Judge Artijo
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN SINDO, 13 Juni 2015
Artijo Alkostar itu
tidak suka kalau diajak bicara tentang perkara yang sedang ditanganinya. Dia
hanya mau berbicara dengan hati nuraninya tentang pasal-pasal hukum dan
keadilan. Terhadap vonis-vonis yang telah dijatuhkannya pun saya tak pernah
menanyakan pada Artijo, meski kami selalu bertemu di kampus untuk mengajar.
Tetapi pada Selasa
malam (9 Juni 2015) kemarin, saya menemui dan menanyakan kepada Artijo tentang
vonisnya terhadap Anas Urbaningrum. Pasalnya pada Senin (8 Juni 2015), Artijo
melipatduakan hukuman penjara terhadap Anas Urbaningrum dari tujuh tahun di
pengadilan tinggi (PT) menjadi 14 tahun di Mahkamah Agung, ditambah dengan
pencabutan hak politik oleh majelis hakim kasasi yang dipimpin oleh Artijo.
Meski tidak ada kegaduhan di media massa yang meributkan vonis itu, di
komunitas Whats- App tertentu, vonis tersebut mendapat sorotan tajam. Bahkan,
ada yang agak emosional dan kasar dalam menyorotinya.
Selain tergugah oleh
debat di Whats App tertentu tersebut, saya merasa perlu bertemu dengan Artijo
karena sebelum ada vonis Anas, saya mendengar banyak keluhan tentangnya. Ada
pejabat penting yang mengatakan, ”Artijo
itu terlalu antikorupsi sehingga kalau ada perkara korupsi yang kasasi,
langsung hukumannya dinaikkan. Itu produk orang marah dan tidak adil,”
kata pejabat itu.
Hal yang sama pernah
dikeluhkan secara langsung kepada saya oleh seorang ibu yang suaminya dihukum
dua kali lipat dari vonis pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.
”Artijo itu tak membaca memori kasasi, tapi langsung menghukum
dua kali lipat menjadi 15 tahun. Suami saya itu hanya analis, bukan pembuat
keputusan, apalagi kebijakan, kok dihukum segitu”, kata ibu itu. Saya
pun ikut terharu mendengarkan kronologi kasus yang menimpa keluarganya.
Terhukum kasus korupsi
di tingkat PN dan PT banyak yang takut untuk mengajukan kasasi ke MA karena
takut kalau majelis kasasinya jatuh ke Artijo. Yang sudah mengajukan kasasi
pun ada yang mencabut kembali setelah majelis hakimnya ditangani Artijo.
Hartati Murdaya, Neneng Sri Wahyuni, dan mantan Bupati Buol Amran A. Batalipu
adalah contoh yang perkara kasasinya ditarik ketika Artijo siap menjatuhkan
vonis.
Ketika saya sampaikan
tentang keluhan-keluhan itu, Artijo menanggapi dengan tenang, tanpa perubahan
ekspresi di wajahnya. Tapi dia menegaskan, penilaian orang-orang itu absurd. Kata Artijo, akan dosa besar
kalau dirinya memutus tanpa membaca memori kasasi secara cermat.
Semua argumen dan
kontra-argumen dalam kasasi dan memori kasasi pasti diurai, dianalisis, dan
dikonfirmasikan dengan bukti-bukti, dan semua itu dimuat di dalam vonis.
Bahkan ketika menyebut
argumen dan kontra-argumen itu, vonis Artijo menyebut halaman-halaman memori,
kontramemori dan vonis-vonis sebelumnya. Jadi tak mungkin bisa membuat vonis
yang begitu kalau tidak membaca dengan cermat.
Lagi pula, tidak
sedikit jumlahnya perkara kasasi yang ditangani Artijo hukumannya dikurangi
bahkan divonis bebas. ”Yang diberitakan
kan yang dinaikkan saja,” kata Artijo.
Dia pun berjanji,
pekan ini, akan menunjukkan kepada saya tentang perkara dan orang-orang yang
dibebaskannya, sekaligus akan menunjukkan bukti dan pertimbangan atas putusan-putusan
yang diributkan. Kata Artijo, dirinya
tak harus bertanggung jawab kepada manusia siapa pun dalam membuat vonis,
kecuali kepada Tuhan. Dia akan menunjukkan itu kepada saya bukan sebagai
pertanggungjawaban atau untuk membela diri, melainkan karena saya adalah
yuniornya.
Artijo menganut paradigma, pejabat yang korupsi harus
dihukum berat; karena selain korupsi, mereka juga melanggar kewajibannya
untuk menyejahterakan rakyat.
Hakim tetaplah
manusia. Tetapi yang penting, manusia yang berstatus hakim itu benar-benar
berusaha untuk menjaga integritas dan kejujuran tentang kebenaran dan
keadilan. Saya yakin akan integritas Artijo, karena saya mengenal lama secara
cukup dekat.
Pada tahun 1978, saya
masuk menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) di
Yogyakarta dan Mas Artijo adalah salah satu dosen muda favorit saya. Dia
mengajar dengan sangat baik, sambil selalu menekankan perlunya
moral-keagamaan sebagai dasar ilmu dan penegakan hukum. Dia pula yang
menginspirasi saya untuk menjadi dosen karena saya ingin menjadi dosen
seperti Mas Artijo yang cerdas, sederhana, tegas, berani, dan agamais.
Pada tahun 1990/1991,
saya dan Mas Artijo sama-sama berada di New York, AS. Saya menjadi academic researcher di Pusat Studi
Asia, Columbia Univesity untuk penulisan disertasi doktor di UGM, sedangkan
Mas Artijo bekerja di Human Rights
Watch. Setiap Jumat, kami bersama ke masjid untuk salat Jumat. Setiap
Minggu, kami makan siang bersama, kadang makan nasi briyani di restoran India, kadang makan kebab di restoran Turki.
Setelah menjadi hakim
agung, kami di UII sering menjuluki Mas Artijo dengan Judge Bao. Judge Bao
atau Justice Bao adalah seorang
hakim yang namanya sangat melegenda sebagai simbol penegak hukum dan keadilan
dalam sejarah China. Namanya diabadikan di dalam buku sejarah dan film-film.
Nama aslinya Bao
Zheng, hidup tahun 999-1062 era Dinasti Song. Di dalam penulisan sejarah
maupun di film-film, terkadang dia ditulis sebagai Judge Bao, terkadang disebut Justice
Bao. Maklum pada saat itu tugas penuntutan dan penghukuman masih menyatu.
Kami sering menyebut Mas Artijo sebagai Judge
Bao Artijo. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar