Senin, 09 Juli 2012

Kembali ke Pancasila

Kembali ke Pancasila
Sabam Leo Batubara ; Manggala Pancasila Angkatan 1996
KORAN TEMPO, 09 Juli 2012


Gerakan Pemantapan Pancasila yang Sekretaris Jenderalnya Saiful Sulun serta pembinanya mantan wakil presiden Try Sutrisno menggelar pertemuan bertema “Kembali ke Pancasila” di TMII Jakarta pada 5 Juli 2012. Orasi terkait dengan tema tersebut disampaikan oleh Dr Yudi Latif, Prof Dr Sofian Effendi, Prof Dr Sri Edi Swasono, Prof Dr Subroto, Romo Benny Susetyo, Prof Dr Bagir Manan, dan Prof Dr Juwono Sudarsono. 

Di Pendopo Agung Sasono Utomo, yang dipenuhi para undangan, dalam makalahnya yang dibagikan berjudul Pokok-pokok Pikiran Revitalisasi Pancasila, Try Sutrisno mengemukakan antara lain: “Setelah gagalnya ideologi Komunis di Uni Soviet pada akhir dekade 1980-an, ideologi liberal menjadi acuan bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Dengan pengalaman reformasi yang memasuki tahun ke-14 dewasa ini, seharusnya kalangan reformis yang beraliran liberal segera kembali ke Pancasila.”

Dalam pidatonya pada Hari Lahir Pancasila 1 Juni, 67 tahun silam Bung Karno menggambarkan kemerdekaan Indonesia dengan dasar negara Pancasila sebagai “jembatan emas”. Di seberang jembatan emas inilah, kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi. Bung Karno mencita-citakan negara diselenggarakan berdasarkan lima sila Pancasila tersebut, dan ideologi Pancasila itu diwujudkan sebagai dasar pembentukan karakter individual dan kolektif bangsa.

Kita sudah menyeberangi jembatan emas itu. Pertanyaannya: apakah rakyat sudah semakin maju dan sejahtera? Apakah bangunan Indonesia telah gagah, kuat, dan sehat sesuai dengan konsep Pancasila? Jawabannya: bangsa ini makin jauh dari harapan itu. Kenapa? Tidak sedikit elite bangsa menyalahkan “kambing hitam”. Try Sutrisno--juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif serta Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) Kiki Syahnakri--menyalahkan ideologi asing.

Dalam Kongres Pancasila IV di Yogyakarta (31 Mei 2012), Syafii Maarif berpendapat, “Dalam praktek, nilai-nilai Pancasila dikhianati. Selain itu, pendukung sistem ekonomi neoliberal telah membabat nilai-nilai luhur Pancasila.” Dalam tulisannya di sebuah surat kabar nasional (23 April 2012), Kiki Syahnakri berpendapat, “Pascareformasi 1998, kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia praktis dikuasai oleh liberalisme. Liberalismelah yang mengerdilkan dan mengalienasikan Pancasila.”

Beda Temuan

Benarkah belum terwujudnya cita-cita nasional sesuai dengan harapan rakyat, karena Pancasila dihambat dan dikerdilkan oleh liberalisme? Menarik untuk menganalisis beda temuan antara Bung Karno dan Mochtar Lubis, yang pernah dipenjarakan oleh rezim Sukarno selama 9 tahun dan ditahan oleh rezim Soeharto 2,5 bulan serta surat kabarnya dibredel.

Bung Karno tidak menciptakan Pancasila, tapi hanya menemukan dan menggalinya dari rahim Bumi Indonesia. Temuan itu menggambarkan manusia Indonesia berjati diri berketuhanan yang maha esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berorientasi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sedangkan Mochtar Lubis--lewat pemberitaannya di harian Indonesia Raya sejak 1955 dan buku Manusia Indonesia (1977)--menyuarakan bahwa manusia Indonesia memiliki karakter dengan delapan kelemahan, yakni berkecenderungan korup; munafik; enggan bertanggung jawab; berjiwa feodal; percaya takhayul; tidak hemat dan boros; tidak senang bekerja keras dan cenderung bermalas-malas; serta bisa kejam, mengamuk, dan membakar. Dalam bukunya, Mochtar Lubis mengurai kelemahan-kelemahan manusia Indonesia itulah yang menjadi penyakit kronis yang menggerogoti negara ini.

Apakah hasil temuan Bung Karno berkembang menjadi kenyataan? Kendatipun Pancasila lestari termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan posisinya kokoh sebagai dasar Negara Kesatuan RI, karena perilaku penyelenggara negara dan elite bangsa justru tidak mengamalkan lima sila Pancasila, sekarang ini Pancasila dicitrakan sebagai: “keuangan yang maha kuasa; korupsi yang adil dan merata; persatuan mafia hukum Indonesia; kekuasaan yang dipimpin oleh nafsu kebejatan dalam persekongkolan dan kepura-puraan; kenyamanan bagi keluarga pejabat dan keluarga wakil rakyat.”

Sementara itu, sulit untuk dimungkiri, delapan penyakit manusia Indonesia semakin menggerogoti ibu pertiwi. Sekadar beberapa contoh kenyataan dapat dikemukakan, pertama, sekarang ini korupsi semakin menggerogoti negara ini, baik vertikal maupun horizontal. Kedua, ratusan anggota Dewan, pejabat birokrasi, dan penegak hukum telah dikirim ke penjara oleh KPK. Ribuan orang menyusul. Tatkala mereka dilantik memangku jabatannya, mereka bersumpah atau berjanji kepada Tuhan untuk tidak korup, tapi mereka melanggarnya. Perbuatan itu cerminan kemunafikan pimpinan kita.

Ketiga, TAP MPR Nomor IX/1999 memerintahkan pemberantasan KKN kepada mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya. Berdasarkan laporan PBB dan Bank Dunia, dia diduga mencuri kekayaan negara hingga AS$ 30 miliar (Republika, 19 September 2007). Pertanggungjawaban Soeharto di depan hukum gagal, karena empat presiden rezim reformasi enggan melaksanakan tanggung jawabnya untuk melaksanakan TAP MPR itu. Era Orde Baru sarat akan pelanggaran HAM di Timor Timur, Aceh, Papua, dan Jakarta, pada Mei 1998. Tidak ada seorang pun jenderal ABRI yang secara kesatria menyatakan bertanggung jawab, tapi justru mengalihkan kesalahan kepada bawahan. Dan, penguasa rezim reformasi enggan menegakkan pertanggungjawaban itu.

Ketiga, Mochtar Lubis menyatakan manusia Indonesia bisa kejam, mengamuk, dan membakar. Temuan itu muncul nyaris setiap hari di media TV kita.

Mengamalkan

Dari uraian di atas tersimpul, agenda nasional kita ke depan bukan kembali ke Pancasila, melainkan proaktif mengamalkan Pancasila. Sebab, Pancasila termaktub di Pembukaan UUD 1945, posisinya kokoh sebagai dasar Negara Kesatuan RI.

Menurut saya, cita-cita Bung Karno kondisional. Artinya, Indonesia merdeka hanya mungkin menjadi gagah, kuat, sehat, dan kekal jika lima sila Pancasila diamalkan serta diwujudkan menjadi karakter individual dan kolektif bangsa. Karena yang berkembang menggerogoti kehidupan berbangsa dan bernegara kita selama ini adalah karakter dengan delapan kelemahan manusia Indonesia, maka agenda nasional ke depan diawali dengan gerakan penyembuhan Indonesia dari delapan jenis penyakit kronis tersebut. Upaya itu menjadi conditio sine qua non untuk keberhasilan gerakan mengamalkan lima sila Pancasila menuju Indonesia yang maju, makmur, adil, dan sejahtera. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar