Tax
Amnesty : Solusi Melalui Rekonsiliasi
Mukhamad Misbakhun ; Anggota
Komisi XI DPR RI
|
KORAN SINDO, 03 Juni 2015
Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 menargetkan penerimaan pajak pada
2015 sebesar Rp1.294,3 triliun. Target tersebut di luar bea dan cukai serta
PPh migas. Bila digabungkan, penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar
Rp1.489,3 triliun atau hampir 82% dari total penerimaan negara. Selain
menunjukkan peningkatan di atas 31% dari 2014, target penerimaan juga
menunjukkan dominasi penerimaan negara yang bersumber dari sektor perpajakan.
Bagi Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, amanat UU APBN 2015 bukanlah tugas
yang ringan mengingat tren penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir tidak
memenuhi target. Pada 2014 realisasi penerimaan pajak bahkan terendah dalam
25 tahun terakhir, hanya mencapai Rp1.143 triliun atau sekitar 91,75%.
Rendahnya pencapaian
realisasi penerimaan pajak ini memerlukan solusi. Tanpa peningkatan
penerimaan pajak yang signifikan, pemerintah akan sulit memiliki sumber
pembiayaan yang memadai. Di tengah harapan akan ada perubahan sistem
perpajakan yang mendasar dan menyeluruh, wacana tax amnesty atau pengampunan pajak menjadi salah satu alternatif
solusi yang kini tengah dibahas pemerintah bersama DPR untuk masuk dalam RUU
Pengampunan Pajak.
Pengampunan pajak
adalah kebijakan pemerintah yang memberikan kesempatan waktu yang terbatas
kepada kelompok pembayar pajak tertentu untuk membayar sejumlah tertentu dan
dalam waktu tertentu berupa pengampunan kewajiban pajak (termasuk bunga dan
denda) yang berkaitan dengan masa pajak sebelumnya atau periode tertentu
tanpa takut hukuman pidana. Ini biasanya berakhir ketika otoritas yang
dimulai penyelidikan terkait pajak-pajak masa lalu.
Beberapa aspek yang
perlu digarisbawahi dalam RUU tersebut. Pertama, pengampunan pajak digunakan
sebagai penghimpun dan penerima pajak dalam jangka waktu yang relatif singkat
dan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pajak masa yang akan datang.
Kedua, pengampunan pajak dapat mendorong penyerapan dana masyarakat yang
disimpan di luar negeri (repatriasi modal dan aset). Ketiga , pengampunan
atas ekonomi yang berada dalam ”grey area” atau ”hidden economy” di dalam negeri.
Biasanya berupa praktik-praktik ekonomi yang tidak pernah didaftarkan secara
resmi, namun berpraktik dalam bisnis riil di masyarakat.
Keempat, tarif pengampunan
pajak harus memberi insentif bagi pemilik dana jika mereka membawa dana
tersebut ke dalam negeri untuk diinvestasikan atau disimpan dalam perbankan
nasional. Kelima, sebagai perpaduan antara upaya penyadaran dan penindakan
dengan memberi perspektif rekonsiliasi. Dalam hal ini, konstruksi penerimaan
dari sector perpajakan mengarah transisi ke sistem perpajakan baru yang lebih
kuat dan adil (berangkat dari titik nol).
Wacana pengampunan
pajak bukan hal baru di Indonesia. UU No 6 Tahun 1983 hingga UU No 16 Tahun
2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dalam versi
kecilnya telah memperhatikan aspek pengampunan pajak melalui kebijakan sunset policy. Lalu, pada 2008 pada
era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kebijakan tersebut pernah
digaungkan, namun tidak menuai respons signifikan. Kini pada era pemerintahan
Jokowi-JK yang tengah berupaya mengoptimalkan sektor pajak sebagai sumber
utama penerimaan negara, wacana pengampunan pajak menjadi relevan demi
mencapai target penerimaan pajak yang telah ditetapkan.
Saat
ini diperkirakan ada sekitar Rp3.000-4.000 triliun dana masyarakat yang
terparkir di luar negeri. Dengan jumlah sebesar itu, jika separuh dari dana
tersebut bisa kembali ke Indonesia melalui kebijakan pengampunan pajak,
potensi pajak yang dapat terkumpul mencapai Rp100 triliun.
Meski
demikian, wacana kebijakan pengampunan pajak ini tak dapat dilepaskan dari
pro dan kontra di masyarakat. Di satu sisi, diharapkan dapat meningkatkan
penerimaan pajak yang signifikan serta menambah informasi mengenai daftar
kekayaan wajib pajak (WP). Tujuan penting juga adalah meningkatkan kepatuhan
WP.
Di
sisi lain, pengampunan pajak dinilai tidak adil karena tidak berlaku di dalam
negeri, selain potensi pemasukan pajak yang hilang. Kebijakan ini juga
berpotensi memunculkan penyelewengan dan moral hazard karena sarana dan
prasarana, keterbukaan akses informasi, serta pendukung lainnya belum memadai
sebagai prasyarat pemberlakuan pengampunan pajak tersebut.
Payung Hukum
Dalam
praktiknya, program pengampunan pajak telah diterapkan di sejumlah negara
dengan rata-rata menuai kesuksesan. Negara-negara tersebut antara lain Afrika
Selatan yang menerapkan tiga kali pada 1995, 1996, dan 2003. Titik beratnya
pada repatriasi modal atau penarikan kembali modal yang dilarikan ke luar
negeri dengan strategi ”pull and push ”. Efek dari kebijakan tersebut cukup
signifikan hingga menghasilkan penerimaan dari sektor perpajakan yang
mencapai 80% dalam APBN.
India
pada 1997 melakukan pengampunan pajak selama 214 hari. Tercatat dana yang
terkumpul dari program tersebut adalah USD2,5 miliar dengan jumlah wajib
pajak yang berpartisipasi sebesar 350.000orang. Selain dua negara tersebut,
tercatat Italia (2009) dan Irlandia (1998) juga telah berhasil menerapkan
program pengampunan pajak.
Berkaca
pada pengalaman beberapa negara tersebut, kita bisa memadukan dan
menyesuaikannya dengan konteks perpajakan di Indonesia. Di antara yang
terpenting, pengampunan pajak membutuhkan payung hukum sebagai dasar serta
tujuan yang jelas dalam pelaksanaannya. Payung hukum tersebut mengakomodasi
sisi-sisi normatif yang ditimbulkan karena kebijakan pengampunan menyiratkan
pengabaian atas ”kejahatan” masa lalu.
Payung
hukum juga harus mengantisipasi dan merinci kejahatan- kejahatan yang bisa
dikategorikan sebagai bagian dari pengampunan. Dalam hal ini, dana yang
bersumber aktivitas narkoba dan terorisme patut dikecualikan. Karena itu, perlu
melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan dan memiliki kewenangan,
khususnya penegak hukum (kejaksaan, kepolisian dan Komisi Pemberantasan
Korupsi).
Pengampunan
pajak sebagai langkah awal rekonsiliasi sejatinya memberikan pengampunan
penuh sehingga sumber dana pengampunan pajak lepas dari pengusutan asal-usul
serta dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Prinsipnya, kebijakan ini
mengandung arti laporkan, bayar pajaknya, lalu memperoleh pengampunan.
Keterlibatan
itulah yang sekaligus dijadikan sebagai momen ”rekonsiliasi nasional” yang
melibatkan berbagai pihak. Argumentasi ”rekonsiliasi” tidak terpisahkan
dengan keinginan bersama ”memaafkan masa lalu” demi masa depan yang lebih
baik. ”Memaafkan, namun tidak melupakan”, sebagai dasar penerapan sanksi
setelah pengampunan.
Merujuk
pada kelaziman penerapan kebijakan rekonsiliasi di Indonesia, kebijakan
pengampunan pajak memiliki landasan pemikiran yang mendalam, substantif, dan
terukur. Tentu dengan tujuan utama demi kepentingan ekonomi bangsa yang lebihbaik.
Karena itu, dukungan seluruh institusi penegakan hukum yang terangkum dalam
sebuah rekonsiliasi nasional akan menjamin kesepahaman dalam penerapan tax amnesty. Selain itu, kebijakan
rekonsiliasi juga harus disigapi dengan kesiapan DJP terkait database, sistem
administrasi, dan sistem teknologi informasi (IT) yang terintegrasi sehingga tax amnesty menjadi kebijakan yang
terpadu dan teradministrasi dengan baik.
Akhirnya,
meski DJP menargetkan program pengampunan pajak dapat berjalan akhir 2015, kita
perlu menyadari bahwa realisasi pengampunan pajak masih dalam proses panjang.
Namun, dukungan segenap pihak yang berkepentingan serta payung hukum yang
jelas akan memudahkan proses tersebut. Dengan demikian, tax amnesty menjadi terobosan penting bagi pembangunan ekonomi
nasional pada era kepemimpinan Jokowi-JK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar