Pancasila
sebagai Pandangan Hidup
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum UGM
|
KORAN SINDO, 03 Juni 2015
Kongres Pancasila VII
diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila UGM pada 30 Mei-1 Juni 2015. Acara
serupa diselenggarakan di tempat lain, baik oleh pemerintah atau komunitas
tertentu. Kita bersyukur, pada hari ulang tahunnya ke-70, Pancasila masih
eksis di negeri ini. Mengapa Pancasila tetap eksis, tak tergantikan isme
lain? Karena kebenarannya. Sehubungan dengan itu, bermodal tekad dan semangat
kebangsaan, kita pertahankan Pancasila sebagai kebenaran yang hidup.
Maknanya, selagi masih ada kehidupan, di situ Pancasila dipastikan ada dan
difungsikan sebagai pandangan hidup.
Disayangkan,
akhir-akhir ini muncul polemik tentang hari lahir Pancasila. Polemik itu
berpotensi memecah belah bangsa. Pada saat lain, saya ingin berbagi pandangan
untuk menepis kerancuan pemikiran tidak sehat itu. Untuk sejurus waktu,
tulisan ini berkehendak memahamkan Pancasila pada tataran lebih mendasar
yakni sebagai pandangan hidup.
Pancasila sebagai
pandangan hidup sudah ada sejak awal kehidupan dan bukan lahir 1 Juni 1945
ataupun tanggal-tanggal lain. Eksistensi dan kebenaran nilai-nilai Pancasila
sebagai pandangan hidup dapat dikenali secara sosiologis-antropologis. Seraya
mendasarkan pada pendapat Prof Dr Brandes, dikatakan oleh Bung Karno (1958),
tatkala Eropa masih hutan belukar belum ada Germanentum dan di sini (Indonesia)
ketika itu masih pra-Hindu justru sudah ada pola cocok tanam padi di sawah-sawah.
Kehidupan manusia
Indonesia, digambarkan Bung Karno, berproses melalui empat saf yakni saf
pra-Hindu, saf Hindu, saf Islam, dan saf Imperialis. Bung Karno berusaha
menggali sedalam-dalamnya nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Dari
penggalian itulah, diperoleh lima hal yang menonjol pada semua saf kehidupan
yakni Ketuhanan, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, dan Keadilan
Sosial. Lima hal tersebut diyakini Bung Karno dapat dijadikan sebagai dasar
statis dan leitstar dinamis yang akan diterima dan di atasnya seluruh rakyat
Indonesia bersatu padu.
Melalui kursus-kursus
Pancasila sebanyak enam kali, dijelentrehkan,
bahwa sejak awal kehidupan, manusia Indonesia sudah hidup di dalam alam
ketuhanan. Di sanalah tempat permohonannya dan tempat kepercayaannya. Dari
sana pula setiap manusia memaksimalkan budi luhur, budi pekerti, atau
keadabannya. Bertolak dari manusia beradab, didukung fungsionalisasi unsur
cipta, rasa, dan karsa, lahirlah budaya-budaya antara lain budaya persatuan,
permusyawaratan, dan keadilan. Jadi, budaya itu positif dan hanya lahir dari
manusia beradab.
Korupsi, jangan
dibilang ”telah membudaya”. Aduh . . . maaf, maaf, pernyataan demikian
menyesatkan. Korupsi itu negatif, muncul dari manusia biadab, rakus, serakah,
menghalalkan segala cara untuk menilap uang negara. Manusia beradab pantang
korupsi. Justru mereka berusaha taat pada hukum sebagai tatanan (order) kehidupan secara utuh dan total
sehingga daripadanya muncul keadilan. Demikianlah pola dan warna kehidupan
itu, dari waktu ke waktu, dalam keseharian. Sejak fase awal sampai pada era
industrialisasi, nilai-nilai Pancasila (dari ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, permusyawaratan, sampai dengan keadilan sosial) senantiasa
konsisten dijadikan sebagai pandangan hidup.
Jadi,
Pancasila sebagai pandangan hidup sudah ada sebelum ada Bung Karno, sebelum
ada Republik Indonesia. Dari dahulu bangsa Indonesia telah mengenal Tuhan,
hidup di alam ketuhanan. Dari dahulu, bangsa Indonesia telah cinta Tanah Air
dan bangsa. Dari dahulu, kita sudah mengenal rasa kebangsaan dan rasa
kemanusiaan. Demikian pula, rasa kedaulatan rakyat dan citacita keadilan sosial.
Bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa yang tidak pernah menjajah bangsa
lain.
Pancasila
sebagai pandangan hidup merupakan sistem nilai, mencakup keseluruhan
nilai-nilai secara lengkap, tersusun secara sistematis-hierarkis, dimulai
dari nilai ketuhanan sampai nilai keadilan sosial. Nilai (value) merupakan pengertian filsafat.
Artinya, tolok ukur untuk menimbang-nimbang dan memutuskan apakah sesuatu
benar atau salah, baik atau buruk.
Notonagoro
(1971) menjelaskan nilai-nilai Pancasila ke dalam tiga kategori: (1) Nilai
materiil, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia; (2) Nilai
vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan atau aktivitas; (3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang
berguna bagi rohani manusia. Lebih lanjut nilai kerohanian dibedakan atas
empat macam: (a) Nilai kebenaran/ kenyataan, yang bersumber pada unsur akal
manusia (ratio, budi, cipta); (b) Nilai keindahan, yang bersumber pada unsur
rasa manusia (gevoel , perasaan, aesthetis ); (c) Nilai kebaikan atau nilai
moral, yang bersumber pada unsur kehendak/kemauan manusia (will, karsa, ethic
); dan (d) Nilai religius, yang merupakan nilai ketuhanan, kerohanian yang
tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber pada kepercayaan/keyakinan/keimanan.
Nilai-nilai
Pancasila telah mengakar pada adat-istiadat, kebudayaan, dan agama-agama di
Indonesia sejak ratusan tahun silam. Sebab itu, pengamalan Pancasila sebagai
pandangan hidup berpadu dengan pengamalan adat-istiadat, kebudayaan, dan
agama. Artinya, pengamalan Pancasila berlangsung spontan, seketika, serentak,
simultan dengan pengamalan adat-istiadat, kebudayaan, dan agama. Pancasila
memberikan kemudahan, kelapangan, dan fasilitatif terhadap orang-orang yang
ingin menjalankan adatistiadatnya, kebudayaannya, dan agamanya. Perlu
ditegaskan bahwa Pancasila bukan agama dan tidak sepatutnya dibandingkan
agama, tetapi siapa pun taat beragama berarti dia telah Pancasilais.
Pancasila
sebagai pandangan hidup memberi arah, motivasi, dan energi untuk pencapaian
keberkahan hidup. Memosisikan Pancasila sebagai pandangan hidup akan
menghasilkan kekuatan lahir-batin sehingga manusia mampu menembus dimensi
wujud, membuka pintu-pintu rezeki, meningkatkan harkat-martabat hidupnya.
Didukung qalbu salim, akal cerdas,
berpikir produktif, lahirlah kreativitas dan progresivitas kehidupan.
Gambaran keberkahan hidup adalah bak hangatnya sinar matahari pagi, bak
suburnya bumi disiram air hujan, bak lebatnya pohon dengan buahnya. Alangkah
indah, nyaman, dan membahagiakan. Salam Pancasila. WallahuWallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar