Sabtu, 14 Juli 2012

Diktator, Demokrasi, dan Keruntuhan


Diktator, Demokrasi, dan Keruntuhan
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Kompas
KOMPAS, 14 Juli 2012

Dalam pertemuan mencari penyelesaian masalah Suriah di Paris, Perancis, pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Hillary Rodham Clinton menggebu-gebu menyerang China dan Rusia yang memblokir usulan resolusi krisis Suriah.

Hillary menuding China dan Rusia, yang sama-sama memiliki hak veto sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, menahan kemajuan penyelesaian konflik internal Suriah.
Dalam pertemuan sebelumnya di Geneva yang dihadiri anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan utusan khusus masalah Suriah, Kofi Annan, China dan Rusia menolak merestui usulan bahwa penyelesaian masalah Suriah harus didahului dengan turunnya Presiden Bashar al-Assad. Kedua negara ini tidak percaya transisi politik yang dilakukan Suriah sendiri harus melalui penggulingan Presiden Assad.

Selama ini memang menjadi pertanyaan menarik mengapa China memiliki sikap simetris dengan Rusia dalam persoalan menyangkut hubungan politik di Timur Tengah, dan mengesahkan veto ganda, sesuatu yang jarang terjadi terkait resolusi PBB atas Suriah.
Suriah adalah bagian dari gelombang revolusi yang terjadi di negara-negara Arab, dan veto ganda China-Rusia di Dewan Keamanan PBB tahun lalu harus dimengerti sebagai upaya mencari solusi komprehensif yang seimbang dan dinamis (Kompas, 11/2).

Sikap Hillary mungkin bisa diungkapkan dengan peribahasa ”seekor tikus tidak bisa melihat melampaui hidungnya”, ungkapan yang menggambarkan ada persoalan yang terlalu rumit dan berdampak sangat jauh ke depan yang tidak bisa diraba dan dilihat seketika.

Sebagai negara besar dengan kekuatan politik yang ditopang kemajuan pertumbuhan ekonomi yang impresif, posisi Beijing jelas tidak bisa didikte AS atau negara maju yang selama ini mendominasi politik global modern.

Globalisasi dengan China sebagai sentra kekuatan baru ekonomi dunia di luar negara- negara Barat memang menghadirkan persoalan-persoalan baru. Dalam konteks itu, aplikasi hubungan internasional standar Barat akan terus bersinggungan dengan aktor internasional non-Barat.

Selama lebih dari 200 tahun, persaingan kekuasaan struktural politik dunia selalu menjadi ”mainan” negara-negara Barat. Negara berkembang, atau yang juga pernah disebut sebagai negara Dunia Ketiga, hanya menjadi pengamat saja atau malah korban. Identitas internasional negara non-Barat ini tergerus dalam aturan ataupun bantuan, seperti pada pola kolonialisme, Perang Dingin, atau demokratisasi dalam globalisasi politik modern dunia.

Tanpa Destabilisasi

Kita sendiri melihat ada dua alasan penting, khususnya bagi China, menolak tuduhan Menlu Hillary dalam krisis Suriah ini. Pertama, seperti yang diprediksi mantan Menlu Jerman Joschka Fischer, China adalah sebuah negara adidaya yang melihat ke dalam (inward-looking), dan karena alasan ini, kepentingan politik luar negerinya tidak akan sentimental seperti tecermin dalam krisis Suriah ini.

Menurut Fischer, supremasi militer China akan condong pada membentuk kekuatan adidaya regional karena persatuan negaranya sangat bergantung pada situasi kawasan. Dan memang, transformasi secara masif dan cepat yang dilakukan China sebagai negara besar agraria menuju masyarakat industri ultramodern harus dilakukan tanpa destabilisasi sistem yang dianutnya.

Kedua, karena alasan ini China tidak akan pernah mendukung intervensi asing dalam persoalan domestik, termasuk krisis Suriah yang membawa korban begitu banyak. Selain itu, China (termasuk Rusia) juga merasa dikhianati negara-negara Barat ketika perilaku di Libya telah melampaui mandat PBB dengan menggulingkan rezim Moammar Khadafy.

Baik China maupun Rusia juga memiliki ketegangan etnis dan politiknya sendiri di dalam negeri, termasuk terkait dengan masalah minoritas, seperti di Xinjiang atau Chechnya. Bagi Beijing, stabilitas domestik akan sangat bergantung pada perilaku internasionalnya yang tidak membuka peluang akan intervensi dalam negeri, apalagi penggulingan kekuasaan yang sah. Pilihannya jelas bukan salah satu dari kediktatoran atau demokrasi, melainkan stabilitas yang mencegah keruntuhan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar