Senin, 09 Juli 2012

Fajar Baru Pendidikan Nasional


Fajar Baru Pendidikan Nasional
Abdul Munif ; Direktur el-Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang
MEDIA INDONESIA, 09 Juli 2012

SETIAP 2 Mei kita selalu memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Itu menunjukkan bangsa ini menganggap pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan anak negeri sehingga layak diperingati dengan memunculkan hari istimewa. Apa pesan penting dari perayaan (paling banyak dengan upacara) yang dilakukan setiap tahun oleh institusi pendidikan, dari kementerian sampai sekolah tersebut? Apakah itu sebatas seremonial belaka?

Momentum yang diisbatkan pada tanggal kelahiran Soewardi Soerjaningrat yang populer dengan nama Ki Hadjar Dewantara tersebut memiliki pesan yang layak untuk dijadikan landasan filosofis, etis, maupun praksis dalam kebijakan nasional pendidikan kita. Ki Hadjar Dewantara yang mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta pada 24 Juli 1924 sebagai modus perjuangan layak dijadikan teladan.

Pendirian Taman Siswa sebelumnya didahului aktivitas Soewardi di bidang pergerakan dan politik. Pada 3 Juli 1913, dia menulis Alsi keens Nederlander was (Andaikata aku seorang Belanda) yang dimuat di surat kabar De Expres, Bandung. Soewardi menyatakan, `Andaikata aku seorang Belanda, aku tidak akan merayakan perayaan itu di dalam negeri yang sedang kami jajah. Pertama, kami harus memberikan kemerdekaan kepada rakyat yang kami jajah, kemudian baru memperingati kemerdekaan kami sendiri... (Soewito, 1991)'. Tulisan tersebut merupakan jeritan Soewardi ketika melihat kolonialisme bercokol di tanah Hindia Belanda yang menindas orang-orang pribumi.

Soewardi juga menulis Eenvoorallen, maar ookallenvooreen (Satu untuk semua, semua untuk satu), yang pada akhir tulisan ia menulis, `Kita harus mempunyai kekuatan dan kepribadian dalam menghadapi perjuangan nasional ini. Jika tidak, maka selamanya saudara-saudara akan tetap menjadi budak! Lepaskan diri dari perbudakan ini (Soewito, 1991)!' Bersama Tjipto Mangoenkoesomo dan Douwes Dekker, ia mendirikan Indisjhe Partij yang dilarang pemerintah Belanda karena banyak mengkritik kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada rakyat pribumi. Dari perjuangan politik seperti itulah Soewardi memilih pendidikan sebagai jalan perjuangan. Spirit perjuangan Ki Hadjar di bidang pendidikan memiliki misi yang tetap relevan kendati apa yang dilawan kini berbeda wajah.

Semua tujuan pendidikan yang dirumuskan Ki Hadjar dapat disimpulkan pada dua pokok. Pertama, semangat kemerdekaan yang diwujudkan pada semangat antikolonialisme, antiperbudakan, antipenindasan, dan antiimperialisme. Kedua, dengan semangat tersebut, rumusan utamanya ialah kemerdekaan, yang dimulai dari kemerdekaan bangsa dari penjajah, lalu kemerdekaan diri yang direngkuh dan diperjuangkan melalui praksis pendidikan.

Problem Pendidikan Nasional

Harus diakui, pendidikan nasional kita kini masih sarat dengan masalah. Ujian nasional (UN) yang baru saja dijalani para siswa tentu tidak lepas dari berbagai silang sengkarut yang mengiringi pelaksanaan UN dan pendidikan kita pada umumnya. Pilihan UN yang tetap dijalankan, kendati banyak pakar pendidikan pesimistis itu tidak bisa dijadikan tolok ukur (evaluasi) apakah siswa telah berhasil merampungkan suatu jenjang pendidikan, merupa kan autokritik agar pemerintah tidak menutup mata bahwa kebijakan harus terus dievaluasi dan diperbaiki.

Di beberapa kabupaten, seperti di Lamongan, Jawa Timur, ditemui pelaksanaan UN menggunakan kamera tersembunyi (CCTV) untuk meminimalkan peluang siswa menyontek. CCTV itu sejatinya menyimpan paradoks dan ironi; pendidikan gagal menanamkan sikap jujur dan percaya diri kepada siswa sehingga mereka harus menjadi pihak yang diawasi.

Kedua, masih terdapat kelas kelas sekolah ,mulai berstandar nasional (SSN) hingga internasional (SBI), yang banyak dikecam berbagai kalangan yang peduli pendidikan untuk semua (education for all). Kapitalisme pendidikan bercokol dalam moda sekolah seperti itu sehingga peluang bagi anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan berkualitas semakin kecil.

Ketiga, pendidikan belum bisa sepenuhnya lepas dari sekolah sebagai habitus utama pendidikan. Ketika kita bicara pendidikan, segera teringat sekolah yang disamakan dengan pendidikan. Muncul semacam hujatan ketika menemukan orang yang nakal tak bermoral akan dikatakan sebagai wong sing gak tau mangan sekolahan (orang yang tak pernah mengenyam sekolah).

Keempat, kurikulum yang selama ini menjadi acuan pendidikan perlu dikoreksi ulang. Betul bahwa kurikulum merupakan acuan utama untuk menjalankan pengajaran sistematis. Namun perlu diingat, kurikulum di sekolah kadang berjalan terlalu lamban. Materi pelajaran yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat itu dilaksanakan dalam beberapa pertemuan selama satu semester.

Kelima, anggaran pendidikan masih jauh panggang dari api. Meski nilainya untuk 2012 ini meningkat, itu juga dipakai untuk gaji tenaga pen didik. Artinya, alokasi anggaran pendidikan untuk siswa dan operasional pendidikan lebih sedikit, hanya sekitar 30%. Program pemenuhan sarana prasarana penunjang pelak sanaan KBM (kegiatan belajar mengajar) menjadi terhambat, padahal itu penting untuk me ningkatkan kualitas anak didik (meski bukan faktor utama).

Keenam, munculnya sekolah sekolah swasta yang berafiliasi dengan kelompok agama dengan ideologi tertentu dapat menyebabkan bangunan keindonesiaan merapuh. Cukup banyak lembaga pendidikan yang justru tidak percaya dengan Pancasila, nasionalisme, NKRI, dan nilai-nilai kebangsaan lainnya. Keberbedaan yang mereka hadir kan tidak dilandasi semangat saling menghormati dan bersama-sama membangun persatuan bangsa.

Ketujuh, jamak dikeluhkan rendahnya minat baca siswa, meski itu juga cerminan realitas masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Buku-buku hanya mangkrak dan berdebu di perpustakaan. Siswa hanya membaca buku paket pelajaran dan LKS (lembar kerja siswa), belum berminat untuk membaca buku-buku lain. Belum banyak sekolah melakukan langkah progresif untuk mendorong minat baca siswa. Alih-alih dijadikan pertaruhan kredibilitas lembaga pendidikan, buku justru dijadikan lahan bisnis oknum sekolahan. Sekolah telah gagal membentuk budaya membaca siswa yang semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan di sekolah.

Pertanyaan mendasar; jika sekolah yang digadang-gadang sebagai habitat/ komunitas utama pendidikan justru gagal mendidik siswa untuk berpendidikan, dari mana lagi siswa belajar mengenai nilai-nilai kehidupan? Siswa berada di sekolah hanya sekitar 6-7 jam per hari, selebihnya berada di luar dengan segala nilai-nilai yang saling menegasi, sedangkan sekolah sendiri tidak steril dari nilai-nilai yang berkembang di luar.

Fajar Baru

Yang penting untuk diingat semua pihak ialah sekolah bukan satu-satunya `lembaga pendidikan'. Ivan Illich membedakan secara tegas antara sekolah dan pendidikan, bahkan seperti bumi dan langit. Sekolah membelenggu kebebasan siswa, padahal pendidikan pada hakikatnya bertujuan membebaskan siswa dengan seluruh potensi kreativitas yang dimilikinya. Meringkus pendidikan ke dalam paradigma sekolahan akan dapat memunculkan ketergantungan pada sekolah, sedangkan peran institusi sosial lainnya terabaikan.

Telah cukup lama sekolah seperti ruang eksklusif yang ditandai dengan gedung dan pagar yang melingkari sekolah. Sekolah menjadi dunia lain, yang terlepas dari realitas masyarakat di luar sekolah. Di sinilah sekolah menjadi `lembaga kebudayaan' yang `invalid' karena nilai-nilai kebudayaan di luar sekolah justru dikebiri bangunan sekolah dan kurikulum pendidikan.

Kondisi itu merupakan titik kulminasi dari rentang panjang pendidikan nasional yang masih terdikte oleh kepentingan asing (kapitalisme global) yang semakin merongrong sumber daya manusia (kebudayaan) anak negeri dan sumber daya alam Indonesia.

Dengan dikembalikannya kebudayaan ke pangkuan Kementerian Pendidikan, kita sepatutnya berharap Kemendikbud dapat membawa fajar baru pendidikan nasional yang lebih baik. Asalkan, sekolah dapat menangkap itu sebagai pengejawantahan kebudayaan dalam praksis pendidikan dan belajar mengajar di sekolah, bukan pada aspek material kebudayaan yang indikasinya ialah aspek kognitif; siswa mampu menyebutkan tarian, lagu daerah, alat musik tradisional, dan anasir-anasir kedaerahan yang dimiliki setiap provinsi.

Kita berharap respons sekolah ketika menangkap instruksi pemerintah tidak dengan cara yang konyol; sekadar memasukkan frasa kebudayaan dalam RPP, silabus, dan acuan kurikulum yang lain. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih elok jika tak melulu mengurusi masalah persekolahan, tapi juga institusi sosial lain, semisal organisasi keagamaan, pers dengan media massanya, juga organisasi masyarakat yang sering bersinggungan dengan masalah sosial, karena turut mengonstruksi kebudayaan masyarakat.
Sekolah mesti menjadi lembaga kebudayaan tempat bersemainya manusia-manusia berbudaya, berkarakter, nasionalis, dan toleran. Semangat Ki Hadjar dapat dijadikan pengingat kita sebagai insan Indonesia yang masih percaya pendidikan yang berkebudayaan merupakan jalan penyelamatan bangsa dari segala krisis kemanusiaan.

1 komentar:

  1. Bagus sobat..


    Ayo ikuti lomba cerdas cermat online seri2 dan menangkan juga hadiah jutaan rupiah

    BalasHapus