaya PK tidak bisa dilakukan, artinya keputusan MA sudah final dan mengikat (inkracht), semua pihak harus tunduk dan mematuhinya.
Ketetapan hukum ini konon dipandang kontroversial mengingat banyak ahli kebumian dalam dan luar negeri meyakini bahwa semburan murni akibat human error. Semenjak itu aroma kompromi politik di lingkaran kekuasaan merebak sehingga beberapa kelompok masyarakat dan LSM seperti Walhi, YLBHI dan lainnya tergerak menggugat ketetapan hukum tersebut, namun gagal. Pada 30 Maret 2010 Pengadilan Negeri Surabaya menolak gugatan yang diajukan sekelompok pengacara atas terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polda Jatim atas kasus PT Lapindo Brantas sehingga memperkokoh keputusan MA.
Konsekuensinya memang dilematis karena pemerintah secara otomatis harus mengambil alih tanggung jawab penyelesaian kasus ini,termasuk kewajiban membayar biaya yang terkait penanggulangan semburan, pencemaran dan biaya sosial, walaupun sebelumnya pihak Lapindo berkomitmen tidak akan lepas tangan di mana mekanisme pembagian tanggung jawab telah diatur dalam Peraturan Presiden No 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Gelombang ketidaksetujuan masyarakat atas penggunaan dana APBN untuk membayar gantirugi, fasilitas umum,biaya sosial, pencemaran dan lainnya, diduga akan terus bergulir karena dirasakan oleh sebagian rakyat sebagai bentuk ketidakadilan hukum. Gugatan kelompok masyarakat terhadap keabsahan ketetapan MA, baik melalui pembatalan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas Lapindo melalui praperadilan, atau uji materi UUAPBN melalui jalur MK diduga belum akan mereda, utamanya menjelang Pemilu 2014.
Sejak turunnya ketetapan hukum yang mengikat dari MA, rakyat disuguhi tontonan “ketidakberdayaan” pemerintah menghadapi Lapindo, salah satu tontonan ketidakberdayaan pemerintah tergambar dalam Perubahan Kedua atas Perpres No 14/2007 yang dituangkan pada Perpres No 40/ 2009 di mana beberapa tanggung jawab Lapindo yang sangat fundamental dalam penanggulangan semburan diambil alih menjadi tanggung jawab pemerintah, di antaranya adalah:
• Penanggulangan semburan lumpur yang sebelumnya dalam Perpres 14/2007 merupakan tanggung jawab dan dilaksanakan oleh PT Lapindo Brantas, dalam Perpres 40/2009 direvisi menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh pemerintah melalui BPLS.
• Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur termasuk di dalamnya penanganan tanggul utama sampai Kali Porong, sebelumnya dalam Perpres 14/2007 dibebankan kepada PT Lapindo Brantas, dalam Perpres 40/2009 direvisi menjadi beban pemerintah melalui APBN atau sumber dana lain yang sah.
Sejatinya Lapindo hanya bertanggung jawab atas ganti rugi atau jual-beli tanah milik warga yang terletak di dalam wilayah Peta Area Terdampak yang secara material nilainya jauh lebih kecil dibandingkan tanggung jawab pemerintah melalui APBN dalam rentang waktu yang tidak dapat dipastikan (sebagian pakar kebumian memperkirakan lumpur akan mati dalam waktu 30–50 tahun). Biaya yang dibutuhkan dalam jangka panjang akan sangat mahal karena meliputi biaya penanggulangan semburan, penanganan luapan lumpur, penanganan pencemaran lingkungan, pengaliran lumpur ke laut melalui Kali Porong,pemulihan infrastruktur dan lainnya.
Dari sisi hukum, dengan berlakunya ketetapan MA pemerintah tersandera dan tidak berdaya memaksa Lapindo menanggung lebih dari sekadar biaya sosial dan kemasyarakatan, tidak heran kemudian publik menduga terjadi tawar-menawar politik, sehingga aroma ketidakadilan merebak luas sejalan dengan berlarut-larutnya penanggulangan semburan lumpur.
Perlukah Kompromi ?
Sambil menunggu perkembangan gugatan uji materi atas UU APBN-P/2012 oleh MK, kompromi antara ketetapan hukum MA (inkracht) dengan kewajiban atau komitmen sosial Lapindo sebaiknya lebih difokuskan untuk tujuan menghapus penderitaan rakyat dan menanggulangi semburan lumpur, bukan sekadar konsesi politik di ranah kekuasaan.
Kebijakan penanggulangan lumpur Lapindo yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden telah mengamanatkan biaya yang ditanggung Lapindo dalam jangka panjang relatif jauh lebih kecil dibandingkan kewajiban pemerintah, sebaiknya agar terasa lebih fairpembagian biaya dan tanggung jawab diatur lebih proporsional.
Pemerintah diharapkan meninjau kembali Peraturan Presiden No 40/2009 yang telah dengan “baik hati” mengambil alih sebagian besar tanggung jawab fundamental penanggulangan semburan,seyogianya pemerintah mengusahakan kompromi yang lebih adil.
Pemerintah sewajarnya tidak inferior sehingga terkesan “tidak berdaya”, bukan berarti menantang keputusan MA, tetapi menuntut janji, komitmen dan kewajiban sosial Lapindo yang lebih adil. Memang dilematis, namun demi kepentingan rakyat Indonesia yang menjadi korban semburan lumpur vulkanis, kebijakan kompromistis mungkin menjadi pilihan terbaik. ●
Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar sidang perdana pengujian Pasal 18 UU APBN-P/2012 tersebut yang mengalokasikan anggaran Rp1,2 triliun untuk menangani lumpur Lapindo. Secara fisik volume lumpur yang menyembur mencapai lebih dari 10 juta meter kubik mencakup luas area lebih dari 600 ha dan 50.000 jiwa telah mengungsi.
Hingga tahun 2012, konon biaya yang sudah dikeluarkan Lapindo Brantas (melalui PT Minarak Lapindo Jaya) mencapai Rp3,8 triliun, antara lain untuk biaya penanggulangan semburan, penanganan lumpur, dan penanganan sosial. Sedangkan dana yang dianggarkan Pemerintah (APBN) melalui BPLS sebesar Rp6,7 triliun di antaranya untuk relokasi fasilitas umum dan pembayaran ganti rugi.
Keputusan MA yang Kontroversial
Pada tanggal 3 April 2009 Mahkamah Agung telah mengeluarkan keputusan hukum yang dipandang kontroversial, yang pertama adalah memperkuat keputusan peradilan di bawahnya bahwa kasus lumpur Lapindo bukan disebabkan oleh human error, tetapi murni karena fenomena alam, dan yang kedua karena kasus ini perdata bukan pidana maka upaya PK tidak bisa dilakukan, artinya keputusan MA sudah final dan mengikat (inkracht), semua pihak harus tunduk dan mematuhinya.
Ketetapan hukum ini konon dipandang kontroversial mengingat banyak ahli kebumian dalam dan luar negeri meyakini bahwa semburan murni akibat human error. Semenjak itu aroma kompromi politik di lingkaran kekuasaan merebak sehingga beberapa kelompok masyarakat dan LSM seperti Walhi, YLBHI dan lainnya tergerak menggugat ketetapan hukum tersebut, namun gagal. Pada 30 Maret 2010 Pengadilan Negeri Surabaya menolak gugatan yang diajukan sekelompok pengacara atas terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polda Jatim atas kasus PT Lapindo Brantas sehingga memperkokoh keputusan MA.
Konsekuensinya memang dilematis karena pemerintah secara otomatis harus mengambil alih tanggung jawab penyelesaian kasus ini,termasuk kewajiban membayar biaya yang terkait penanggulangan semburan, pencemaran dan biaya sosial, walaupun sebelumnya pihak Lapindo berkomitmen tidak akan lepas tangan di mana mekanisme pembagian tanggung jawab telah diatur dalam Peraturan Presiden No 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Gelombang ketidaksetujuan masyarakat atas penggunaan dana APBN untuk membayar gantirugi, fasilitas umum,biaya sosial, pencemaran dan lainnya, diduga akan terus bergulir karena dirasakan oleh sebagian rakyat sebagai bentuk ketidakadilan hukum. Gugatan kelompok masyarakat terhadap keabsahan ketetapan MA, baik melalui pembatalan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas Lapindo melalui praperadilan, atau uji materi UUAPBN melalui jalur MK diduga belum akan mereda, utamanya menjelang Pemilu 2014.
Sejak turunnya ketetapan hukum yang mengikat dari MA, rakyat disuguhi tontonan “ketidakberdayaan” pemerintah menghadapi Lapindo, salah satu tontonan ketidakberdayaan pemerintah tergambar dalam Perubahan Kedua atas Perpres No 14/2007 yang dituangkan pada Perpres No 40/ 2009 di mana beberapa tanggung jawab Lapindo yang sangat fundamental dalam penanggulangan semburan diambil alih menjadi tanggung jawab pemerintah, di antaranya adalah:
• Penanggulangan semburan lumpur yang sebelumnya dalam Perpres 14/2007 merupakan tanggung jawab dan dilaksanakan oleh PT Lapindo Brantas, dalam Perpres 40/2009 direvisi menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh pemerintah melalui BPLS.
• Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur termasuk di dalamnya penanganan tanggul utama sampai Kali Porong, sebelumnya dalam Perpres 14/2007 dibebankan kepada PT Lapindo Brantas, dalam Perpres 40/2009 direvisi menjadi beban pemerintah melalui APBN atau sumber dana lain yang sah.
Sejatinya Lapindo hanya bertanggung jawab atas ganti rugi atau jual-beli tanah milik warga yang terletak di dalam wilayah Peta Area Terdampak yang secara material nilainya jauh lebih kecil dibandingkan tanggung jawab pemerintah melalui APBN dalam rentang waktu yang tidak dapat dipastikan (sebagian pakar kebumian memperkirakan lumpur akan mati dalam waktu 30–50 tahun). Biaya yang dibutuhkan dalam jangka panjang akan sangat mahal karena meliputi biaya penanggulangan semburan, penanganan luapan lumpur, penanganan pencemaran lingkungan, pengaliran lumpur ke laut melalui Kali Porong,pemulihan infrastruktur dan lainnya.
Dari sisi hukum, dengan berlakunya ketetapan MA pemerintah tersandera dan tidak berdaya memaksa Lapindo menanggung lebih dari sekadar biaya sosial dan kemasyarakatan, tidak heran kemudian publik menduga terjadi tawar-menawar politik, sehingga aroma ketidakadilan merebak luas sejalan dengan berlarut-larutnya penanggulangan semburan lumpur.
Perlukah Kompromi ?
Sambil menunggu perkembangan gugatan uji materi atas UU APBN-P/2012 oleh MK, kompromi antara ketetapan hukum MA (inkracht) dengan kewajiban atau komitmen sosial Lapindo sebaiknya lebih difokuskan untuk tujuan menghapus penderitaan rakyat dan menanggulangi semburan lumpur, bukan sekadar konsesi politik di ranah kekuasaan.
Kebijakan penanggulangan lumpur Lapindo yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden telah mengamanatkan biaya yang ditanggung Lapindo dalam jangka panjang relatif jauh lebih kecil dibandingkan kewajiban pemerintah, sebaiknya agar terasa lebih fairpembagian biaya dan tanggung jawab diatur lebih proporsional.
Pemerintah diharapkan meninjau kembali Peraturan Presiden No 40/2009 yang telah dengan “baik hati” mengambil alih sebagian besar tanggung jawab fundamental penanggulangan semburan,seyogianya pemerintah mengusahakan kompromi yang lebih adil.
Pemerintah sewajarnya tidak inferior sehingga terkesan “tidak berdaya”, bukan berarti menantang keputusan MA, tetapi menuntut janji, komitmen dan kewajiban sosial Lapindo yang lebih adil. Memang dilematis, namun demi kepentingan rakyat Indonesia yang menjadi korban semburan lumpur vulkanis, kebijakan kompromistis mungkin menjadi pilihan terbaik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar