Berebut
Hormat di Bulan Rahmat
Akh Muzakki ; Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel
Surabaya
|
JAWA POS, 11 Juni 2015
WARUNG tutup atau buka
selama bulan Ramadan kini menjadi trending
topic dalam pembicaraan publik mengenai aktivitas rutin di bulan suci
itu. Isu sentralnya dikaitkan dengan bentuk sikap menghormati dan dihormati.
Berawal dari cuitan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin di akun
Twitter-nya @Lukmansaifuddin, diskusi publik meluas. Materinya mengenai
pentingnya orang yang berpuasa menghormati orang yang tidak berpuasa.
Inilah cuitan (tweet) awal Menag itu: ’’Warung-warung tak perlu dipaksa tutup.
Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa.’’
Menag lalu menjelaskan dalam rilis resminya yang dikutip media nasional.
Menurut dia, apabila ada yang sukarela menutup warungnya, mereka tentu harus
dihormati. Tidak boleh saling memaksa. Sebab, muslim yang baik, menurut dia,
tidak memaksa orang lain untuk menutup sumber mata pencaharian demi tuntutan
menghormati yang sedang berpuasa.
Lebih dari itu, ajakan
tidak memaksa menutup warung penting untuk menghormati hak mereka yang tidak
wajib berpuasa, termasuk nonmuslim. Juga, lanjut Menag, menghormati hak
muslim/muslimah yang tidak sedang berpuasa karena keadaan (musafir, sakit,
perempuan haid, hamil, dan menyusui) (Jawa
Pos, 10/6/2015).
Cuitan Menag itu
memantik reaksi beragam. Bak bola muntah dalam permainan sepak bola, cuitan
tersebut lalu disambar politisi Senayan. Beberapa di antara mereka meminta
penghormatan dilakukan sebaliknya. Bukan oleh orang yang berpuasa kepada yang
tidak berpuasa, melainkan oleh orang yang tidak berpuasa karena alasan apa
pun kepada yang berpuasa. Karena itu, dalam pandangan mereka, warung harus
ditutup selama bulan Ramadan untuk menghormati kaum yang berpuasa (detik.com, 11/6/2015).
Ketua PP Muhammadiyah
Din Syamsuddin lalu memberikan nasihat menarik. ’’Kepada umat Islam yang berpuasa, kita jangan manja. Tidak boleh meminta
untuk dihormati. Lebih baik memperkuat keimanan sehingga tidak tergoda. Kalau
kebetulan ada yang tidak sadar, tetap buka, tidak usah diserang’’ (Jawa Pos, 10/6/2015).
Kalau kita tarik
benang merah dengan perspektif dan meminjam ungkapan Din Syamsuddin tersebut,
pernyataan Menag bisa dibaca sebagai ajakan agar umat Islam yang berpuasa
tidak bersikap manja. Atas nama puasa, umat Islam lalu terdorong untuk minta
dihormati. Bahkan, permintaan untuk dihormati itu dilakukan dengan memaksa.
Pada titik inilah,
umat Islam Indonesia penting melihat ’’internal rumah sendiri’’ dari luar.
Kata ’’luar’’ di sini menunjuk pada pengalaman masyarakat beragama di negeri
yang lain. Lalu, ’’melihat dari luar’’ itu penting dalam rangka memaknai apa
yang kita lakukan di negeri ini secara lebih baik.
Mari kita tengok
pengalaman hidup sebagai kelompok minoritas di negeri orang. Saya punya
pengalaman hampir tujuh tahun hidup di Australia. Tentu, di negeri itu, saya
hidup sebagai muslim yang tergolong kelompok minoritas. Saya harus
menjalankan ajaran agama yang saya yakini secara kuat di tengah kelompok
sosial mayoritas yang bukan penganut Islam.
Setiap menjelang
perayaan Natal, sebagai contoh kecil, hampir seluruh ruang publik dikemas
rapi untuk menyambut datangnya momen itu. Bahkan, untuk kepentingan
kekhidmatan, sehari sebelum Natal tiba, seluruh pertokoan tutup. Demikian
pula restoran. Tidak ada minimarket yang buka. Bahkan, mencari pom bensin
yang buka dan melayani konsumen sangat susah. Kalaupun ada, itu bisa dibilang
satu di antara puluhan.
Pokoknya, publik
begitu menikmati momen Natal bersama keluarga. Sebab, mereka juga memiliki
tradisi serupa dengan mudik, yakni home
return. Berbagai layanan bisnis komersial seperti warung, restoran,
minimarket, dan supermarket yang telah tutup sehari sebelum Natal ternyata
masih tutup hingga sehari pasca-Natal. Hanya layanan-layanan bisnis komersial
berupa pertokoan yang menyelenggarakan acara belanja khusus untuk menyambut boxing day yang mulai buka.
Tentu, bagi
individu-individu muslim seperti saya, kondisi tersebut bisa sangat
merepotkan. Sebab, hidup menjadi terbatas. Layanan pemenuhan kebutuhan
konsumtif tidak lagi bisa ditemui. Ke mana-mana pergi untuk sekadar mencari
penjual makan harian di warung atau restoran, sulitnya minta ampun.
Waktu itu, saya
membayangkan kondisi serupa terjadi di Indonesia selama Ramadan. Pada
pengalaman hidup di Australia, warung atau restoran dan supermarket yang
tutup tiga hari selama momen Natal saja bikin repot. Saya lalu tidak bisa
membayangkan, alangkah merepotkannya jika warung atau restoran dipaksa
ditutup selama sebulan penuh selama Ramadan sehingga tidak bisa melayani
mereka yang sedang tidak berpuasa.
Jangankan bagi yang
nonmuslim, bagi muslim yang karena alasan tertentu tidak bisa berpuasa
(seperti musafir, sakit, haid, hamil, dan menyusui) saja, pemaksaan penutupan
itu tentu merepotkan.
Soal pindah jam buka,
para pebisnis tidak perlu diajari. Kebutuhan atas makan-minum pasti meningkat
pada jam-jam buka puasa. Itu adalah pasar bagi pebisnis. Tetapi, menutup sama
sekali secara paksa tentu bukan opsi bagi mereka.
Ramadan memang bulan
penuh rahmat. Bulan penuh berkah. Bulan penuh ampunan. Tetapi, memaksa orang
menghormati kepentingan kaum yang berpuasa menjauhkan kita dari prinsip
rahmat, berkah, dan ampunan tersebut. Karena itu, publik muslim tidak perlu
manja dengan berebut penghormatan dari yang lain di tengah syariat Islam yang
memperbolehkan individu muslim tidak berpuasa karena alasan tertentu.
Memang, diperlukan
edukasi yang baik. Islam mengajarkan, besaran dan kualitas ibadah, antara
lain, bergantung pada tingkat kesulitan dan tantangan. Dalam adagium
klasiknya, al-ajru ‘ala qadri
al-masyaqqah. Maksudnya, tingkat kesulitan dan tantangan yang tinggi
semakin meningkatkan derajat dan kualitas ibadah seseorang. Apalagi jika
tantangan itu diakomodasi Islam sebagai faktor yang memperkenankan individu
tidak berpuasa seperti di atas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar