Sabtu, 07 Juli 2012

Korupsi Alquran, Kementerian (tidak Ber-) Agama

Korupsi Alquran, Kementerian (tidak Ber-) Agama
Teuku Zulkhairig ; Alumnus Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh,  PNS di Kemenag, Aceh
MEDIA INDONESIA, 07 Juli 2012


KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan tiga kasus dugaan korupsi di Kementerian Agama (Kemenag). Ketiga kasus itu ialah dua proyek pengadaan kitab suci Alquran tahun anggaran 2011-2012 dan satu kasus dalam proyek pengadaan laboratorium komputer madrasah sanawiah tahun anggaran 2011 sebagaimana diberitakan berbagai media massa.

Dari ketiga kasus itu, kasus korupsi proyek pengadaan Alquran ialah kasus yang terbilang paling menyita perhatian publik. Berbagai diskusi publik muncul di jejaring sosial, baik Twitter maupun Facebook. Diskusi muncul bukan karena kasus korupsi itu sendiri, melainkan karena yang dikorupsi ialah pengadaan Alquran, kitab suci umat Islam. Media massa pun menjadikan kasus buruk itu sebagai berita yang `bagus' untuk diberitakan.

Korupsi pengadaan Alquran dianggap publik sebagai hal yang `kebangetan'. Alquran bagi umat Islam merupakan sumber ajaran moral dan etika, sementara korupsi ialah pekerjaan yang berlawanan dengan moral, etika, dan keyakinan agama mana pun.

Bagaimana mungkin melakukan pekerjaan buruk untuk tujuan baik jika bukan karena tujuannya memang tidak baik? Di negara ini, para elite kita memang sering kali mendambakan rakyat kecil melakukan perbuatan-perbuatan baik, sementara mereka sendiri justru melakukan perbuatan buruk. Meminta rakyat mengamalkan Pancasila, sementara mereka sendiri pelanggar butir-butir dari Pancasila.

Kementerian (tidak Ber-) Agama?

Kendati KPK telah menetapkan anggota DPR RI yang merupakan politikus dari Partai Golkar, Zulkarnaen Djabar, sebagai tersangka bersama anaknya yang berinisial DP dari eksternal Kemenag, sepertinya bola panas isu korupsi itu terfokus menerjang Kemenag.

Tidak jarang bahkan kaum agnostik teisme menjadikan berbagai kasus kebobrokan moral yang melibatkan oknumoknum di institusi agama (secara langsung maupun tidak langsung) sebagai alasan untuk semakin meneguhkan keyakinan mereka bahwa agama tidak mampu mengajari manusia untuk bermoral.

Di berbagai media sosial dunia maya, berbagai hujatan justru menerpa Kemenag secara umum. Kemenag dianggap sebagai institusi negara yang seharusnya terlepas dari kebobrokan moral. Sebuah harapan yang wajar karena memang Kemenag sebagai institusi negara dibentuk untuk tujuan mentransformasikan nilai-nilai agama dalam berbagai aspek kehidupan.

Namun juga perlu diingat, Kemenag ialah institusi pemerintah yang tentu saja beberapa partai dan politikusnya memiliki kepentingan di institusi itu melalui oknum-oknum tertentu seperti orang internal Kemenag yang terlibat dalam kasus korupsi pengadaan Alquran.

Begitu juga, tidak semua pegawai dan birokrasi di Kemenag berbasis ilmu agama meskipun banyak juga orang berbasis agama yang melakukan korupsi. Ini belum lagi kita berbicara tentang disfung si lembaga pendidikan di negara kita yang realitasnya tidak memi liki orientasi untuk pem bentu kan mo ralitas peserta didik secara maksimal karena terjebak dengan aspek kognitif semata.

Penulis tidak bermaksud membela Kemenag karena penulis yakin orang-orang yang korup di internal Kemenag tidak mewakili nilai agama (Islam), tetapi ketika agama (Islam) sebagai ikonnya Kemenag justru menjadi korban akibat tindakan beberapa oknum tersebut, inilah suatu kesalahan yang fatal. Bagaimanapun, agama harus dibedakan dan tidak bisa disangkutpautkan dengan kebobrokan moral para koruptor meskipun seorang koruptor itu ialah seorang agamawan.

Banyaknya kerusakan yang terjadi sesungguhnya bukan disebabkan kegagalan agama dalam membangun masyarakat bermoral, melainkan kegagalan umat memahami pesan moral agama dan kegagalan mentransformasikannya dalam kehidupan sosial.

Agama hanya dipahami sebagai aturan-aturan legal formal yang hanya menyediakan pahala dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan neraka, yang wujudnya bersifat abstrak. Padahal, selain mengandung aturan legal formal (yang jumlahnya amat sedikit), agama mempunyai ajaran moral yang merupakan inti, sebagai perangkat untuk menciptakan masyarakat yang ideal, aman, tenteram, tertib, dan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat (Imam M Mustafa, 2008).

Korupsi vs Alquran

Korupsi ialah pekerjaan tercela dalam pandangan hukum Islam. Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fiqhus Sunnah, dengan lugas mengategorikan jika seseorang mengambil harta yang bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi dari tempatnya (hirz mitsl), itu dikategorikan sebagai pencurian dan jika ia mengambilnya secara paksa dan terang-terangan, dinamakan merampok (muharabah). Jika seseorang mengambil tanpa hak dan lari, dinamakan mencopet (ikhtilas) dan jika mengambil sesuatu yang dipercayakan padanya, dinamakan khiyanah. Alquran tidak hanya melarang kita untuk korupsi, tapi juga memberi tahu kita tentang konsekuensi pekerjaan hina tersebut. Untuk semua pekerjaan tercela itu, terdapat hukuman yang sangat tegas dalam Islam.

Pekerjaan yang masuk kategori pencurian diancam dengan hukuman potong tangan (Al-Maidah: 38). Tentang penipuan, Rasulullah bersabda, “Barang siapa menipu maka dia bukanlah dari golongan umatku.“ (HR Muslim dan yang lainnya). Sementara yang masuk kategori zhalim, “Barang siapa yang berlaku zhalim (khianat dalam masalah harta) sejengkal tanah maka kelak pada hari kiamat akan digantungkan tujuh lapis bumi di lehernya.“ (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Pekerjaan korupsi, selain zhalim, juga masuk kategori khianat karena koruptor dari kalangan birokrat, pegawai, dan wakil rakyat itu ialah orang-orang yang mengemban amanah rakyat. Jadi ketika dipercayai dengan jabatannya itu ia khianat, ia ialah munafik. “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu apabila berkata dia berdusta, apabila dia berjanji dia mengingkari, apabila dia dipercaya dia berkhianat.“ (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Alquran memberi pesan tegas bagi orang-orang munafik itu. `Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan jenazah seseorang mati di antara mereka (munafik) dan janganlah berdoa di kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik (At-Taubah: 84)'.

Maka sekarang, sebagai umat Islam, merupakan kewajiban kita semua untuk menjadikan Alquran sebagai sumber referensi dalam membendung budaya korupsi, baik dengan memformulasikannya dalam konstitusi negara maupun dengan cara memasyarakatkannya dalam ruang masyarakat yang lebih kecil. Jika tidak, agama akan terus dianggap gagal mengajari manusia untuk bermoral. Wallahu a'lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar