Piyadasi
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo
|
TEMPO.CO, 08 Juni 2015
Di pilar batu karang setinggi 15 meter itu
terpahat 14 titah yang tak mati-mati. Diukir pada abad ke-2 sebelum Masehi,
sabda itu datang dari Piyadasi, atau Devanampiyadasi, raja yang membawahkan
wilayah yang kini jadi bagian utama India.
Hampir semua barisnya mempesona, tapi yang
terasa menggugah adalah titah yang ke-7:
Baginda Devanampiyadasi berkehendak semua
agama ada di mana saja, sebab semua menghendaki pengendalian diri dan
kemurnian hati….
Kemudian diketahui sebutan lain
Devanampiyadasi adalah Asoka-nama yang kini praktis terkait dengan
"perdamaian", penanda yang mengacu kepada tauladan Buddhisme. Kita
kagum, karena titah itu dari seorang raja yang justru meyakini agamanya
sendiri.
Baginda Devanampiyadasi menghormati para
pertapa dan pemangku rumah tangga dari semua agama, dan ia menghormati mereka
dengan berbagai anugerah dan kehormatan. Tapi Baginda tak menghargai anugerah
dan kehormatan sebagaimana ia menghargai ini: ketika orang menumbuhkan apa
yang hakiki dalam agama. Orang menumbuhkannya dengan cara yang berbeda-beda,
namun semuanya berakar pada pengendalian diri dalam bicara, baik ketika
memuji-muji agama sendiri, ataupun ketika mengecam agama orang lain…. Siapa
pun yang memuji agamanya sendiri, karena kebaktiannya yang sungguh-sungguh,
dan mengecam agama lain dengan niat "Biar kuagungkan agamaku
sendiri", hanya akan melukai agama sendiri…. Orang harus mendengarkan
dan menghargai keyakinan yang dipeluk orang lain. Baginda Piyadasi ingin agar
semua orang belajar bersungguh-sungguh ajaran yang baik dalam agama lain.
Dibaca di hari-hari ini, ketika kecurigaan
antar-agama jadi kebencian, saya tak tahu bisakah keinginan raja yang baik
hati itu bertahan.
Titah Asoka pernah tenggelam selama 700 tahun,
sampai pada 1915, setelah para arkeolog menemukan sebuah pilar yang tersisa
yang menyebut namanya. Kemudian Republik India mengadopsi lambang perdamaian
Asoka yang Buddhis itu ke desain bendera nasional, meskipun mayoritas
penduduk beragama Hindu. Tentu karena maknanya melintasi batas apa pun. Dari
Tibet, dan di pengasingannya, Dalai Lama mengutarakan pesan yang sejajar
dengan titah perdamaian di pilar karang itu.
Tapi jangan-jangan tak ada efek besar yang
terjadi. Jangan-jangan pesan Piyadasi sederet klise yang mudah disingkirkan.
Di awal abad ke-21, persisnya 30 Mei yang lalu, BBC menyiarkan sebuah
reportase tentang Buddhisme yang berbeda-yang keras dan kelam.
Di sebuah kuil kecil di bagian pinggir Kota
Kolombo, Sri Lanka, kita dipertemukan dengan Galagoda Aththe Gnanasara Thero.
Di atas jubah warna merah menyala itu kita bertatapan dengan wajah yang
angker. Kita segera tahu rahib ini bukan titisan Asoka.
Asoka mengirim pesannya ke seluruh penjuru,
dengan bahasa Brahmi maupun Yunani dan Aramaik, dengan kepercayaan bahwa ada
yang akan mempersatukan manusia dalam perbedaan yang besar. Sebaliknya
Gnanasara Thero. Ia bersiteguh: Buddhisme-nya adalah nasionalisme dengan
dasar ethnis.
Ia orang Sinhala yang merasa jadi
"pribumi" Sri Lanka. Baginya, negerinya sedang dihancurkan
"orang luar"-artinya orang Tamil dan muslim.
"Kami mencoba… kembali ke negeri bangsa
Sinhala," kata Gnanasara Thero. "Kita akan siap berkelahi, sampai
itu tercapai."
Ia pun membentuk BBS, Bodu Bala Sena,
organisasi yang sejak 2012 aktif ke jalan-jalan. BBS menyerbu tempat muslim
menyembelih hewan, atau bahkan mendemo sebuah fakultas hukum karena dianggap
hasil ujian telah dipelintir untuk mengutamakan mahasiswa muslim.
Tak hanya itu. Wartawan BBC, Charles Haviland,
berkunjung ke kota kecil Aluthgama. Juni 2014, tiga orang tewas setelah Bodu
Bala Sena menyelenggarakan rapat anti-muslim di kota itu. Haviland bertemu
dengan keluarga muslim yang rumahnya habis dibakar dan tinggal di gedung
sekolah sebagai pengungsi.
Muslim adalah asing, kata Gnanasara, sambil
melupakan bahwa muslim telah berabad-abad berakar di negeri itu.
Tapi BBS juga melakukan kekerasan terhadap
orang seagama yang tak sependapat. Vijitha Thero, seorang pendeta Buddha,
diculik karena ia menentang aksi-aksi anti-minoritas. Ia dibikin tak sadar
dan disunat secara paksa. Ketika pendeta itu mengungkapkan keluhan masyarakat
muslim dalam sebuah konferensi pers, para anggota BBS menyerbu. Gnanasara
mengancamnya: "Jika kau terlibat lagi dengan perbuatan khianat yang
bodoh, kau akan diambil dan dibuang ke Sungai Mahaweli."
Dan orang pun bergidik: di sungai itu, pada
1989, puluhan mayat terapung-apung setelah 60 ribu oposan pemerintah musnah.
Tampaknya di tiap agama kita ketemu Gnanasara,
tokoh yang beriman-dengan iman sebagai dasar pembersihan dan penaklukan.
Asoka sendiri bermula sebagai penguasa yang
bengis. Seorang pengelana dari Tiongkok, Yuan Chwang, mencatat di kerajaan
India itu ada sebuah penjara yang disebut "Neraka Asoka". Tapi raja
ini punya nasib dan pekerti yang lain. Suatu hari ia menyaksikan seorang suci
yang dihukum di dalam air mendidih dan menerima nasibnya dengan tenang. Pada
waktu itu pula pasukan kerajaan membantai suku Kalinga habis-habisan.
Kekejaman itu akhirnya kesia-siaan dan penaklukan itu kekosongan-dan sejak
itu Asoka berubah.
Ia menemukan apa yang tenggelam di bawah
takhta dan nafsu berkuasa: sifat sakral dunia sehari-hari. Yang sakral hadir
ketika kita merenung, peka, dan bertanya, "berpikir bukan dalam arti
menghitung-hitung," kata Julia Kristeva, bukan dalam niat menguasai
makhluk yang lain. Dan ketika yang sakral kembali, hidup pun dengan bersahaja
disyukuri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar