Kamis, 04 Juni 2015

Meningkatkan Harkat Petani

Meningkatkan Harkat Petani

Ali Masykur Musa  ;   Ketua Umum Ikatan Sarjana NU (ISNU)
KORAN SINDO, 03 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Mengkhawatirkan. Itulah gambaran ketahanan pangan negara-negara di dunia, termasuk di Indonesia. Tantangan pembangunan pada masa depan ialah jumlah penduduk yang terus meningkat. Dalam laporan bertajuk ”Prospek Populasi Dunia: Revisi 2012” disebutkan penduduk dunia akan naik menjadi 8,1 miliar jiwa pada 2025 dari jumlah 7,2 miliar jiwa pada saat ini. Jumlah itu akan terus berkembang menjadi 9,6 miliar pada 2050. Prediksi sebelumnya, penduduk dunia diperkirakan ”hanya” mencapai 9,3 miliar jiwa pada 2050. Pertumbuhan penduduk terbesar akan terjadi di negara-negara miskin. Sementara itu, penduduk Indonesia pada 2015 sudah mencapai lebih dari 250 juta jiwa. Karena itu, pembangunan dan pemenuhan kebutuhan dan ketersediaan pangan menjadi syarat mutlak bagi mewujudkan pembangunan dan ketahanan nasional.

Berkaca pada hal tersebut, pertambahan penduduk secara otomatis meningkatkan pula kebutuhan pangan sekaligus menurunkan luas dan kemampuan lahan untuk menyediakan pangan. Penyebabnya, penduduk yang semakin banyak tentu akan menggunakan lahan yang semakin besar. Meter demi meter lahan yang tereduksi oleh pembangunan perumahan, perkantoran, industri, dan fasilitas lain akan mengurangi ketersediaan sumber daya lahan pertanian untuk produksi pangan. Semakin ciut lahan pertanian menyebabkan semakin kecilnya daya produksi pangan.

Berdasar Laporan Neraca Pangan Dunia, pada 2025 diperkirakan akan terjadi ketidakseimbangan (krisis) pangan dunia, jumlah permintaan atau konsumsi pangan melebihi jumlah ketersediaan atau produksi pangan. Surplus pangan dan minus pangan yang terjadi di beberapa daerah akan menyebabkan terjadi aliran pangan dari negara-negara surplus pangan di Eropa dan Amerika Utara ke arah negara-negara minus pangan di Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara, serta Amerika Latin.

Perkiraan krisis pangan tersebut menyebabkan beberapa negara perlu mengambil tindakan kebijakan untuk melindungi produksi serta menjamin ketersediaan pangan di dalam negeri. Mengantisipasi hal tersebut, Indonesia harus bersiap diri akan kemungkinan ada perebutan sumber daya alam, terutama pangan dan energi.

Kesiapan Indonesia

Indonesia punya peluang besar untuk mewujudkan swasembada pangan guna mencapai ketahanan pangan. Indonesia memiliki lahan yang luas dan subur untuk dijadikan sentra-sentra produk beras, jagung, kedelai, dan tanaman pangan lainnya. Dari letak geografis, Indonesia juga sangat diuntungkan karena terletak di wilayah tropis dan memiliki curah hujan yang cukup sehingga memungkinkan ragam tanaman bisa tumbuh dengan baik. Modal dasar ini setidaknya dapat menjadi kekuatan kita dalam meningkatkan produksi pertanian.

Selama ini Pemerintah Indonesia sangat mudah membuka gerbang impor beras. Ketidakcukupan produksi beras dalam negeri hingga faktor cuaca acapkali dijadikan alasan oleh pemerintah mengimpor beras. Kebijakan impor menjadi jalan pintas untuk mencukupi ketersediaan pangan nasional. Di balik pintu impor, jutaan jiwa petani meradang. Mereka kini cenderung meninggalkan ladang, padi, ataupun tanaman pangan yang lain tidak lagi ditanam. Para petani mencari lahan pekerjaan baru yang lebih menjanjikan karena tidak tahan dengan gempuran pangan impor.

Untuk mengurai masalah ini, mari kita lihat dari hulu ke hilir. Pemerintahan Presiden Jokowi sudah membuat kebijakan baik bahwa dalam meningkatkan swasembada pangan dimulai dari memperbaiki sarana infrastruktur pangan. Hal ini tercermin dari realokasi anggaran yang lebih berfokus pada pembangunan waduk dan irigasi, dengan menambah alokasi anggaran 2015 melalui APBN-P sebesar Rp16 triliun, serta tambahan dana alokasi khusus (DAK) bidang pertanian sebesar Rp4 triliun. Selain itu, pemerintah juga sedang memperjuangkan rencana ke depan dengan pembangunan dan perbaikan jaringan irigasi seluas 3 juta hektare sawah, serta mempercepat pembangunan 49 bendungan pada 2014-2019.

Bukan hanya itu, langkah pemerintah untuk membuka lahan baru seluas 4,6 juta hektare di Merauke, Papua juga patut direalisasikan secara serius. Pembukaan lahan baru menjadi krusial mengingat sentral produksi pangan hanya di daerah tertentu, hampir 60% dari produksi pangan Indonesia berasal dari Jawa dengan 40% di antaranya di Jawa Timur. Pemusatan produksi menimbulkan berbagai kerumitan dalam pemasaran dan distribusi pangan mengingat bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan 3000 pulau yang didiami penduduk, di tengah terbatasnya persediaan sara-na dan prasarana perhubungan.

Namun, dua kebijakan di atas saja tidaklah cukup. Peran Bulog perlu dikembalikan kepada jalurnya. Misi pertama, Bulog melindungi konsumen, utamanya warga miskin dan kaum marginal perkotaan dari melambungnya harga kebutuhan pangan pokok. Misi kedua, Bulog mampu melindungi petani dari keterpurukan harga jual komoditas pangan hasil panen mereka. Bulog harusnya tidak hanya diberi kewenangan menjaga suplai beras dan menyalurkannya kepada masyarakat miskin, tetapi juga menjaga distribusi sejumlah komoditas strategis seperti tepung, gula, minyak sayur, kedelai, dan lainnya. Selain itu, Bulog juga bisa berperan sebagai stabilisator harga kebutuhan pangan. Melalui Bulog, pemerintah mampu melakukan intervensi terhadap kebutuhan pokok dengan tidak menyerahkan harga sepenuhnya kepada mekanisme pasar.

Menjunjung Peran Petani

Gejolak harga bahan makanan pokok pada awal 2015, maraknya impor bahan pangan, dan kasus beras plastik patut dijadikan pelajaran bahwa sudah bukan saatnya lagi pemerintah lebih mementingkan ketersediaan pasokan dengan impor dan mengorbankan nasib petani sendiri. Akibatnya, potensi besar pertanian nasional justru terabaikan dan rakyat menjadi semakin bergantung pada pangan impor. Bila tidak ditangani dengan cermat, akan menimbulkan ketidakstabilan, baik sosial maupun politik. Orientasi kebijakan pangan pemerintah sangat perlu diubah antara lain dengan memberikan peran dan kesempatan lebih kepada petani lokal dalam mewujudkan kedaulatan pangan.

Selain penyediaan benih dan pupuk berkualitas serta pembinaan petani, pemerintah juga harus memperhatikan teknologi pascapanen sehingga petani tidak hanya menjual bahan mentah, tetapi juga mampu menghasilkan produk olahan yang bernilai tambah. Hal itu membutuhkan insentif dan komitmen kuat pemerintah untuk membangun industrialisasi berbasis agraris di perdesaan.
Industrialisasi ini akan menampung hasil produksi petani. Langkah ini memberikan kepastian harga bagi petani sehingga petani terdorong untuk berproduksi.

Kita juga harus mulai memikirkan sistem insentif sekaligus subsidi yang rasional bagi para pelaku pertanian pangan sehingga mereka bergairah untuk mengembangkan usahanya, berinvestasi dan berinovasi untuk meningkatkan produktivitas, dan memperoleh nilai tambah dari produk-produk pangan kita melalui pengembangan agroindustri pangan modern. Bergeraknya sektor industri pertanian diharapkan memiliki efek berantai dalam meningkatkan produksi dan produktivitas, meningkatkan indeks pertanaman, memberikan kontribusi terhadap pemantapan ketahanan pangan, dan mengurangi ketergantungan impor pangan.

Esensi kebijakan pemerintah adalah semakin mendekatkan rakyatnya kepada kesejahteraan, bukan sebaliknya. Sudah bukan saatnya lagi, potensi jumlah penduduk Indonesia besar menjadi sasaran empuk bagi produk pangan impor. Segala potensi bangsa kita bisa dijadikan dasar tekad untuk meningkatkan jumlah dan mutu produknya sehingga mampu berperan sebagai pemasok produk pangan tropis bagi pasar internasional. Sudah saatnya kita mengakhiri kecanduan pangan impor dengan mewujudkan kedaulatan petani dan kedaulatan pangan. Harkat petani harus ditingkatkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar