Laporan
Harta Kekayaan
Hifdzil Alim ; Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Yogyakarta
|
SUARA MERDEKA, 06 Juni 2015
KABARESKRIM Mabes
Polri disebutkan menyampaikan ke media massa yang pada intinya tidak perlu
melaporkan harta kekayaannya ke KPK. Menurutnya, tak ada pidana yang
mengancam bila tak melaporkan kekayaannya. Namun belakangan ia membantah
disebut menolak melaporkan. Ia merasa pernyataannya mengenai hal itu
diputarbalikkan oleh media (kompas. com, 2/6/25). Terlepas dari pernyataannya
itu, secara umum apakah penyelenggara negara boleh tak melaporkan harta
kekayaannya karena tidak ada ancaman hukumannya? Bagaimana seharusnya negara
mengatur kebijakan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN)?
Ternyata hukum mengatur tiap pejabat negara harus melaporkan. Pasal 5 Angka 3
Nomor UU 28 Tahun 1999 memerintahkan, ’’Setiap
penyelenggara negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaan
sebelum dan setelah menjabat.” Bahkan kewajiban pelaporan ini disambut
oleh Pasal 17 dengan cara menugaskan sebuah komisi pemeriksa supaya melakukan
cek dan ricek atas kekayaan itu.
Masih dalam
undang-undang yang sama, Pasal 20 Ayat (1) mengingatkan, penyelenggara negara
yang tak melaporkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat dikenakan
sanksi administratif. Artinya, ada kewajiban melekat kepadanya untuk
menyampaikan LHKPN. Tanpa terkecuali, dan kewajiban itu juga memuat sanksi.
Sayang, hukuman yang dipatri cuma administratif. Namun bukan hal ini yang
menguatkan diaturnya perihal LHKPN.
Dalam filosofinya, UU
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dibentuk karena
pengalaman buruk atas kemerebakan korupsi oleh rezim dan pelaku kekuasaan.
Korupsi tidak saja dilakukan oleh penyelenggara negara secara individu atau
berkelompok namun juga pejabat negara dengan kroninya, pelaku ekonomi,
pengusaha, dan kekuatan politik. Korupsi merusak sendi bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara serta menghilangkan keberadaan negara.
Atas kemasifan
serangan korupsi, negara harus turun tangan menangani. Tugas negara
mengikutsertakan masyarakat. Undang-undang memberi porsi lebih banyak bagi
publik dalam pengawasan, khususnya jaminan keamanan bagi pelapor dugaan
korupsi. Negara sudah mulai sadar dari tidur panjang akibat buaian
kenikmataan semu korupsi. Sebelum eksistensi negara terjun bebas, cepat-cepat
negara terbangun dan memerintah semua penyelenggara negara untuk
bersih-bersih. Untuk perilaku kotor yang bersifat administratif, diberlakukan
sanksi administratif. Perilaku pidana, dikenakan sanksi pidana.
Pertanyaannya, kenapa
tidak diberlakukan ancaman pidana saja untuk semua perilaku kotor
administratif? Negara masih welas lan asih. Mungkin akan terjadi “ledakan”
amarah hebat apabila penyelenggara negara langsung dipaksa bersih. Mengingat
kebiasaan buruk selama ini yang dipicu oleh rezim dan penguasa.
Bersikap Antikorupsi
Mesti ada langkah
gradual dalam mengkreasi semua penyelenggara negara supaya bersikap
antikorupsi. Setidaknya, pertama; dipaparkan semua hukum yang melarang
korupsi. Kedua; dibuat kebijakan pencegahan sebagai peringatan awal. Ketiga;
dipaksakan ancaman hukuman berat sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Setiap fase memuat masing-masing kebijakan.
Pelaporan LHKPN adalah
salah satu kebijakan yang ada di fase preventif, bersama dengan kebijakan
melaporkan aktivitas penyelenggara negara secara berkala. Mengingat bagian
dari kebijakan preventif maka cukuplah kala itu ancaman hukuman tidak
menyampaikan LHKPN dibuat setingkat hukuman administratif, bukan pidana.
Maknanya bukan karena tidak berisi sanksi pidana kemudian pelaporan LHKPN
jadi tak penting. Justru laporan itu sangat penting. Logikanya, bila pejabat
negara mengirimkan LHKPN dengan jujur , ia sudah memulai usaha untuk tak
korupsi. Jika tidak melaporkan, probabilitas bersikap tidak transparan lebih
besar.
Bila saat ini ada
penyelenggara negara tidak melaporkan LHKPN karena berpendapat tak ada sanksi
pidananya maka sebaiknya kebijakan LHKPN diubah saja ke fase ultimum remedium. Perlu merevisi UU
Nomor 28 Tahun 1999. Tiap penyelenggara negara yang tidak menyampaikan daftar
harta kekayaannya diancam hukuman penjara dan denda, bukan lagi teguran
tertulis. Tapi saya kira bakal banyak penolakan dengan kebijakan demikian.
Maka dari itu, sementara, biarlah kebijakan LHKPN ini seperti itu adanya.
Penyelenggara negara,
sebagai anutan rakyat, harus memberi contoh baik. Apalagi jika pejabatnya
sederhana, tentu tak sulit menyampaikan
LHKPN-nya bukan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar