Budaya Akademik
Mohammad Abduhzen ;
Direktur Eksekutif Institute for Education
Reform Universitas Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS, 20 Juni 2015
Salah satu kerisauan
pengelola pendidikan tinggi-khususnya (sekarang) Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi-adalah buruknya kinerja penelitian yang
ditunjukkan oleh rendahnya jumlah publikasi dan kutipan ilmiah di jurnal
internasional.
Kenyataan ini biasanya
dibandingkan dengan Malaysia yang jumlah dosen/profesor dan perguruan
tingginya lebih sedikit, tetapi jumlah karya ilmiahnya jauh melampaui
kita. Berbagai upaya telah dilakukan
kementerian terkait untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas karya ilmiah,
di antaranya mengharuskan tulisan di jurnal nasional dan internasional
sebagai persyaratan kenaikan jenjang akademik dan pangkat bagi dosen dan
guru. Mengharuskan mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 memublikasikan karya tulis
dalam jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Bahkan, bermacam program dan
dana penelitian ditawarkan sebagai perangsang. Sayangnya, beragam upaya itu
hingga sejauh ini belum menampakkan
hasil berarti karena orientasi kebijakan lebih mengutamakan produk daripada
proses akademik. Walhasil, aktivitas penelitian kebanyakan bersifat proforma
alias basa-basi, bahkan tipu-tipu.
Sesuatu yang disebut
karya ilmiah seyogianya lahir dari proses ilmiah, yaitu serangkaian kegiatan
telaah dan percobaan mengenali, memahami, dan menemukan fenomena alami dan
manusiawi sebagaimana adanya. Istilah ilmiah merujuk kepada kebenaran logis
dan atau empiris: bersesuaian dengan
kaidah akal budi dan didasarkan pada serta didukung fakta dan pengalaman.
Bagaimana mungkin produk ilmiah akan meningkat jika iklim akademik yang
menjadi basis kegairahan berproses ilmiah di kebanyakan kampus diabaikan dan,
karenanya, makin pudar.
Kampus kita dewasa ini
lebih berbudaya politik dan komersial ketimbang berbudaya akademik. Pemilihan pemimpin perguruan tinggi negeri,
sebagai contoh, sudah biasa diikuti pembentukan tim sukses, disusul
kasak-kusuk (lobi?) di kementerian karena menteri memiliki 35 persen hak
suara dari total pemilih. Kemudian jajaran di bawahnya kelak disusun
berdasarkan kepada intensitas keterlibatan
dalam tim sukses, bukan didasarkan kepada kapabilitas. Maka, di kampus
tak jarang terbentuk klik-klikan yang
lebih suka memproduksi intrik
daripada karya ilmiah.
Selain itu, kampus
yang oleh undang-undang diberi otonomi bidang akademik dan non-akademik lebih
tertarik mengembangkan kemandirian non-akademik, terutama dalam mencari sumber
pemasukan, seperti bermacam jalur penerimaan mahasiswa, model pembayaran uang
kuliah, membuka program studi dan atau kegiatan yang laris manis. Pengelola
kampus akhirnya lebih fokus memikirkan strategi mencari dana daripada
strategi menghidupkan budaya ilmiah.
Kenyataan ini
diperparah sistem birokrasi di kementerian pengelola perguruan tinggi (PT)
yang rumit dan memerlukan duit dalam pengurusan berbagai hal, terlebih bagi
PT swasta. Mentalitas birokrat dan
korporat lalu menjalari berbagai aktivitas kampus, termasuk urusan akademik
dan pendidikan. Maka, jangankan kasmaran dengan kegiatan ilmiah, warga kampus
malah sering kali berperilaku irasional dan tak produktif baik dalam
interaksi pembelajaran maupun dalam pergaulan sehari-hari.
Dosen batu akik
Para pemimpin
perguruan tinggi, dosen, bahkan guru besar kebanyakan masih berbudaya feodal dan jarang open minded.
Padahal, keterbukaan dan keingintahuan adalah ciri utama budaya akademik. Tak jarang kita menyaksikan
civitasacademica mengisi berjam-jam waktu luangnya dengan beragam kegiatan
yang tak terkait pengembangan diri sebagai intelektual, seperti main gaple,
game, dan (belakangan) menggosok-gosok batu akik.
Rendahnya publikasi
ilmiah hanyalah simtom lemahnya budaya akademik-pemikiran, spirit, dan tradisi-untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi. Keunggulan akademik
bergantung kepada budaya akademik. Oleh sebab itu, menurut Daoed Joesoef
(Suara Pembaruan, 2/3/2012) masalah
pokok yang harus segera ditangani untuk mengatasinya adalah membina kampus
menjadi komunitas ilmiah.
Budaya akademik dapat
diwujudkan melalui pola perilaku, peraturan, dan fasilitas material pada
perguruan tinggi (Xi Shen, 2012). Subyek budaya akademik adalah orang-orang
yang mendasarkan perilakunya kepada nilai-nilai ilmu pengetahuan yang terbentuk dari
kecintaan dan kebiasaan pada (pencarian) kebenaran. Mereka penggerak utama pembangunan budaya
akademik melalui berbagai kegiatan yang mereka lakukan. Skala dan tingkat penelitian, kuantitas,
dan kualitas prestasi akademik, sangat bergantung kepada kemampuan
mereka. Tanpa orang-orang ini
kiranya tidak mungkin budaya akademik
dapat ditumbuhkan. Maka, memperbesar jumlah dan peran kelompok ini merupakan
langkah penting pertama dalam upaya membangun budaya akademik.
Pembentukan budaya
akademik juga ditentukan oleh dasar dan orientasi kebijakan (terhadap) PT.
Ide-ide yang dijalankan, peraturan, dan filosofi administrasi, manajemen,
serta hubungan interpersonal berpengaruh besar kepada pembentukan pandangan,
spirit, etika, dan atmosfer lingkungan
akademik. Karena itu, setiap keputusan yang diambil harus senantiasa melekat kepada fungsi utama pendidikan
tinggi yang, menurut Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi (Pasal 4), adalah mengembangkan kemampuan akal budi dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi melalui tridarma.
Tridarma PT-pendidikan
dan pengajaran; penelitian; dan pengabdian masyarakat-adalah bentuk
pengamalan fungsi dasar perguruan tinggi.
Pendidikan dan pengajaran di PT, selain mentransmisikan pengetahuan dan informasi
ilmiah, juga membentuk pandangan dan sikap ilmiah. Fungsi ini sangat penting
mengingat alumni PT lebih berpeluang untuk menjadi pemimpin. Para pemimpin
dan lulusan PT diharapkan mendarmabaktikan dirinya kepada masyarakat dengan
melakukan pencerahan dan memecahkan berbagai masalah berdasarkan pengalaman
dan prinsip ilmiah yang diperolehnya sesuai dengan moto, "Ilmu sebagai
alat pengabdian".
Pengabdian masyarakat
utamanya bukanlah kerja bakti sekelompok
mahasiswa dan atau dosen turun mengadvokasi dan melakukan hal
remeh-temeh di tengah masyarakat. Darma pengabdian sejatinya adalah bagaimana
PT, langsung atau tak langsung, menjalankan fungsi saintifik di antaranya
mengeksplanasi, memprediksi, serta
mendorong masyarakat agar terhindar
dari petaka/kerugian atau memanfaatkan peluang dari perkembangan perilaku
alami dan manusiawi. PT dengan pusat pengkajian dan penelitiannya seharusnya
menjadi mitra tak terpisahkan bagi pemerintah dan industri.
Kegiatan dasar
Penelitian ilmiah
adalah kegiatan dasar PT, yang selain bertujuan menguji, mengembangkan, dan
menghasilkan teori, juga sebagai pusat habituasi akademik melalui
keterlibatan dalam ilmu sebagai suatu proses. Secara umum karena berbagai alasan, gairah penelitian
PT kita sangat lemah sehingga aura akademik redup dan karya ilmiah rendah.
Meskipun demikian, pada 4.265 PT kita terdapat bagian yang tradisi penelitian
dan budaya ilmiahnya bagus sehingga dapat dijadikan basis pengembangan.
Penggabungan pengelolaan
PT dengan kementerian riset dan teknologi seyogianya bukan sekadar
menempelkan bagian terpisah, tetapi membentuk entitas baru yang melahirkan strategi besar riset
nasional yang berpusat kepada PT sehingga selain berbagai masalah
teratasi-utamanya material dan finansial -juga penelitian PT mengalami
pembaruan. Selanjutnya pembentukan budaya akademik menuntut kondisi material
dan finansial tertentu. Bagi penelitian, kondisi kedua hal itu adalah seperti
akar pada pohon dan air pada ikan. Bagian penelitian, di antaranya,
memerlukan ruang khusus (sering dikeluhkan para guru besar dan peneliti
senior tak memiliki ruang), buku-buku, data informasi, instrumen
eksperimental, sistem jaringan, dan alokasi dana yang memadai. Dengan dana
penelitian memadai, instrumen dan peralatan canggih, sumber daya andal, data
yang dibutuhkan dapat diejawantahkan.
Tanpa dukungan material dan finansial tertentu, tak ada budaya
akademik yang dapat dimungkinkan dan tak ada prestasi akademik yang patut
diharapkan.
Akhirulkalam, untuk
memulai "gerakan" membangun budaya akademik, diperlukan prakondisi
utama: komitmen pemerintah dan pemimpin PT.
Kemudian di kalangan civitas
academica lainnya komitmen itu dapat dimunculkan melalui pengondisian
motif dan insentif. Pemerintah telah
memberikan insentif, seperti tunjangan profesi, tunjangan kehormatan, dan
lain-lain. Namun, pengelolaan motif yang berpangkal kepada trust kurang
dilakukan dan masih menjadi tantangan di tengah situasi pemerintah dan
masyarakat kita yang kian materialistik dan terdemoralisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar