Menangkal
Isu Keamanan Pangan
Ali Khomsan ; Guru Besar Pangan dan Gizi FEMA IPB
|
KORAN SINDO, 11 Juni 2015
Kasus ”beras plastik”
telah menyedot perhatian masyarakat. Hingga kini belum ada kesimpulan yang
konklusif tentang benar dan tidak ada beras palsu beredar di pasaran.
Bahkan ada pernyataan
bahwa harga plastik lebih mahal daripada beras, jadi kenapa repot-repot
mencampurkan plastik ke dalam beras? Isu keamanan pangan selalu menarik
perhatian karena menyangkut urusan kesehatan, bahkan nyawa seseorang.
Sebelumnya masalah flu burung, sapi gila, atau ditemukannya unsur babi dalam
makanan halal menjadi isu hangat di masyarakat.
Bagaimana kita sebagai
konsumen harus bersikap? Sebenarnya produk makanan yang beredar saat ini
sudah jauh lebih aman dibandingkan beberapa dekade atau beberapa abad lalu.
Karena itu, kita harus bersikap rasional dalam menanggapi isu keamanan pangan
ini. Masalah keamanan pangan yang dengan cepat menjadi isu nasional atau isu
global berdampak signifikan terhadap perubahan konsumsi pangan.
Permintaan akan daging
ayam menurun ketika flu burung beredar, demikian pula konsumsi daging sapi berkurang
saat penyakit sapi gila berjangkit. Padahal, daging ayam yang sudah dimasak
diketahui tidak akan menularkan flu burung. Temuan seekor sapi gila di AS
menyebabkan pelarangan impor sapi di berbagai negara, dan banyak restoran
yang kemudian mengurangi penyediaan makanan berbahan baku daging sapi.
Jadi, ketakutan
masyarakat telah menyebabkan mereka menjadi tidak proporsional menyikapi
masalah keamanan pangan ini. Ketakutan untuk mengonsumsi makanan yang diduga
tidak aman sebenarnya hanya kesalahan persepsi karena masyarakat tidak
mencerna informasi secara menyeluruh. Kasus meninggalnya orang akibat flu
burung terjadi karena penularan virus langsung pada korban melalui unggas
yang telah terinfeksi.
Ini bisa terjadi
karena korban tinggal berdekatan dengan kandang unggas. Jadi korban tidak
tertular karena makan daging ayam. Namun, dampak mispersepsi ini luar biasa
karena negara-negara yang bebas flu burung seperti Singapura atau Malaysia
ternyata juga mengalami penurunan konsumsi daging ayam.
***
Benarkah bahwa
makananmakanan kita saat ini begitu rentan terhadap persoalan keamanan
pangan? Pada dasarnya kita yang hidup pada zaman modern ini telah dimanjakan
dengan ketersediaan pangan yang melimpah. Teknologi penyiapan makanan yang
makin baik dan penerapan undangundang untuk melindungi kesehatan masyarakat
pada dasarnya telah banyak mengurangi kasus-kasus foodborne illnesses.
Sejak lama dunia
industri makanan mengetahui dan menerapkan pasteurisasi, sterilisasi, sistem
pengemasan aseptik, dan teknik analisis kontaminan untuk mendeteksi cemaran
pada makanan. Hal ini sangat membantu masyarakat untuk memperoleh makanan
yang aman. Masalah ketidakamanan pangan kadang-kadang diberitakan secara
besar-besaran dan menjadi isu selama beberapa waktu di tengah-tengah
masyarakat.
Ini yang menyebabkan
kita menjadi tidak proporsional dalam menyikapinya. Sebagai contoh, bila
suatu bahan pangan mengandung unsur kimiawi lebih tinggi, tidak berarti
makanan tersebut menjadi lebih berbahaya apabila dikonsumsi. Perlu dipahami
adanya batasan yang disebut acceptable
daily intake (ADI) yang mengandung makna bahwa ada unsur tertentu dalam
makanan asalkan masih dalam kisaran standar ADI, makanan tersebut tetap layak
dan aman dikonsumsi secara harian.
Pada 2002 ilmuwan
Swedia melaporkan temuannya tentang acrylamide
yaitu unsur kimia ikutan yang terbentuk ketika bahan pangan digoreng atau
dimasak dengan oven. Acrylamide
dianggap sebagai komponen yang secara potensial membahayakan kesehatan
masyarakat.
Percobaan pada hewan
di laboratorium yang dipapar dengan acrylamide
dosis tinggi menyebabkan terjadi penyakit kanker. Ilmuwan sebenarnya belum
yakin benar, apakah acrylamide dalam dosis rendah yang ditemukan dalam
makanan juga akan menyebabkan kanker.
Apabila kita
terburu-buru termakan berita yang belum konklusif, ini dapat menimbulkan
revolusi perubahan perilaku makan di kalangan masyarakat karena masyarakat
mungkin tidak mau lagi mengonsumsi makanan yang digoreng atau dioven.
***
Untuk negara-negara
sedang berkembang seperti Indonesia, masalah ketidakamanan pangan dapat
berasal dari homeindustry yang menjual makanan dengan tambahan zat aditif
yang tidak sesuai peruntukannya. Hal ini bisa dijumpai pada produk tahu yang
dicampur formalin, boraks pada baso, atau pewarna tekstil pada kerupuk.
Sebagian zat aditif
ini bersifat karsinogenik dan membahayakan kesehatan. Dengan ada UU Pangan,
sebenarnya pemerintah bisa dengan cepat menjaring home-industry ini untuk
mendapatkan sangsi hukum sesuai peraturan yang berlaku. Penggunaan pestisida
yang tidak terkontrol memunculkan kecemasan akan keamanan pangan dari produk
buah-buahan ataupun sayuran.
Di sisi lain,
pemanfaatan pestisida secara bijak terbukti meningkatkan produksi pangan
sehingga pangan tersebut dapat diakses oleh masyarakat dengan harga
terjangkau. Menurut WHO, konsumsi buah dan sayuran yang rendah menduduki
peringkat 10 sebagai faktor risiko penyebab kematian di dunia. Mereka yang
jarang makan buah dan sayuran terbukti lebih rentan untuk menderita kanker
dan penyakit jantung koroner yang mematikan.
Jadi, kalau ada orang
yang tidak mau mengonsumsi buah dan sayur karena khawatir tercemar pestisida,
niscaya dia akan lebih menderita akibat kurang serat yang mengakibatkan
penyakit degeneratif. Sejak 2005 industri pangan di negara-negara Eropa
dikenai peraturan untuk bisa menunjukkan dengan jelas rantai produksi yang
menjadi sumber bahan baku pangan tersebut.
Dengan demikian,
pemerintah yang berwenang bisa melacak dengan cepat apabila ada kasuskasus
ketidakamanan pangan. Untuk memudahkan proses pelacakan dikembangkan peranti
lunak yang dapat melacak asal bahan baku, bar-codes,
dan penanda lainnya.
Selain itu, standar
baku seperti Hazard Analysis and
Critical Control Point (HACCP) yang selama ini telah diterapkan oleh
industri-industri besar di bidang pangan juga diberlakukan pada industri
kecil. Hal ini penting agar semua pihak yang berhubungan dengan rantai
industri pangan selalu menerapkan standar keamanan maksimal bagi proses
produksinya.
Pada dasarnya sebagian
besar makanan yang beredar di tengah-tengah masyarakat adalah aman. Namun,
harus juga disadari bahwa keamanan pangan adalah sesuatu yang bersifat
abstrak. Kita baru menyadari ada masalah ketidakamanan pangan setelah jatuh
korban.
Sebab itu, siapa pun
yang secara sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan jatuhnya korban di
masyarakat akibat mengonsumsi pangan yang tidak aman, sudah sepantasnya
mendapat hukuman yang setimpal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar