Senin, 01 Juni 2015

Merayakan Hidup

Merayakan Hidup

Samuel Mulia  ;  Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
KOMPAS, 31 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
”Hidup itu sejujurnya kayak...,” kata seorang karyawan saya beberapa tahun lalu. Kalimat itu tak bisa saya tulis secara utuh karena itu adalah sebuah kalimat yang mengandung umpatan kasar, mengandung amarah dan kekesalan.

Sukacita dan dukacita

Ia juga berpikir bahwa semua yang berbau positif yang pernah ia baca, ia dengar, dan ia lakukan adalah sebuah tindakan yang mau tak mau harus dilakukan, karena sesungguhnya seseorang takut sekali melihat bahwa hidup yang sesungguhnya itu, adalah jauh dari menyenangkan. ”Kita membungkus hidup yang susah itu seperti kado. Memilih bungkus yang menarik, cantik, dan indah untuk sebuah isi yang menyakitkan.”

Mengapa tiba-tiba di sebuah pagi saya teringat dengan perkataan karyawan saya itu? Saya sedang menyaksikan sebuah tayangan film di televisi. Di salah satu adegannya, seorang laki-laki mengungkapkan pendapatnya agar manusia itu merayakan hidup, dan bukan hanya sekadar hidup.

Kata kerja merayakan digunakan untuk memperlihatkan sebuah aktivitas yang positif, yang mendatangkan rasa sukacita, gembira, menyenangkan, apa pun penyebab kegembiraan itu, baik di ruang publik atau bersifat pribadi.

Contoh. Merayakan hari ulang tahun, merayakan kenaikan kelas, jabatan, merayakan pernikahan, merayakan terbebasnya dari penjara, terbebas dari dakwaan korupsi, terbebas dari penyakit yang mematikan, merayakan hari kemerdekaan sebuah negara, merayakan sebuah kemenangan tender, atau pemilihan presiden.

Sepengetahuan saya, tanpa melihat kamus atau buku apa pun, tak ada seorang pun mengatakan, kalau ia merayakan dengan sukacita atas berpulangnya orang yang dicintainya, meski seseorang tahu bahwa kematian itu membebaskan seseorang dari sebuah penderitaan. Itu mengapa, pada situasi semacam itu, orang mengatakan saya turut berdukacita.

Saya juga tak pernah membaca ada orang yang merayakan pemerkosaan atas dirinya, merayakan sebuah pemutusan hubungan cinta, apalagi karena perselingkuhan meski mungkin setelah beberapa waktu berlalu, mereka bisa bersyukur terbebas dari pasangan yang tak setia itu.

Saya juga tak pernah melihat orang bergembira merayakan hasil pemeriksaan kesehatan dan hasilnya adalah kanker payudara stadium akhir, atau ada yang merayakan bahwa ia tak naik kelas, dikeluarkan dari pekerjaan, baik karena perusahaan mengalami kesusahan atau karena kesalahannya sendiri.

Tertawa dan menangis

Jadi apa yang dimaksud dengan merayakan kehidupan? Kalau hanya melihat dari kata merayakan, dan penggunaan dari kata itu, seharusnya yang dirayakan adalah semua kejadian yang hanya mendatangkan rasa gembira, bukan?

Tetapi apa kenyataannya? Kehidupan yang dilakoni itu selalu memiliki dua wajah. Jadi apakah seharusnya kita juga merayakan hidup yang juga mampu mengundang datangnya kekecewaan dan kesakitan baik fisik maupun jiwa?

Kalau seandainya kita merayakan kesakitan itu, saya kok tiba-tiba kepikiran seperti sedang menikmati hubungan seksual yang dikelompokkan sebagai sadomasochism. Sebuah hubungan seksual di mana seseorang menikmati sebuah kesakitan, baik secara fisik dan mental, yang dilakukan orang lain kepadanya.

Setelah saya berpikir demikian, saya jadi mulai keder sendiri. Apakah sesungguhnya saya ini seperti sedang melakukan sadomasochism? Lha wonghidup ini acapkali sungguh menyakitkan. Tetapi setiap kali yang menyakitkan itu datang, teman-teman saya selalu mengatakan nasihat positif.

”Kamu bisa belajar dari kesakitan ini, kamu bisa naik kelas dengan kesakitan ini, kamu bisa memiliki pengalaman baru, yang kalau kamu bisa lalui, maka kamu bisa memberi kekuatan buat mereka yang sedang mengalaminya. Dinikmatin aja, ntar kan selesai juga.”

Jadi mendengar nasihat mulia itu, saya merasa tak bedanya dengan mereka yang merayakan kesakitan sebagai sebuah kenikmatan. Kalau kemudian hubungan seksual itu dikelompokkan sebuah hal yang tidak wajar, maka saya jadi bertanya. Apakah hidup yang menyakitkan itu wajar, hanya karena saya bisa naik kelas karenanya? Apakah kalimat bisa naik kelas itu adalah bungkus kado yang membuat kesakitan itu kelihatan sedikit ”cantik”?

Saya jadi berpikir, jadi benar kalau karyawan saya di atas memiliki pendapat bahwa hidup itu sejujurnya menyakitkan dan sejujurnya sebagai manusia saya tak mau tersakiti. Oleh karena itu, saya mencari jalan keluar agar mengurangi kesakitan itu, dengan selalu berusaha menyediakan antidot berbentuk kalimat, pikiran, dan tindakan yang positif.

Jadi apa arti merayakan hidup itu kalau begitu? Apakah itu berarti merayakan kehebatan saya, yang memiliki kemampuan membungkus kado dengan indah, melalui cara berpikir positif untuk sebuah kejadian yang menyayat hati, yang mengecewakan, yang meluluhlantakkan?

Atau merayakan hidup itu, adalah lebih kepada merayakan keberanian menghadapi segala situasi, dan tak menyerah karenanya, tanpa harus selalu berusaha mencari antidotnya. Jadi mungkin, merayakan hidup itu adalah merayakan kemampuan tertawa dan menangis tanpa embel-embel di belakangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar