Rembuk
Rakyat dan Otonomi Khusus
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 04 Juni 2015
Anda pernah
menyaksikan tarian tradisional tak lande dari suku Lun Dayak di Kalimantan
Timur (Kaltim)? Saya beruntung bisa menyaksikannya pada Rabu kemarin di awal
Juni ini.
Sekitar 100 orang
menari berjajar sambil menyanyi dan konon menyindir secara halus, tetapi
mengajak bergerak bersama. Ta’lande lande’ nalan-nalan lae’e. Tarian itu
dipentaskan dalam acara Rembuk Rakyat II yang diselenggarakan Awang Faroek
Institute (AFI) di Hotel Rembuk Rakyat dan Otonomi Khusus Bumi Senyiur,
Samarinda.
Anda tahu, hotel itu
adalah milik seorang taipan kayu di masa lalu dan properti ternama di Kaltim,
Jos Soetomo. Dia juga hadir dalam acara Rembuk Rakyat tersebut. Saya pun ikut
dalam acara itu menjadi pembicara kunci untuk mengantar makna rembuk dan
kajian akademis tentang kondisi Kaltim dewasa ini serta arahnya ke depan.
Ada yang menarik dari tarian tak lande tersebut. Dalam syair lagu yang mereka nyanyikan untuk
mengiringi tarian tersebut, di situ terselip permintaan kepada Gubernur
Kaltim Awang Faroek dan DPRD-nya agar mau memperjuangkan otonomi khusus untuk
Provinsi Kaltim.
Lalu, kepada Presiden Joko Widodo dan DPR, para penari
itu juga meminta agar menyetujui permohonan otonomi khusus tersebut. Apa
hubungan tari tak lande tersebut dengan otonomi khusus Kaltim?
Njomplang
Di negara kita saat
ini otonomi khusus baru berlaku di empat provinsi dengan alasan yang
berbeda-beda, yakniAceh, DKIJakarta, DI Yogyakarta, serta Papua dan Papua
Barat. Di Aceh, otonomi khusus diberikan lantaran perasaan rakyat di sana
terluka karena selama bertahun-tahun provinsinya menjadi Daerah Operasi
Militer sehingga mencuat tuntutan ingin memisahkan diri.
Di DKI Jakarta,
perlakuan khusus diberikan karena merupakan ibu kota negara. Lalu, di
Yogyakarta karena peran historis provinsi itu, termasuk dengan menjadi ibu
kota sementara Indonesia.
Di Papua dan Papua
Barat kondisinya nyaris sama dengan Aceh. Di sana otonomi khusus diberikan
untuk meredam menguatnya tuntutan memisahkan diri dari NKRI. Khusus untuk
Aceh, Papua, dan Papua Barat, pemberian otonomi khusus disertai dengan
alokasi dana bagi hasil migas dan pertambangan yang lebih besar ketimbang
provinsi lain.
Tiga provinsi itu
mendapat bagian dana bagi hasil migas sebesar 70%. Artinya, seluruh dana
perolehan industri minyak dan gas dari tiga provinsi tersebut, sebanyak
70%-nya dikembalikan lagi kepada provinsi-provinsi tersebut. Pemerintah pusat
hanya mendapatkan 30%-nya.
Bagaimana
dengan Kaltim? Njomplang. Dana dari
bagi hasil minyak hanya 15,5% dan dari gas 30,5%. Padahal di provinsi ini
masih banyak daerah yang terisolasi, penduduknya juga menyebar luas dan hutan
mereka sudah lama dikuras pengusaha dan pejabat rakus di masa lalu.
Adapun
luasnya, harap maklum, satu setengah kali Pulau Jawa! Ia menjadi lumbung
energi nasional, tapi susahnya minta ampun untuk mengurus listrik. Akibatnya,
listrik byar-pet. Tanpa energi,
investor besar kurang tertarik. Apalagi kalau infrastrukturnya seadanya saja.
Jadi
dengan produk domestik regional bruto (PDRB) Kaltim yang tahun 2014 mencapai
Rp 400-an triliun dengan sebagian besar diperoleh dari industri migas.
Sementara yang kembali lagi ke provinsi itu dalam bentuk dana bagi hasil
migas plus bagi hasil pajak hanya sekitar Rp5 triliun. Sebagian besar
penerimaan migas masuk ke kantong pemerintah pusat.
Kondisi
demikianlah yang membuat masyarakat Kaltim geram. Salah satu ekspresinya
adalah dalam bentuk tari tak landetadi. Bahkan sahabat saya, Awang Faroek,
sempat menangis saat menyampaikan pidatonya di hadapan DPRD dalam rangka HUT
ke-58 Provinsi Kaltim. Saya sempat tertegun ketika mendengar cerita ini.
Sebab saya tahu persis Awang Faroek adalah sosok yang tegar dan keras hati.
Bagaimana dia sampai bisa begitu emosional saat menyinggung soal otonomi
khusus dalam pidatonya itu?
Siap Dikritik
Ketika
berkunjung ke Kaltim dalam acara Rembuk Rakyat II yang pertama
diselenggarakan pada Februari 2014dansaya juga hadir, seorang mantan camat
dengan suara lantang bertanya kepada Awang Faroek. “Katanya pihak Pemprov Kaltim mau membangun pelabuhan, bandara, rel
kereta api sampai jalan tol.
Semuanya mangkrak.
Nggak jadi-jadi. Bagaimana ini,” serunya.
Iya,
infrastruktur memang menjadi persoalan serius bagi Pemprov Kaltim.
Gampangnya, Kaltim disebut sebagai lumbung energi nasional, tapi mengapa
listriknya masih byar-pet alias hidup mati? Harap dicatat, kondisi ini
terjadi di pusat kota, di Balikpapan dan Samarinda, yang menjadi salah satu
kota bisnisRembuk Rakyat dan Otonomi Khusus di Kaltim.
Di
daerah pedalaman kondisinya lebih parah lagi. Listrik hanya hidup pada jam
18.00 sampai 24.00. Setelah itu padam. Atau, jam 06.00 sampai 18.00,
selebihnya padam. Bagaimana Kaltim mau membangun kalau pasokan listriknya
seperti ini?
Keluhan
serupa juga terlontar mengenai pembangunan jalan tol yang tersendat-sendat.
Gerbangnya sudah ada, tapi pembangunan jalan tol-nya tak kunjung mulai.
Penyebabnya
bisa karena perizinan (hutan), tetapi yang utama lantaran dana yang terbatas.
Bahkan akibat keterbatasan dana, layanan pendidikan dan kesehatan untuk
masyarakat juga tidak optimal. Padahal semua orang di luar sana bilang bahwa
Kaltim adalah provinsi yang kaya. Tapi, mengapa sebagian besar masyarakatnya
masih hidup dalam kemiskinan?
Itu
sebabnya Kaltim kemudian menuntut otonomik husus. Mereka ingin memperoleh
dana bagi hasil migas yang lebih fair.
Materi-materi
itulah, antara lain, yang dibahas dalam Rembuk Rakyat II. Bagi saya, ini surprise. Pertama, dari forumnya
sendiri. Kata rembuk sudah sangat jarang kita dengar, baik di perdesaan
maupun terlebih di kota-kota besar. Padahal rembuk rakyat semacam ini adalah
wujud sesungguhnya dari demokrasi kita. Rakyat diajak bicara, bebas
menyampaikan unek-uneknya, dan terlibat langsung untuk memberikan kritik
serta masukan kepada pemerintahnya. Jadi mereka bicara dan pemerintah mendengar.
Bukan seperti selama ini, rakyat hanya diminta mendengar, memahami, dan
akhirnya menerima apa pun kebijakan pemerintahnya.
Setahu
saya, kalau kita bicara pada level pimpinan daerah, hanya dua yang secara
reguler melakukan hal ini. Selain Awang Faroek, satunya lagi adalah Suyoto,
yang juga dikenal dengan panggilan Kang Yoto, Bupati Bojonegoro.
Seminggu
sekali seusai salat Jumat, Kang Yoto menerima warga di pendapa kabupaten. Di
situ warga bebas menyampaikan aspirasinya.
Kedua,
adanya rembuk rakyat bagi saya juga menjadi potret dari kelapangan hati
seorang pemimpin. Bayangkan, dia menyediakan forum yang di situ isinya
sebagian besar adalah kritik kepada pemerintahannya. Anda tahu kan galaknya
orang muda zaman sekarang? Di Kaltim, orang tua dan pensiunannya bahkan lebih
galak lagi. Kita dengan mudah menerka hal ini dengan melihat siapa yang
diundang.
Di
Kaltim, salah satu pihak yang diundang adalah Jaringan Advokasi Tambang
(Jatam), sebuah LSM yang kerap bersuara keras terhadap tata kelola
pertambangan di negara kita. Sudah terbayang di benak saya betapa kerasnya
kritik Jatam. Tapi, kalau mau maju, kita harus siap dikritik bukan?
Andai
saja banyak pemimpin kita, termasuk di daerah, mau melakukan ini, barangkali
sumbatan-sumbatan komunikasi tak perlu terjadi dan tak perlu ada demo-demo
yang bisa memicu terjadinya kekerasan. Sejatinya rakyat hanya ingin didengar
dan setiap kita termasuk para pemimpin tentu mempunyai telinga.
Bukan
begitu?
Sebagai
pemungkas, saya kutip ucapan dari mantan Presiden Amerika Serikat George W
Bush. Katanya begini, “Leadership to me
means duty, honor, country. It means character, and it means listening from
time to time.” Di situ saya
melihat bagaimana Awang Faroek merangkai sedepa demi sedepa, lewat tiga pusat
ekonomi: Balikpapan (pengolahan batubara), Bontang (migas), dan Maloy
(pengolahan sawit). Dari atas kursi rodanya, saya melihat perjuangan panjang
telah ia urai. Kini tinggal memasuki tahap finishing. Sebab apa yang ia bangun di masa lalu kini justru
menjadi visi nasional pemerintahan Jokowi-JK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar