FIFA,
Gangster, dan Korupsi
Djoko Susilo ; Dubes RI di Bern 2010–2014
|
JAWA POS, 30 Mei 2015
TIDAK diragukan lagi,
Swiss adalah negara yang terkenal sangat bersih, baik dalam arti kebersihan
yang riil maupun sistem birokrasi yang bersih dari korupsi. Karena itulah,
banyak perusahaan Eropa, Jepang, Korea, Timur Tengah, dan Amerika Serikat
yang menempatkan kantor perwakilan di Swiss. Orang asing pun lebih senang
mendirikan bisnis dengan berbasis di Swiss. Selain pajak di negeri itu lebih
miring daripada negara Eropa lainnya, mereka merasa aman dan nyaman serta ada
kepastian perlindungan hukum. Walhasil, kondisi itu menjadikan negara kecil
di Pegunungan Alpen tersebut sebagai sebuah negara yang supermakmur serta
sangat aman dan nyaman untuk tinggal.
Jaminan kepastian
hukum dan kenyamanan berusaha menjadi menarik bukan saja bagi para pengusaha,
tetapi juga organisasi internasional kelas dunia, untuk bermarkas di Swiss.
Salah satu di antaranya adalah FIFA, Federasi Sepak Bola Internasional.
Bertahun-tahun organisasi itu menikmati berbagai macam kemudahan sehingga
seolah-olah punya kekebalan hukum di Swiss. Namun, sudah lama para pemimpin
Swiss gelisah dengan makin banyaknya organisasi yang berbasis di Swiss yang
seolah-olah merasa kebal hukum. Itulah sebabnya, sekitar dua atau tiga tahun
lalu Bundesrat atau DPR Swiss mengesahkan undang-undang yang menyatakan bahwa
semua organisasi internasional yang bermarkas di Swiss harus patuh dan tunduk
terhadap hukum Swiss dengan sedikit pengecualian. Organisasi yang
dikecualikan adalah yang dibentuk berdasar perjanjian internasional
antarnegara, di mana pejabat dan staf internasionalnya menikmati hak
kekebalan diplomatik sebagaimana diatur oleh Konvensi Wina tentang perjanjian
diplomatik. Yang termasuk kelompok itu adalah PBB, WHO, WTO, dan sebagainya.
Jelas FIFA, Komite Olimpiade Internasional, dan sebagainya tidak termasuk
yang memiliki hak kekebalan diplomatik serta ekstrateritorialitas. Jadi,
sangat aneh jika PSSI tidak mau tunduk kepada pemerintah RI, tapi hanya mau
tunduk kepada FIFA. Padahal, FIFA harus patuh dan tunduk kepada hukum Swiss.
FIFA saja di Swiss tidak punya hak ekstrateritorial, tetapi PSSI merasa
seperti negara dalam negara karena hanya mau diatur oleh FIFA.
Di mata masyarakat
Swiss, FIFA sudah lama kehilangan respek dan wibawanya. Hal itu dimulai dari
Sepp Blatter sendiri. Wartawan koran Blick am Abend pernah menemui Sepp
Blatter dan menanyakan alamat KTP-nya. Blatter, yang sehari-hari tinggal di
apartemen mewahnya dengan nilai sewa per bulan sekitar CHF 8.000 atau hampir
Rp 120 juta per bulan itu ternyata kebingungan. Dia tidak tahu persis alamat
KTP-nya. Sampai tiga kali wartawan koran Swiss itu menanyakan, Blatter tetap
tidak bisa menjelaskan. Akhirnya, wartawan tersebut membantu mengingatkan
Blatter bahwa alamat KTP-nya di Kota Appenzell yang jauh dari apartemen yang
ditinggalinya sehari-hari di Kota Zurich. Blatter memilih menggunakan alamat
KTP di Appenzell dan bukan Zurich karena pajak pendapatan yang harus
dibayarnya akan jauh lebih murah. Secara teknis, hal itu di Swiss termasuk
perbuatan ilegal meski belum tentu bisa dipidanakan.
Blatter, meski sudah
tua, hampir 79 tahun, ternyata masih senang berpacaran. Menurut Andrew Neill,
wartawan Inggris yang membongkar habis korupsi FIFA di bukunya yang berjudul
Foul, pacar-pacar Blatter kalau shopping dan traveling masih sering minta
dibayari oleh FIFA. Jelas itu merupakan tindakan tidak etis. Sebab, di Swiss
seorang pejabat tidak mengajak istri atau kerabatnya, apalagi pacarnya,
melakukan perjalanan dinas dengan dibayari kantornya. Tapi, untuk Blatter,
hal itu dianggap biasa mengingat jasa-jasanya. Selama 17 tahun berkuasa di
FIFA, Blatter sudah kawin cerai tiga kali. Jumlah itu termasuk rekor di
Swiss.
Blatter mempunyai
reputasi yang buruk di mata masyarakat Swiss. Seorang sahabat saya, profesor
bidang politik dan mantan wartawan Swiss yang tinggal di Basel, menyebut FIFA
sebagai kebobrokan yang sulit diluruskan. Masalahnya, Blatter selalu
menggunakan orang lain dalam melakukan berbagai aksinya. Posisi sebagai
presiden FIFA sangat bergengsi dan berkuasa. Kecuali di Amerika Serikat dan
Kanada, sepak bola punya pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat di mana
saja. Honduras dan El Salvador pernah terlibat peperangan sengit karena
persoalan sepak bola. Di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, bahkan Rusia,
Blatter dan pejabat teras FIFA selalu menerima perlakuan VVIP dari pemerintah
setempat.
Heidi Blake dalam
bukunya, The Ugly Game, menyebutkan
bahwa Blatter ketika berkunjung ke Qatar menjelang penunjukan negara itu
sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 mendapat fasilitas tidak ubahnya seorang
kepala negara. Bahkan, sahabatnya, Bin Hammam, yang saat itu merupakan
presiden AFC, dengan senang hati meminjamkan jet pribadinya jika Blatter
memerlukan untuk keliling Afrika. Apa yang dilakoni Blatter itu tampaknya
sesuai dengan adagium terkenal yang dibuat Lord Acton, ”Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely.”
Selama 17 tahun kekuasaan, Blatter memang tidak tertandingi. Siapa pun yang mencoba
melawannya akan terjungkal, termasuk Bin Hammam, mantan orang dekat Blatter
yang memberanikan diri melawan Blatter dalam Kongres Luar Biasa FIFA 2010.
Sistem kekuasaan di
FIFA itu tampaknya belakangan diikuti oleh PSSI. Kita semua tahu bahwa pada awal
sejarahnya, PSSI dibentuk sebagai alat perjuangan dan bersikap sukarela. Bisa
dipastikan tidak ada sogok-menyogok untuk menjadi pengurus PSSI di semua
tingkat. Membangun klub bola pun hanya berdasar hobi dan kecintaan terhadap
permainan itu. Di Surabaya dulu, orang dengan sukarela menyumbang untuk klub
kesayangannya, Persebaya. Juga di berbagai daerah lain di Malang untuk klub
Persema, di kampung saya Boyolali untuk klub Persebi. Organisasi bola hidup
karena adanya rasa sukarela dan setia kawan. Jauh sekali motif profit dan mau
menang sendiri.
Kerusakan di tubuh
PSSI dan organisasi bola atau klub bola mulai terasa ketika bentuk organisasi
dari perserikatan berubah menjadi perusahaan dengan alasan demi
profesionalitas. Tapi, itu semua hanya kamuflase. PSSI tidak berhasil
mengembangkan good corporate governance
dan sportivitas dalam sepak bola. Buktinya, meski sudah bertahun-tahun
dibentuk dan diselenggarakan ISL atau Ligina atau nama apa pun yang sejenis,
PSSI tidak pernah menertibkan akta, kontrak pemain, NPWP, dan berbagai macam
tugas yang bertujuan memprofesionalkan sepak bola Indonesia. Namun, para
pengurus PSSI lebih sibuk power play dan tidak melakukan tugas organisasi
sebagaimana mestinya. Para bos PSSI ingin seperti bos di FIFA yang tanpa
kerja kerasnya menjadikan sepak bola the
beautiful game.
Ekses
populernya sepak bola, di banyak negara para gangster mulai memengaruhi klub
bola. Baik sebagai pemilik, pengatur skor, atau pelaku tindakan tidak terpuji
lainnya. Di Indonesia, memang gangsterisme belum tampak jelas dalam permainan
bola. Tetapi, indikasinya sudah mulai mencemaskan, termasuk adanya permainan
skor atau sepak bola gajah. Sebelum hal itu berdampak lebih merusak,
sebaiknya dibongkar total dengan cara merombak habis pengurus PSSI sampai akar-akarnya.
Gangster dan mafia tidak boleh hidup di Indonesia. Tugas pemerintah melalui
Kemenpora adalah menumpas habis mereka semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar