Jumat, 05 Juni 2015

Bung Karno, Pancasila, dan Zaman Kita

Bung Karno, Pancasila, dan Zaman Kita

M Alfan Alfian  ;   Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
KORAN SINDO, 04 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Tanggal 1 Juni pada masa kini dikenang sebagai hari ketika konsep tentang Pancasila lahir. Hal ini merujuk pada Pidato Bung Karno (BK) pada tanggal yang sama tahun 1945. Hal itu kemudian menjadi embrio Pancasila yang kita kenal dewasa ini. Dalam konteks inilah, Pancasila tidak dapat dilepaskan dari dinamika pemikiran politik BK.

Pemikiran politik BK itu rupa-rupa. Apabila kita baca ulang kumpulan tulisannya di buku Di Bawah Bendera Revolusi, dialektika pemikiran BK tak lepas dari pergumulan ide-ide besar dunia pada masa itu. Tetapi, dalam konteks Indonesia sebagai bangsa yang berjuang untuk lepas dari penjajahan atau kolonialisme dan imperialisme, BK pun menggariskan sikap antineokolonialisme dan neo-imperialisme. Melalui konsep Trisakti yakni berdaulat dalam politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, BK menegaskan Indonesia harus mandiri. Dalam konteks inilah, kemandirian itu terkait erat dengan Pancasila.

Pancasila merupakan butir-butir penting yang digali dari kearifan khasanah bangsa. Dari situlah diharapkan filsafat Indonesia sebagai sesuatu yang mendasari kemandirian bangsa terbentuk. Dari Pancasilalah lantas muncul gambaran tentang ideal manusia Indonesia. Ia ialah yang menjiwai setiap butir Pancasila, sebagai manusia yang berketuhanan, berperikemanusiaan, mengedepankan persatuan, bermusyawarah dan demokrasi, dan yang senantiasa berikhtiar untuk mewujudkan keadilan sosial. Itulah karakter-karakter dasar manusia Indonesia apabila dikaitkan dengan konteks ”revolusi mental” yang belakangan ini populer.

Karakter demikian memang segera berjumpa dengan paradoks. Hal demikian dapat disimak dari otokritik Mochtar Lubis pada akhir 1970-an. Kita menjumpai ihwal negatif dalam praktiknya, ketika manusia Indonesia justru banyak yang sekadar mempertegas sikap oportunis, korup, malas, tidak produktif, tidak mandiri, hingga sikap yang suka mengedepankan egoisme, bahkan komunalisme. Hal itu menandakan bahwa masalah mentalitas manusia Indonesia memang masih belum tuntas. Itulah yang ingin diperbaiki dalam ”revolusi mental” yang diselaraskan dengan apa yang oleh BK disebut ”character and nation building”.

Semua itu memerlukan proses, di mana ia pun dipengaruhi oleh kebijakan para pemimpin, setidaknya kalanganelite bangsa. Para pemimpin pada masa kini punya peluang untuk mengembangkan model kepemimpinan yang merupakan resultan dari ragam model kepemimpinan pendiri bangsa ditambah dengan ragam khasanah kepemimpinan bangsa pascakemerdekaan. Kearifan pemimpin bangsa masa lalu penting untuk direaktualisasikan pada zaman kita. Memang, mereka pernah bertentangan secara ideologis pada masanya, tetapi di luar itu kita bisa menangkap perkembangan mentalitas kepemimpinan mereka pada masa lalu.

Tapi, Pancasila tidak hanya terkait ikhtiar untuk memberi gambaran manusia Indonesia yang ideal. Pancasila juga terkait sistem ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan. Pancasila juga dihadapkan pada pusaran gagasan-gagasan besar dunia. Maka, dalam hal ini Pancasila merupakan hal yang lazim dikaitkan dengan eksistensi dan survivalitas bangsa Indonesia itu sendiri. Kesanggupan kita sebagai bangsa berikut tantangan yang dihadapinya di tengah-tengah perkembangan global sangat mudah dikaitkan dengan Pancasila. Maksudnya, apabila Pancasila dijadikan dasar untuk menilai segala aspek kebijakan bangsa, ia pun memberi ruang yang luas bagi kita. Persoalannya, justru hal tersebut jarang dilakukan. Rasionalitas pengelolaan bangsa seringkali tidak dikaitkan dengan Pancasila, padahal Pancasila juga memberikan dasar-dasar rasionalitas pengelolaan bangsa.

Apabila dikaitkan dengan konteks kemandirian, anti neokolonialisme dan anti neoimperialisme sebagaimana yang disampaikan BK, Pancasila pun bisa menjadi alat ukur, sejauh mana bangsa ini bergerak meluncur. Semakin mandirikah? Atau, sebaliknya, tanpa sadar telah dan tengah berada dalam kubangan bentuk-bentuk kolonialisme dan imperialisme baru yang mengerdilkan kepentingan nasional? Apakah kita sebagai bangsa sudah benar-benar merdeka, ataukah sesungguhnya masih terjajah?

Maka, refleksi tentang keterjajahan pada masa merdeka, bahkan masa pembangunan hingga zaman kita, bagaimanapun telah mengalami perluasan. Ia membentang dari level individu, masyarakat, dan bangsa. Penjajahnya, bukan semata-mata orang asing yang menghisap kekayaan ekonomi Nusantara, tetapi juga bisa dari diri sendiri dan orang kita sendiri, atau meminjam kata Buya Ahmad Syafii Maarif, ”Londo ireng”. Lagi-lagi, ini kembali ke masalah mentalitas. Ada yang berpendapat bahwa sebaik apa pun sistemnya, manakala mentalitasnya buruk dan serakah, sistem akan rusak dan semua akan terpuruk. Solusinya adalah sistem harus diperbaiki. Namun, bukankah perbaikan sistem tidak dapat dilakukan manakala yang mendominasi ialah manusia-manusia yang bermasalah dengan mentalitasnya?

Gambaran peradaban Indonesia bisa direkonstruksi dari Pancasila. Gambaran itu sudah merupakan gabungan dari rekonstruksi manusia Indonesia pun pilihan-pilihan kebijakan yang memungkinkan bangsa ini eksis dan bertahan. Bergerak sebagai bangsa modern, pada masa depan gagasan-gagasan penting Pancasila semakin kompleks dihadapkan pada kompleksitas tantangan untuk dapat merealitas. Tantangan utamanya terkait dengan ihwal disiplin berbangsa. Bangsa berawal dari konsep dasar tentang hidup bersatu dalam perbedaan. Karena itu, unsur terpokoknya adalah toleransi dalam keharmonisan.

Masalah persatuan bangsa dengan demikian yang utama. BK termasuk tokoh yang sangat menekankan hal ini kendati persatuan saja tidak cukup sebagai modal membangun bangsa. Yang menjadi andalan tetaplah sumber daya manusia yang berpihak kepada kepentingan nasional. Mereka harus sinergis dalam mempertahankan proyek kebangsaan kita yang masih penuh dengan keterbatasan ini. Untuk menjadi bangsa yang mandiri sebagaimana dicita-citakan BK dan sudah menjadi cita-cita bersama kita, kita harus terus mengumpulkan energi dan memanfaatkannya dalam arena kontestasi antarbangsa di zaman terbuka dewasa ini. Sehingga, konteks nasionalisme zaman kita sudah harus beranjak dari urusanurusan persatuan nasional, ke persaingan antarbangsa, di mana Indonesia mampu menunjukkan kekuatan daya saingnya yang tinggi.

Daya saing bangsa perlu terus ditingkatkan, justru diawali dengan pembenahan-pembenahan ke dalam, baik dari segi mentalitas maupun sistem kita dalam berbangsa. Ini merupakan sesuatu yang lazim di level retorika, dan harus diakui susah pada praktiknya. Namun, sekali lagi, pemimpin-pemimpin Indonesia di setiap tingkatan punya peluang untuk mengubah keadaan, menguatkan budaya demokrasi, produktivitas di tengah kebersamaan, dan kegotong-royongan nasional yang baik.

Pada zaman kita pemikiran-pemikiran BK tentang kemandirian bangsa, pun ”character and nation building”, masih sangat relevan. Semua itu terkait Pancasila, yang tak saja diposisikan sebagai perekat persatuan nasional, tetapi juga sumber inspirasi kemajuan bangsa. Pancasila pada zaman kita perlu terus disosialisasikan, setidaknya sebagai suatu pijakan etika dasar manusia Indonesia dalam berbangsa. Dengan demikian, manusia Indonesia, meminjam Taufiq Ismail, akan malu manakala perbuatannya tidak mencerminkan etika Pancasila. Pun para pengambil kebijakan akan merasa berdosa manakala mengabaikan pertimbangan nilainilai dasar Pancasila. WallahuaWallahualam.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar