Merayakan
70 Tahun Pancasila
Franz Magnis-Suseno ; Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara di Jakarta
|
KOMPAS, 05 Juni 2015
Pidato Soekarno muda pada tanggal 1 Juni 1945 di depan Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah salah satu pidato
politik paling penting di abad ke-20. Bukan hanya karena isinya cemerlang.
Pidato itu meletakkan dasar persatuan bagi Indonesia yang meski dengan segala
macam pengalaman gelap dan kegagalan, merupakan salah satu kisah keberhasilan
(success story) terbesar di antara
negara-negara dunia dalam 70 tahun terakhir. Bayangkan saja akibat global
andai kata negara terbesar kelima di dunia ini kacau betul. Namun,
Indonesia-masih-mantap. Karena itu, sudah sepatutnya bahwa pidato historis
itu diingatkan kembali dalam sekian renungan.
Tulisan ini mau mengangkat dua unsur hakiki di dalamnya:
kebangsaan Indonesia dan Pancasila itu sendiri.
Kebangsaan
Dalam pidatonya, Soekarno mengingatkan sesuatu yang merupakan
kunci untuk mengerti mengapa Indonesia masih berdiri kokoh. Yaitu bahwa
kebangsaan Indonesia berwujud perasaan kebersamaan yang lahir dari pengalaman
sejarah bersama. Kebangsaan Indonesia bukan kebangsaan alami, seperti
kebangsaan Korea atau Jerman, yang berdasarkan kesatuan etnik dan bahasa.
Kebangsaan alami semacam itu memang kuat, tetapi rawan menjadi syovinistik
dan agresif.
Kebangsaan Indonesia, sebaliknya, merupakan kebangsaan etis:
Artinya, perasaan kebersamaan berdasarkan cita-cita etis luhur yang dimiliki
bersama. Pengalaman bersama akan ketertindasan dan keterhinaan karena keadaan
terjajah melahirkan solidaritas bangsa melampaui perbedaan suku, etnik, dan
agama. Kesadaran kebersamaan itu semakin
menguat dalam perjuangan bersama untuk mencapai kemerdekaan dan
keadilan bagi seluruh rakyat.
Namun, kebangsaan Indonesia ada segi yang khas. Di tidak sedikit
negara bekas jajahan, rasa kebangsaan perlu dipompa dari atas ke dalam
masyarakat oleh elite politik, ya elite yang menerima kekuasaan dari
penjajah, sesudah negara itu menerima kemerdekaan. Tak jarang lantas inti
kebangsaan itu adalah, sebenarnya, nafsu dominasi suatu mayoritas. Dengan
akibat bahwa minoritas-minoritas sulit beridentifikasi dengannya. Di sekian
banyak negara, situasi ini bahkan melahirkan perang saudara berkelanjutan.
Namun, di Indonesia kebangsaan sudah nyata 17 tahun sebelum
kelahiran negara. Sumpah Pemuda 1928 membuktikan bahwa perasaan "kami
ini bangsa Indonesia" sudah betul-betul merasuk ke hati rakyat
Indonesia.
Kekuatan rasa kebangsaan itu membuktikan diri tahun 1998.
Omongan sesudah runtuhnya Orde Baru tentang bahaya disintegrasi-mirip Uni
Soviet dan Yugoslavia-tidak pernah punya dasar nyata (dengan kekecualian dua
provinsi di ujung barat dan timur Indonesia yang memang sudah lama membawa
masalah). Memang, kita kemudian mengalami banyak (terlalu banyak!) konflik,
tetapi konflik-konflik itu biasanya dengan tetangga dan bukan dengan
Indonesia.
Kekuatan kesadaran kebangsaan kelihatan dari kenyataan bahwa
mainstream agama-agama di Indonesia kokoh nasionalis. Berhadapan dengan
radikalisme agama yang meremehkan kebangsaan dan semakin juga segala rasa
kemanusiaan, kenyataan itu merupakan modal sosial amat penting bagi masa
depan Indonesia. Lihat saja Muhammadiyah, Sarekat Islam, Nahdlatul Ulama,
tetapi juga misalnya Perkumpulan Katolik, mereka semua terbentuk dalam
dinamika kebangkitan nasional. Mereka dengan sendirinya sekaligus agamis dan
Indonesia.
Pancasila
Akan tetapi, rasa kebangsaan hanya akan dapat dipertahankan
kalau satu syarat dipenuhi. Yaitu bahwa kita bersedia saling menerima dan
saling mengakui dalam kekhasan kita masing-masing.
Indonesia hanya dapat tetap kuat apabila saudara sebangsa yang
Muslim tidak perlu kurang Muslim, yang Katolik tidak perlu kurang Katolik,
yang Toraja tidak kurang Toraja, dan penganut Kejawen tidak perlu
menyembunyikan penghayatannya karena mereka semua bangsa Indonesia.
Kesediaan untuk saling menerima dalam perbedaan itulah merupakan
komitmen inti bangsa Indonesia dalam Pancasila. Di sini izinkan sebuah
catatan. "Pemerasan Pancasila" oleh Soekarno menjadi
"Ekasila", yaitu "gotong royong", disalahpahami
seakan-akan "gotong royong" sudah cukup, lalu tak perlu selalu
menyebut lima sila.
Kiranya yang dimaksud Soekarno adalah yang kebalikan:
"Gotong royong" atau kebersamaan kita sebagai bangsa Indonesia bisa
justru menjadi nyata karena kita memberikan komitmen kepada lima sila
Pancasila.
Akan tetapi, Pancasila sekarang dalam bahaya.
Kalau Ketuhanan Yang Maha Esa dikebiri berlaku hanya bagi
"enam agama yang diakui"-Pancasila tidak mengenal "agama yang
diakui"-dan yang berkeyakinan lain oleh negara dibiarkan diganggu,
diuber-uber, dan bahkan dibunuh, kalau kampanye politik memanfaatkan
perbedaan antara "penduduk asli" dan "pendatang", kalau
orang karena beribadat berbeda dicap "ajaran sesat", roh Pancasila
dilanggar keras dan kesatuan Indonesia terancam.
Ketuhanan Yang Maha Esa menuntut agar kita menghormati keyakinan
religius segenap tumpah darah Indonesia, entah kita sendiri setuju dengan
keyakinan itu atau tidak. Dalam hal keyakinan berhadapan dengan Yang Mutlak
tak ada mayoritas-minoritas. Dan, negara wajib melindungi semua.
Aktualitas Pancasila
Pertimbangan ini sudah memperlihatkan bahwa Pancasila hanya akan
menjalankan fungsinya kalau kita tidak memperlakukannya sebagai pusaka kuno
yang disimpan dalam lemari. Aktualitas Pancasila tampak begitu kita
menghadapkannya terhadap tantangan-tantangan yang dialami bangsa Indonesia
sekarang. Kita harus konsisten.
Kita bicara Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan yang adil
dan beradab, tetapi kita dikelilingi oleh kekerasan, ancaman, kebrutalan,
intoleransi, oleh kesombongan yang mau memaksakan kepada saudaranya bagaimana
ia harus berketuhanan dan bagaimana tidak. Tekad untuk selalu membawa diri
secara beradab mesti merasuk ke dalam keyakinan, hati, dan perasaan kita.
Kita sudah memasukkan hak-hak asasi manusia ke dalam
undang-undang dasar supaya harkat kemanusiaan kita semua terlindung dalam
hidup bersama kita, tetapi kita masih mengizinkan hak-hak kemanusiaan paling
dasar dilanggar.
Sila tengah, Persatuan Indonesia, semakin terancam oleh
ekstremisme keagamaan di satu pihak dan di lain pihak oleh hedonisme
konsumeristik yang mendesak ke samping solidaritas dan rasa keadilan serta
melupakan komitmen pada keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita telah membangun demokrasi sesudah 39 tahun pemerintahan
otoriter, tetapi sekarang kelas politik yang menguasainya semakin dipersepsi
sebagai sebuah elite feodal yang, seperti dulu, melayani diri dari milik
bangsa dan hasil keringat rakyat.
Pancasila sebagaimana dicetuskan 70 tahun lalu oleh Soekarno
adalah suatu masterpiece, tetapi masterpiece itu hanya dapat mempersatukan
bangsa Indonesia kalau kita memberi komitmen tanpa ragu kepada
tuntutan-tuntutannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar