Lampu
Kuning KPK
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa
45, Makassar
|
KORAN SINDO, 11 Juni 2015
Sudah tiga kali Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menelan kekalahan dalam pengadilan praperadilan
penetapan tersangka.
Selasa (26/5/2015),
Haswandi, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, mengabulkan permohonan
praperadilan mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo yang ditetapkan
tersangka oleh KPK. Hakim menilai penetapan tersangka terhadap pemohon tidak
sah dan penyelidikan dan penyidikan batal demi hukum.
Hakim Haswandi
menegaskan bahwa proses penyelidikan, penyidikan, dan penyitaan oleh KPK
tidak sah karena penyelidik dan penyidik komisi antirasuah itu ilegal,
diangkat tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hanya, yang patut
dipertanyakan, saat hakim Haswandi sebagai ketua majelis hakim dalam kasus
Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng.
Saat itu dia tidak
mempersoalkan keberadaan penyelidik dan penyidik KPK yang bukan dari unsur
kepolisian. Tetapi, dalam kasus praperadilan Hadi Poernomo, Haswandi
menyatakan, penyidikan dan penyelidikan tidak sah dan harus dihentikan.
Apakah karena pemohon meminta itu diputuskan, sedangkan terdakwa Anas
Urbaningrum dan Andi Mallarangeng tidak mempersoalkan.
Tetapi, putusan hakim
harus tetap dihargai dan itulah wujud kemerdekaan hakim dalam memeriksa dan
menjatuhkan putusan. Kekalahan pertama KPK sudah diketahui publik secara
luas, bahkan menjadi sejarah mengejutkan dalam pemberantasan korupsi, ketika
praperadilan Komjen Budi Gunawan dikabulkan oleh hakim Sarpin Rizaldi.
Begitu pula putusan
hakim Yuningtyas Upiek Kartikawati terhadap praperadilan mantan Wali Kota
Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Dua praperadilan terakhir yang dikabulkan
hakim karena mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa 28
April 2015 yang memperluas objek praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP.
MK memutuskan
penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, termasuk pula objek
praperadilan. Putusan MK wajar diapresiasi lantaran mengakomodasi perjuangan
hak-hak tersangka dalam proses penyidikan. Itu bahkan merupakan ”kontrol
progresif” bagi penegak hukum dalam melaksanakan penyidikan dan penuntutan.
Tetapi, pada aspek
lain, putusan MK mengabaikan substansi KUHAP yang sebetulnya telah memberikan
kesempatan bagi tersangka memperjuangkan haknya karena ditetapkan tersangka.
Itu dilakukan dalam ”eksepsi” terdakwa atau pengacaranya setelah dakwaan
dibacakan, ”saat pembuktian” dan saat mengajukan ”pembelaan”.
Jaga Profesionalitas
Dapat dipastikan tiga
kekalahan tersebut merupakan ”lampu kuning” bagi KPK, baik dalam
mengefektifkan penyelidikan dan penyidikan maupun dalam upaya mengembalikan
kepercayaan publik. Tetapi, KPK tidak boleh goyah sebab putusan MK dan
kebiasaan selama ini yang juga diatur dalam KUHAP, putusan praperadilan tidak
berarti tindak pidana dalam perkara itu tidak ada.
MK dalam putusannya
menyebut penyidik dapat melakukan penyidikan ulang. KPK dapat menerbitkan
surat perintah penyelidikan dan penyidikan baru untuk mencari atau melengkapi
alat bukti minimal seperti dimaksud dalam putusan hakim. Praperadilan
merupakan pra-ajudikasi atau proses untuk menguji keabsahan prosedur
penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, atau penyitaan agar penyidik
tidak melakukan tindakan sewenang-wenang.
Bukan membebaskan
tersangka secara penuh seperti pada putusan pemeriksaan pokok perkara.
Apalagi, KPK dilarang menghentikan penyidikan dan penuntutan. Ini peringatan
penting bagi KPK agar tidak serampangan, apalagi terlalu percaya diri saat
mengikuti sidang praperadilan.
Tampaknya KPK tidak
sepenuhnya mengantisipasi putusan MK misalnya tidak menunjukkan kepada hakim
dua alat bukti minimal sehingga seseorang ditetapkan tersangka. Konsekuensi
bagi KPK adalah meningkatkan profesionalitasnya, lebih teliti, dan tidak
merasa benar sendiri dalam memperoleh dan menilai alat bukti.
Peringatan bagi KPK
bukan sekadar mengantisipasi kemungkinan ada gelombang gugatan praperadilan,
melainkan bagaimana menjaga agar proses penetapan tersangka tidak dijadikan
sarana bagi tersangka untuk mengulur-ulur proses hukum. Kepercayaan publik
bisa runtuh jika KPK tidak melakukan koreksi diri.
KPK harus menjaga
keahliannya (profesionalitas) dengan melanjutkan kasus itu sampai ke
pengadilan. Jika pun hakim menyatakan tidak sah tindakan ”upaya paksa”
lantaran melanggar hak-hak tersangka, tidak berarti dugaan tindak pidananya
atau statusnya sebagai tersangka sudah bebas sepenuhnya.
Revisi SOP
Dalam pembuktian
perkara pidana, ada adagium hukum yang selalu dijadikan acuan yaitu
”bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya”. Artinya, alat bukti dan
barang bukti harus dicari dan diperoleh secara prosedur agar betul-betul bisa
dijadikan dasar untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Tentu kita tidak sedang
memojokkan KPK terkait dengan tiga kekalahan dalam praperadilan.
Tulisan ini
semata-mata memberi masukan sekaligus memotivasi KPK agar bekerja
profesional, teliti, tetapi tetap berani tanpa pandang status. Untuk
mendukung semua itu, KPK sebaiknya merevisi prosedur standar operasional
(SOP) penyelidikan dan penyidikan.
Revisi dan perbaikan
SOP diarahkan untuk mengantisipasi perkembangan penegakan hukum setelah MK
memperluas objek praperadilan. Misalnya, harus efektif dan selektif
menentukan dua alat bukti minimal dalam penyelidikan, barulah ditingkatkan ke
tahap penyidikan sekaligus menetapkan tersangka.
Tidak kalah
pentingnya, alat bukti minimal dan sah itu diperoleh sesuai prosedur yang
ditetapkan dalam undang-undang. Untuk memperoleh alat bukti minimal,
sebaiknya dilakukan dan dimantapkan pada tahap ”penyelidikan” sehingga bisa
langsung menetapkan tersangka. Memang substansi ”penyidikan” dalam Pasal 1
butir-2 KUHAP menyebut, untuk ”mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat
terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”.
Ini yang dimaksudkan
dalam putusan hakim Haswandi, penetapan tersangka setelah melakukan
penyidikan. Bagaimanapun KPK harus memerhatikan putusan MK, terutama pada
bukti minimal yang harus diperoleh secara sah saat penyelidikan.
Kendati begitu, KPK
tidak perlu gentar menghadapi gugatan praperadilan penetapan tersangka. KPK
harus siap menunjukkan alat bukti minimal itu kepada hakim praperadilan,
bagaimana prosedur memperolehnya yang dibuktikan dengan ”berita acara”, serta
menunjukkan keaslian berita acara pemeriksaan saksi dan ahli.
Bagi hakim
praperadilan, tentu tidak akan memeriksa dan menguji keterangan saksi dan
ahli seperti pada pembuktian dalam pemeriksaan pokok perkara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar