Perempuan
Pantas Menjadi Pansel KPK
Titi Fitrianita ; Asisten
Dosen FISIP UB Malang
|
JAWA POS, 03 Juni 2015
DI tengah harapan
berubahnya kinerja KPK dengan mengangkat panitia seleksi (pansel) perempuan
dan kebanggaan diakuinya perempuan sebagai manusia yang memiliki potensi yang
sama dengan laki-laki, muncullah opini luar
biasa dari seorang guru besar sebuah perguruan tinggi. Mengangkat judul Kontroversi Perempuan Pansel KPK, sang
mahaguru memberikan berbagai alasan bahwa perempuan tidak layak menjadi
anggota pansel KPK.
Kontroversi dari
berbagai kalangan atas pemuatan tulisan mahaguru itu di media massa paling terkenal
di Jawa Timur pun menyeruak. Pro-kontra menguat dengan berbagai alasan dalam
menanggapi tulisan mahaguru tersebut.
Kewenangan Menjustifikasi
Mengawali pendapatnya
dengan ketidakterbukaan dalam pemilihan perempuan sebagai pansel KPK, sang mahaguru
menganggap kondisi itu merupakan penyelesaian masalah dengan masalah.
Mengapa? Pertama, laki-laki adalah mayoritas pelaku korupsi sehingga
laki-lakilah yang berhak menjadi pemberantasnya. Kedua, perempuan secara
kodrati adalah manusia yang ruang geraknya terbatas, tidak akuntabel, lemah,
serta tidak mengemban amanah surgawi sebagai pemimpin di dunia.
Yang lebih mengerikan,
perempuan dianggap sebagai perusak dunia dengan mengaitkannya dengan filosofi
Jawa: harta, takhta, dan wanita. Di bagian paling akhir yang menjadi titik
penting dalam tulisan mahaguru itu, perempuan dianggap sumber kerusakan.
Opini yang cenderung
seksis itu tentu sangat disayangkan keluar dari seorang mahaguru perguruan
tinggi. Jika yang dipertanyakan adalah keterbukaan pemerintah dalam memilih
pansel KPK yang terdiri atas perempuan, mengapa yang dipermasalahkan adalah
perempuan itu sendiri, bukan birokrasi yang tidak transparan, mengingat latar
belakang beliau sebagai guru besar tata negara?
Beliau mengakui,
pemilihan perempuan menjadi pansel KPK merupakan buah keberhasilan perjuangan
kesetaraan perempuan di Indonesia. Hal itu menunjukkan pengetahuan beliau
atas gerakan perempuan dan apa yang ingin dicapai gerakan perempuan. Artinya,
beliau paham benar cara pandang seksis yang ingin diperjuangkan agar hilang
oleh gerakan perempuan. Namun, mengapa justru dari pengetahuan tersebut
beliau mengambil posisi menentang pemosisian setara manusia lepas dari jenis
kelaminnya?
Perempuan dianggap
lemah, tidak akuntabel, dan ruang geraknya terbatas karena nilai-nilai
patriarkis yang membuat perempuan tidak memiliki hak yang sama untuk
mengembangkan potensi mereka. Legitimasi agama dan budaya mengesahkan
pengebirian potensi perempuan. Sayangnya, hal itulah yang kembali
direproduksi lewat tulisan sang mahaguru.
Isu tentang moralitas
juga diangkat dalam tulisan mahaguru tersebut. Jika laki-laki umumnya lebih
bermoral sehingga pantas menduduki posisi pansel KPK, lantas mengapa
laki-laki pula yang banyak melakukan korupsi? Bukankah itu berarti lebih
banyak laki-laki yang tidak bermoral jika dibandingkan dengan perempuan?
Bukankah laki-laki dan perempuan sebagai manusia memiliki moralitas yang sama
dan sama-sama memiliki potensi untuk melakukan kejahatan?
Mayoritas pelaku
korupsi adalah laki-laki karena laki-laki diberi lebih banyak kesempatan
untuk menduduki posisi di publik yang memungkinkan mereka bertindak pidana
korupsi. Jika perempuan diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam
menduduki posisi publik yang potensial untuk melakukan korupsi, hal yang sama
akan terjadi. Karena itu, isu mengenai moralitas laki-laki yang lebih tinggi
daripada perempuan menjadi tidak relevan.
Namun, mengapa sang
mahaguru justru menempatkan perempuan sebagai sumber kerusakan sebagai alasan
ketidakpantasan mereka menjadi pansel KPK? Bahkan, dia mengatakan, pemilihan
perempuan sebagai pansel KPK sama dengan cacat bawaan. Rupanya, perempuan
tidak lagi dihargai dan ditempatkan sebagai manusia yang pantas dihormati
oleh mahaguru.
Bisa jadi, sang
mahaguru berusaha menolak perempuan sebagai pansel KPK sebagai sebuah hal
yang kasuistis dan upaya mempertanyakan keputusan pemerintah yang tidak
transparan. Namun, upaya membangun opini untuk mengkritisi keputusan
pemerintah dalam menetapkan pansel KPK perempuan didasari legitimasi agama
dan budaya yang telah bertahun-tahun mengungkung perempuan sebagai manusia
kelas dua di dunia. Hal yang kasuistis itu akhirnya menjadi isu seksis yang
tereproduksi.
Posisi Akademisi dan Media Massa
Posisi mahaguru di
perguruan tinggi sering dianggap nabi akademis. Pengetahuan yang dihasilkan
lewat tulisannya serupa sabda yang sering membuat orang mengangguk setuju
begitu saja. Tulisan yang dibaca ribuan orang tersebut dapat membuat
pandangan seksis menguat apalagi jika di dalam tulisan tersebut disertakan
posisi penulis yang seorang mahaguru. Seharusnya perguruan tinggi dan
mahaguru menjadi kunci yang mempromosikan cara pandang bebas bias gender.
Media massa seharusnya
menyeleksi opini yang seksis tanpa memedulikan penulis opini. Upaya untuk
memberikan ruang bagi suara perempuan dalam Jawa Pos For Her akhirnya menjadi tidak berarti ketika suara
seksis diberi ruang pada halaman yang lain.
Rupanya,
media massa yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan antiseksis kepada
masyarakat luas, mengingat pengaruhnya yang luas, perlu banyak berbenah.
Dengan demikian, kesadaran gender yang berusaha menempatkan laki-laki dan
perempuan dalam posisi sebagai sesama manusia bisa meluas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar