Whats in a Name?
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru
Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 14 Juni 2015
”What’s in a name? That which we call a rose, by any other name
would smell as sweet.” (Apalah arti sebuah nama? Sesuatu yang kita sebut mawar, akan
sama wanginya walaupun kita menyebutnya dengan nama lain). Itulah kata-kata
mutiara dari William Shakespeare, seniman, penyair, dan penulis Inggris
paling kondang dari abad XVI-XVII (1564-1616).
Memang benar.
Bahasa-bahasa di Eropa menyebut salah satu bunga yang merah wangi itu dengan
istilah yang miripmirip seperti rosa (Latin), rose (Inggris), roze (Jerman),
atau rosza (Hongaria), padahal di Indonesia disebut mawar. Beda sekali. Tapi
keindahan warnanya dan semerbak wanginya tetap sama.
Karena
itu, menurut Shakespeare, nama tidak penting. Yang penting adalah sifat atau
kualitas dari hal yang menyandang nama itu sendiri. Matahari (Indonesia)
tetap bersinar di siang hari walau dia disebut dengan sun (Inggris), zon
(Belanda) atau srengenge (Jawa).
Bulan (Indonesia) pun tetap penjaga malam meski namanya (dalam bahasa Latin) mensis, mjesee (Kroasia) atau mase
(Bengali).
Tapi
benarkah ungkapan kata mutiara Shakespeare itu? Rasulullah memiliki seekor
unta yang diberi nama Qaswa, ada juga keledai yang diberi nama YaYafur.
Beliau juga memiliki dua ekor kuda, seekor diberinya nama Al-Murtajiz dan
yang lain diberi nama As-Sakbu yang berarti ”jago berlari”. Selain kepada
benda hidup, Rasulullah juga memberi nama kepada benda mati miliknya seperti
mangkuk minum/cawan yang diberinya nama Ar-Rayyan dan Al-Gharra untuk mangkuk
makan. Sebuah tas anyaman yang dibawa untuk menyimpan makanan maupun
benda-benda kecil (kalau zaman sekarang termasuk untuk menyimpan laptop juga)
saat berdakwah ataupun saat berperang diberinya nama Al-Kafur .
Ada dua perkara yang
menyebabkan orang senang memberi nama kepada apa saja. Yang pertama adalah
untuk membedakan objek yang satu dengan yang lain dan yang kedua untuk
memberi makna pribadi kita (manusia) sendiri kepada objek yang menjadi milik
kita atau dekat dengan diri kita. Jadi kalau si bungsu Pipit punya kucing
yang dinamainya si Cipuy, misalnya, nama itu adalah untuk membedakan kucing
kesayangannya dari kucing-kucing yang lain (aslinya kucing itu disapa dengan
panggilan si Pus , tetapi oleh Pipit yang masih berumur 3 tahun dilafalkan
Cipuy , maka kucing itu dipanggil dengan Cipuy oleh seisi rumah).
Seluruh keluarga
sayang sama Cipuy. Nama itu mewakili makna kasih sayang dari seluruh keluarga
kepada kucing yang satu itu. Ketika Cipuy meninggal (bukan mati), si bungsu
Pipit yang setiap malam bobok sama Cipuy menangis seharian saking sedihnya.
Demikian pula dengan
Rasulullah. Beliau selalu makan dengan mangkuk Al-Gharra dan minum dari cawan
Ar-Rayyan. Ke mana-mana membawa tas Al-Kafur dan mengendarai kuda As-Sakbu
atau unta Qaswa dan seterusnya. Kalau salah satu hewan atau benda
kesayangannya mati atau hilang, pastilah beliau akan berduka karena Rasul
juga manusia biasa, sama seperti Pipit.
Manusia adalah makhluk
makna. Jadi setiap hal diberi makna oleh manusia. Makna bisa berbeda-beda
antara satu orang dengan orang yang lain sehingga nama yang diberikan pun
berbeda-beda. Kita memberi nama kepada anak yang kedua misalnya Dwi atau
Adik, tentu beda dari nama anak pertama (Eko, Pratama atau Kakak), begitu pula
dengan yang ketiga dan seterusnya. Di Bali bahkan ada nama baku untuk urutan
kelahiran, yaitu dari sulung sampai anak keempat: Wayan, Made, Nyoman dan
Ketut. Kalau misalnya seorang kakek lupa pada nama cucu-cucunya yang banyak,
kakek itu akan bingung sendiri untuk membedakan cucu yang stu dari cucu yang
lain.
Tapi nama bisa juga
untuk mendegradasi (menurunkan) tingkat makna. Ketika saya dan beberapa pakar
dari UI berada di Kalimantan Barat pada 1999 untuk mempelajari konflik
antaretnik di sana, kami menemukan bahwa orang-orang Madura lokal menyebut
etnik Dayak sebagai Kafir dan etnik Melayu sebagai Kerupuk. Demikian pula di
Ambon, pada tahun yang sama, dalam rangka mempelajari konflik antaragama di
pulau itu, kami (tim peneliti yang sama) menemukan bahwa kelompok muslim
lokal menyebut kelompok Kristen dengan Obet (dari nama Robert yang
diplesetkan), sebaliknya kaum Kristen lokal menyebut yang muslim dengan Acan
(dari Hasan).
Obet dan Acan bukan
lagi nama-nama manusia, tetapi nama-nama benda atau hal yang buruk dan busuk
sehingga patut dibuang atau dimusnahkan. Demikian juga halnya dengan Kafir
dan Kerupuk di kalangan orang Madura Kalbar. Mereka tidak mau meninggikan
makna dari orang-orang yang tidak mereka sukai. Sementara orang lain pada
umumnya (termasuk Rasulullah yang menjadi teladan setiap muslim dan Pipit
yang balita atau mungkin semua pembaca dan saya) justru memberi nama kepada
hal-hal yang bukan-orang seakan- akan hal-hal tersebut adalah manusia juga
sehingga layak kita cintai, sayangi, atau kita pelihara baik-baik.
Di dalam ilmu
linguistik (ilmu tentang bahasa) ada yang namanya denotasi dan konotasi.
Denotasi adalah makna yang sesungguhnya dari suatu kata. Misalnya mawar
adalah bunga indah, biasanya berwarna merah dan berbau harum. Adapun konotasi
adalah makna di balik sebuah kata. Maka kata mawar mempunyai konotasi yang
indah-indah dan cantik-cantik sehingga seorang pemuda menyatakan cintanya
kepada seorang gadis yang secantik mawar di hatinya dengan menyampaikan
sekuntum mawar merah. Tapi kerupuk yang denotasinya adalah makanan yang
renyah terbuat dari udang atau ikan di kalangan Madura Kalbar (tidak berlaku
untuk Madura lain, apalagi non-Madura) berkonotasi benda empuk yang gampang
dan tidak melawan kalau diremukkan. Jadi masih berlakukah kata-kata mutiara
Shakespeare whatwhats in
a name? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar