Kemaskulinan
KPK
Anas Urbaningrum ; Pengamat Politik
|
KORAN SINDO, 11 Juni 2015
Komisi Pemberantasan
Korupsi (terutama) Jilid III sejauh ini tampil dengan gaya maskulin. Sesuai
dengan asal katanya, muscle, yang
berarti otot.
Istilah maskulin
menunjuk pada sifat-sifat kekuatan otot atau fisik. Karakter maskulin ini
dicirikan dengan tendensi untuk tampil menonjol, memenangkan persaingan,
aktualisasi diri—yang kadang berlebihan dan unjuk kekuatan. Maskulinitas juga
cenderung melihat pihak lain sebagai pesaing atau musuh yang akan mengancam
eksistensi dan kehebatannya, bukan sebagai mitra.
Lawan dari maskulin
adalah feminin. Istilah feminin mengacu pada ibu menyusui bayi. Di dalam
femininitas, ada kelembutan, kasih sayang, kehangatan dan kebersamaan,
kehalusan rasa, dan kepercayaan akan masa depan. Ibu menyusui tidak
memikirkan hari ini, tapi hari esok.
Maskulinitas yang
tidak diimbangi kehadiran karakter feminin tentu berpotensi menimbulkan sisi
negatif yang tidak terkontrol seperti dominasi, eksploitasi, syahwat
menguasai, intimidasi, tekanan, dan sejenisnya. Dampak paling buruk adalah
tendensi untuk melakukan ”kekerasan” dan ”menghalalkan segala cara” untuk
mencapai keunggulan.
Sisi maskulin KPK
tampak dari kewenangan yang cenderung diselenggarakan secara eksesif, kurang
akuntabel, tidak proporsional, antikritik, dan mengutamakan kemenangan
semata. KPK juga tampak ingin tampil dominan, cenderung menguasai, enggan
berkoordinasi, dan meremehkan institusi lain.
Belakangan publik
menyaksikan terjadi ontran-ontran di KPK karena kehadiran pimpinan yang
ambisius, haus kekuasaan, tidak taat asas dan menyusupkan kepentingan
pribadi, serta integritasnya ternyata meragukan. Tidak sesuai dengan slogan
KPK, Berani Jujur Hebat. Kita bisa mempelajari beberapa hal yang bisa disebut
sebagai penanda maskulinitas KPK pada tataran praksis.
Pertama, KPK sangat mengutamakan
penindakan. Undang-undang menugaskan KPK bukan hanya untuk menindak, tetapi
juga mencegah. Sejauh ini citra KPK dibangun di atas rezim penindakan yang
sangat ditonjolkan. Pada lahan penindakan itu pula popularitas dan
kepercayaan publik kepada KPK ditanam salah satunya lewat operasi tangkap
tangan.
Dengan aksi penindakan
yang dikedepankan, popularitas, citra kelembagaan, dan kepercayaan publik
kepada lembaga KPK dibangun, termasuk kepada personalianya. Padahal, ada
fungsi-fungsi lain seperti koordinasi, supervisi, pencegahan, dan monitoring
yang tenggelam oleh hingar-bingar penindakan.
Kedua, kreasi dan
pendayagunaan pengadilan opini. Pengumuman status tersangka, pemanggilan
saksi-saksi, atau penggeledahan misalnya adalah bagian dari rangkaian kerja
penting dalam proses hukum di KPK untuk sejak awal menggiring seseorang wajib
bersalah.
Penahanan tersangka
juga menjadi ritual yang dipasarkan, menjadi semacam reality show. Lahirlah kemudian istilah ”Jumat keramat”. Siapa
saja yang menjadi tersangka dan atau ditersangkakan KPK sejak awal sudah
diadili oleh pemberitaan yang diorkestrasi sedemikian rupa sehingga sudah
bersalah sebelum persidangan.
Teater opini ini juga
cenderung menyudutkan hakim untuk dapat mengambil putusan secara jernih dan
mandiri. Konstruksi opini bersalah yang sudah terbangun sejak awal adalah
tembok tebal yang acapkali menghalangi hakim untuk menjalankan ”tugas ketuhanannya”
secara benar dan adil.
Ketiga, selama ini ada
kesan kuat bahwa cara-cara yang ditempuh KPK dalam memeriksa, menggeledah,
menyita, mendakwa, dan menuntut dilakukan secara berlebihan. Perlakuan
terhadap para tahanan juga tidak sama dengan rumah tahanan pada umumnya.
Ihwal demikian dilakukan untuk menguatkan citra bahwa KPK adalah lembaga
khusus dan sangat perkasa, tidak tertandingi dan tidak terkalahkan.
KPK memegang dan
menyelenggarakan kewenangan yang identik dengan klaim kebenaran. Konsekuensi
lebih lanjut dari maskulinitas itu adalah fokus KPK mengejar kemenangan
terhadap terdakwa sebagai target dan bukan lagi memuliakan keadilan. Dengan
mazhab ”wajib menang”, segala cara ditempuh agar rekor tak terkalahkan bisa
dijaga.
Kadang di persidangan
yang terjadi bukan kontestasi bukti-bukti hukum dan kebenaran untuk
menghasilkan keadilan, melainkan pencapaian tujuan kemenangan. Dalam beberapa
kasus tampak jelas fokus KPK pada tujuan pemujaan kemenangan ini. Ihwal
demikianlah yang membuat KPK seolah ingin tampil sendirian dan meninggalkan
kejaksaan dan kepolisian.
Tampil secara ”solo”
dan bukan ”trio” cenderung menjadi pilihan cara kerja KPK. Apalagi ini selalu
didukung oleh publik yang terkesima oleh citra KPK sehingga bisa maklum dan
toleran jika KPK melakukan ketidakpatutan dan kekeliruan.
Berani Feminin Hebat
Lalu, bagaimana KPK
yang tampil feminin? Feminin bukan dimaknai sempit dengan menunjuk pada sosok
perempuan. Feminin bukan pula berarti lembek, lunak, dan lemah. Sebaliknya,
perempuan mengajarkan kekuatan sejati. Mengandung dan melahirkan adalah tugas
berat dan tak jarang harus melewati ambang antara hidup dan mati.
Femininitas adalah
ketulusan menunaikan tugas dan tanggung jawabnya secara lurus dan adil
seperti seorang perempuan menjalankan tugasnya. Nilai keperempuanan juga
mencakup sikap tegas dan terukur, proporsional dan tidak ”sok kuasa”,
dilandasi cinta dan kelembutan.
Femininitas KPK adalah
menyelenggarakan kewenangan pemberantasan korupsi berdasarkan spirit cinta
Tanah Air, cinta pemerintahan bersih dan menjauhkan diri dari
kebencian-kebencian yang tidak perlu, berlebih-lebihan, apalagi terseret
masuk pada urusan dan kepentingan pribadi. Untuk itu, ada sejumlah langkah
yang harus ditempuh lembaga KPK yang didukung bersama ini.
Pertama, KPK haruslah
berani menunaikan tugasnya secara menyeluruh dan seimbang, baik fungsi
koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, maupun monitoring. Yang paling
penting ditekankan adalah keseimbangan antara pencegahan dan penindakan.
Meski fungsi pencegahan sunyi dari pemberitaan dan hampir tidak mempunyai
insentif popularitas bagi lembaga dan pribadi, jalan ini haruslah ditempuh.
Bukan hanya karena
perintah UU, melainkan juga dari titik inilah ada harapan besar agar ”lahan”
korupsi makin lama makin sempit. Kalau hanya berkutat pada penindakan dan
kurang serius terhadap pencegahan, tidak ubahnya sebagai kesengajaan untuk
mengawetkan sumbersumber terjadinya korupsi. Dengan bekerjanya fungsi
pencegahan secara baik, pendekatan proses diperlakukan sama berharganya
dengan hasil.
Kedua, KPK harus
berani taat asas dan menempuh penegakan hukum melalui metode yang tepat untuk
menegakkan keadilan. Mandat KPK memang menegakkan hukum dalam konteks
pemberantasan korupsi. Tetapi, di atas itu ada nilai keadilan. Tujuan
keadilan haruslah dimuliakan melampaui penegakan hukum. Bukan sebaliknya,
menegakkan hukum dan menjalankan pemberantasan korupsi dengan ”kacamata kuda”
dan menerabas sisi keadilan.
Apalagi, memaksakan
dan mencari-cari kesalahan. Tidaklah relevan mempertahankan prinsip
”menghalalkan segala cara” untuk menegakkan hukum dan pemberantasan korupsi.
Tujuan kebaikan baik musti diselenggarakan dengan cara yang baik pula.
Bagaimana dengan komisioner perempuan? Tentu saja nilai feminin tidak wajib
dihadirkan dalam sosok perempuan secara fisik.
Tetapi, sosok
perempuan lazimnya lebih familier dan menghayati karakter feminin. Dari lima
orang pimpinan KPK Jilid IV nanti, kehadiran komisioner perempuan boleh jadi
akan membawa cuaca baru. Yang lebih penting adalah harus berani adil dan
setia pada khitah awal pembentukan KPK dan menunaikan tugas secara lurus,
adil, dan bertanggung jawab. Tak diragukan Indonesia membutuhkan KPK.
Kita mendukung KPK
yang berani, lurus, dan rendah hati. Bukan KPK yang suka dumeh (Jawa: mentang-mentang) dan bergaya sopo siro sopo ingsun (Jawa: siapa kamu, siapa saya). KPK yang
feminin, bukan maskulin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar