Yang Tua yang Telantar?
Dinna Wisnu ; Pengamat
Hubungan Internasional;
Co-founder
& Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 17 Juni 2015
Indonesia saat ini
masih berbangga sebagai negara dengan angkatan kerja muda dalam jumlah
relatif besar. Hal ini dianggap sebagai alasan mengapa Indonesia perlu
bergegas meningkatkan produktivitas pekerja agar jangan sampai Indonesia
masuk ke dalam ”jebakan kelas menengah” (middle
income trap). Kondisi dengan, pertama-tama, tingkat pertumbuhan ekonomi
sangat dinamis, tetapi kemudian melambat dengan cepat pula sehingga gagal
mengantar negara ke tingkat penghasilan tinggi.
Sudut pandang itu
cukup dominan dianut para pengambil keputusan era Presiden Joko Widodo.
Presiden menekankan perlunya perbaikan iklim usaha dan daya saing. Dalam
kampanye dia pernah mengusung ide perbaikan sistem teknologi dalam
pengelolaan bisnis dan investasi. Nawacita yang digaungkannya pun mengutip
perlunya penegakan hukum yang bebas dari korupsi dan tepercaya.
Lagi-lagi demi
mendukung perbaikan perekonomian di Indonesia sehingga negeri ini lebih
berdaulat secara ekonomi. Bahkan ada istilah revolusi karakter bangsa yang
antara lain juga diterjemahkan sebagai langkah yang diperlukan untuk keluar
dari ”jerat” ketidakberdayaan di tengah potensi ekonomi yang sesungguhnya
besar.
Sayangnya ada satu
sisi penting dari republik ini yang luput dipertimbangkan jika hanya itu
sudut pandang kita dalam melihat angkatan kerja di Indonesia.
Badan Pusat Statistik
(BPS) dalam sensus 2010 mengungkap bahwa jumlah penduduk usia 60 tahun ke
atas yang kini 18,1 juta jiwa akan meningkat hampir 2 kali lipat menjadi 33,7
juta jiwa pada tahun 2025 dan di tahun 2035 menjadi 48,2 juta. Ratarata usia
penduduk pun akan bergeser dari waktu itu 27,2 tahun menjadi 33,7 tahun.
Temuan ini konsisten dengan masalah terkini dari TNP2K di kantor Presiden di
mana per 2013 diperkirakan sudah terdapat 20 juta jiwa penduduk yang berusia
lebih dari 60 tahun. Sejumlah provinsi yang sukses menekan angka kelahiran
(dan kemiskinan) telah menjadi provinsi yang menua dengan cepat juga. Artinya
ruang gerak kita untuk sekadar fokus pada mengejar pertumbuhan ekonomi telah
makin sempit. Dalam kurun kurang dari 10 tahun, Indonesia akan masuk dalam
kategori negara yang menua.
Dalam negara yang
menua, sejumlah hal patut menjadi perhatian. Penuaan penduduk erat kaitannya
dengan morbiditas (derajat sakit), meningkatnya kebutuhan akan layanan
kesehatan, turunnya produktivitas dalam pekerjaan, dan akhirnya perlambatan dalam
tingkat pertumbuhan ekonomi makro.
Kualitas hidup seorang
lansia ditentukan oleh kemampuannya melalui masa-masa sulit tersebut dengan
tingkat penghasilan yang menurun. Menurut studi Evi Arifin (2012), sejumlah
kabupaten/kota di Pulau Jawa termasuk yang cepat menua, antara lain Gunung
Kidul, Wonogiri, Kulon Progo, Klaten hingga Sragen. Daerah-daerah tersebut
lebih banyak yang tergolong miskin. Daerah yang tergolong sangat muda
penduduknya contohnya Batam, Bontang, Murung Raya, Mamuju Utara dan Kutai Timur;
daerah yang justru belum cukup dikelola.
Artinya, kita tidak
bisa lagi berpikir sekadar sampai pemilu 2019. Sepuluh tahun adalah waktu
yang sangat singkat. Kita perlu mengantisipasi perubahan pola sosial dan
ekonomi dalam masyarakat, termasuk juga karena para mitra kerja sama ekonomi
dan investasi akan mempertimbangkan faktor penuaan tadi.
Saat ini pemerintah
belum cukup sigap merespons tren penuaan tersebut. Sampai saat ini perhatian
pemerintah pada kelompok usia tua terbatas pada para pensiunan pegawai negeri
sipil. Per 4 Juni 2015, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor
33/2015 tentang Penetapan Pensiun Pokok Pensiunan PNS dan Janda/Dudanya. PP
tersebut mengatur angka nominal terendah yang diterima seorang pensiunan
(yakni Rp1.051.800 bagi pensiun janda/duda PNS, Rp1.486.500 bagi pensiun
janda/ duda PNS yang telah mangkat, dan Rp297.300 bagi orang tua PNS yang
telah mangkat). Selain itu ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 38/2015
tentang Pemberian Gaji/Pensiun/ Tunjangan Bulan Ke-13 bagi pegawai negeri
sipil, anggota TNI, Polri, pejabat negara dan penerima pensiun/tunjangan.
Sudut pandang
kebijakan di atas masih sebatas memberi peningkatan nominal dan bukannya
memberi kecukupan bagi kebutuhan seseorang ketika sudah menua. Kualitas hidup
lansia yang tidak bisa lagi dianggap produktif di sektor publik maupun swasta
belum menjadi pertimbangan pengambilan kebijakan. Fokus perhatian masih pada
perbaikan taraf hidup hari ini. Tidak jelas perhitungannya untuk pengadaan
pajak yang mendukung keberlanjutan program. Lebih penting lagi, kedua
kebijakan tersebut hanya menyentuh para pegawai dan pensiunan sektor publik.
Padahal mayoritas penduduk Indonesia justru hidup dari sektor swasta, bahkan
lebih dari 80% berwirausaha, bekerja tanpa kontrak kerja, dan tanpa
penghasilan bulanan yang tetap.
Sebagai negara
demokrasi, Indonesia patut menyadari sejumlah standar internasional tentang
perlunya menjaga kelayakan hidup warga negara.
Kelayakan hidup
tersebut menyangkut perhatian pada perbaikan akses kesehatan, fasilitasi bagi
lansia yang sakit atau tanpa keluarga, serta penyediaan fasilitas-fasilitas
publik yang ramah lansia. Sesungguhnya itulah yang dipahami secara
internasional sebagai bagian dari prinsip kewarganegaraan (citizenship). Segala kegiatan bernegara
dan layanan publik patut mengarah pada kebersamaan sosial (social inclusion) di mana tak satu pun
orang, termasuk lansia, telantar.
Saat ini sebenarnya
sudah ada kerangka program nasional untuk mengembangkan jaring pengaman
sosial bagi pensiunan di sektor swasta, yakni yang dikelola oleh BPJS
Ketenagakerjaan (badan layanan umum yang merupakan transformasi dari BUMN PT
Jamsostek). Program ini diberi payung UU 40/2004 dan UU 24/2011. Per 1 Juli
2015 sebenarnya program nasional tersebut diwajibkan secara hukum untuk
diterapkan secara nasional. Sayangnya, sampai hari ini belum ada peraturan
pemerintah tentang penerapan kedua UU tersebut, terutama yang terkait soal
pensiun.
Pada 5 Juni 2015
sempat beredar informasi bahwa Presiden sedang dalam proses memutuskan tarif
premi pensiun; paling lambat 8 Juni akan keluar peraturan pemerintahnya.
Sampai sekarang aturan itu belum keluar juga.
Yang memprihatinkan
adalah kebimbangan ini disinyalir lagi-lagi karena soal sudut pandang
pemerintah yang belum utuh melihat tren nasional ke arah penuaan tadi. Sudut pandang yang dominan adalah
pertimbangan dari para pengusaha yang ingin memperkecil iuran pensiun
(menjadi 1,5% upah dari dulu 3,7% upah) karena alasan perekonomian melambat.
Di sisi lain para aktuaris dan ahli bidang pensiun yang duduk di Dewan
Jaminan Sosial Nasional dan di Kementerian Tenaga Kerja sudah menghitung
secara profesional tentang angka kontribusi yang paling mungkin diterapkan
saat ini, yakni 5% dari pengusaha (ditambah 3% dari pekerja). Harapannya agar
nominal dana pensiun yang diterima setelah mengiur 15 tahun terbilang masih
cukup untuk memenuhi biaya hidup masa itu. Prediksi inflasi, angka harapan
hidup dan biaya kesehatan sudah dihitung di sana. Hasilnya, pemerintah
bergeming.
Dalam kondisi seperti
ini, patut saya sampaikan observasi dari seorang ekonom senior Prof Grenville
dari Lowy Institute di Australia tentang kondisi bisnis di Indonesia. Ia
mengamati bahwa mayoritas perusahaan besar di Indonesia hidup dari tabungan.
Bahkan perusahaan besar yang sudah go-public
di pasar modal memilih untuk menanamkan sahamnya di perusahaan sendiri dan
bukan di perusahaan atau sektor usaha lain. Artinya upaya Pemerintah
Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi belum didukung perilaku dunia
usaha.
Di tingkat mikro,
kecenderungannya adalah untuk mengandalkan kekuatan sendiri dibandingkan
mengembangkan jejaring yang berpotensi memperkuat basis usaha dalam jangka
panjang.
Dengan kecenderungan
seperti itu, Prof Grenville mengingatkan bahwa itulah sebabnya terbentuknya
dana pensiun nasional menjadi sangat penting. Dana tersebut menjadi pegangan
angkatan kerja karena perusahaan memilih untuk mengandalkan kemampuan diri
sendiri dan perspektifnya masih jangka pendek. Artinya risiko jatuh bangunnya
perusahaan menjadi suatu keniscayaan. Kalau para pekerja (dan majikannya)
tidak dibiasakan untuk menabung untuk masa tua, masa produktif hari ini tidak
akan membantu Indonesia mempersiapkan diri memasuki masa penuaan yang tak
lebih dari 10 tahun lagi. Pemerintah perlu sigap dan segera mengantisipasi
jangan sampai Indonesia menjadi tua tanpa kepastian sumber dana untuk
memenuhi kebutuhan hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar