Jumat, 05 Juni 2015

Ayo (Jangan) Mondok

Ayo (Jangan) Mondok

Ahmad Sahidah  ;   Dosen Filsafat di UUM Malaysia; Alumnus Annuqayah
JAWA POS, 04 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
GERAKAN #AyoMondok sempat menjadi topik hangat teratas (trending topic) di media sosial Twitter. Itu menunjukkan bahwa ada banyak orang yang menyahuti seruan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama (NU), baik dari santri, mantan santri, maupun khalayak, untuk mengajak masyarakat menyekolahkan anaknya ke pondok pesantren. Namun, pada waktu yang sama, akun @hafidz_ ary sempat memantik kegusaran. Sebab, pemilik akun kontroversial tersebut menyatakan bahwa kaum ”sepilis” (sekularis, pluralis, dan liberalis) atau Jaringan Islam Liberal telah menunggangi ajakan itu untuk mengukuhkan pendirian dan kedudukannya. Tak pelak, kicauan sanggahan saling bersahutan dan berhamburan.

Bagaimanapun, keduanya berpijak pada cara berpikir yang tak sama, yakni gaya harfiah dan kontekstual. Terkait Tuhan, misalnya, jelas mengandaikan pemikiran yang sama sekali bertolak belakang, yang pertama persona dan yang kedua tidak. Di sinilah silang sengkarut bermula dan pada gilirannya perdebatan tak produktif.

Lalu adakah pengajaran dan pembelajaran pondok terkait dengan isu-isu yang diributkan kelompok-kelompok di atas? Tidak. Kebanyakan pesantren berlatar belakang Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) berada di pelosok desa. Mereka masih merawat warisan lama seraya menjaga agar tradisi tetap lestari.

Aplikasi Tauhid

Ketika belajar di Pondok Annuqayah, saya belajar ilmu tauhid melalui kitab Aqidah al-Awam dan alHushun al-Hamidiyyah. Sebagai pelajar setingkat sekolah menengah, saya berpikir sederhana tentang Tuhan. Dia adalah Mahasegala serta mempunyai sifat wajib dan mustahil. Dengan menghafal sifat 20, saya tak perlu lagi berpikir keras untuk memahami atribut Tuhan selogis mungkin karena ada penghalang bahwa filsafat tak sepenuhnya bisa menjangkau teologi. Setelah belajar di perguruan tinggi, baru saya menekuri soal ketuhanan di jurusan akidah dan falsafah dengan pendekatan kritis, yang acap membuat miris.

Dengan pemahaman yang sederhana, ketundukan pada Tuhan merembes pada ketaatan pada kiai. Dulu kami berusaha keras mematuhi aturan pondok seperti hadir dalam salat berjamaah dan pengajian kitab kuning. Selagi kiai tak ada kegiatan di luar pondok, sosok panutan itu akan senantiasa memimpin sembahyang bersama di surau. Dia mengajarkan ketenangan (thuma’ninah) melalui perbuatan.

Tak hanya terkait ibadah, para santri juga berhamburan ke luar bilik bila ada pengumuman agar mereka keluar untuk mengangkut batu sebagai fondasi bangunan fasilitas pondok. Dengan riang mereka bertempiaran menuju bukit untuk memindahkan bongkahan batu. Kegiatan itu jelas merupakan praktik lapangan bagaimana santri nanti bersikap empati dan peduli terhadap kepentingan bersama tanpa pamrih. Hidup tak melulu transaksi, tapi juga bakti. 

Bagaimanapun, sekolah yang hendak menjadikan murid berkarakter yang baik mestilah memenuhi lima syarat, seperti diandaikan Rita dan Kenneth Dunn, yang di antaranya meliputi kecerdasan fisiologis dan kematangan psikologis.

Menjawab Tantangan

Citra pondok pesantren yang menjadikan pelajaran agama sebagai keutamaan tak dapat dielakkan. Dalam sejarah awalnya, lembaga pendidikan itu sejatinya ingin menjadi pusat kajian ilmu keislaman, yang dulu terbatas pada ilmu-ilmu klasik seperti tafsir, ushul fiqh, fikih, dan hadis. Namun, KH Hasyim Asy’ari telah menyenaraikan bahan ajar umum seperti bahasa dan matematika sebagai tambahan untuk meluaskan wawasan santri. Pada akhirnya, institusi tersebut tak lagi membatasi jurusan agama, malah menambah jurusan umum untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Tak pelak, banyak lembaga pesantren yang membuka universitas dengan berbagai jurusan umum seperti pertanian, keperawatan, dan teknik. Itu membuktikan bahwa pondok tak alergi terhadap perubahan dan pada waktu yang sama agama tak lagi dikerangkeng dalam ide-ide kitab klasik yang membayangkan citra khas santri: beserban, bersongkok, dan bersarung. Hari ini santri bisa tampil sebagai pekerja profesional dengan bidang yang pernah digeluti di pesantren. Pada akhirnya, pemisahan sekolah pondok dan umum tak menjadi penghalang untuk menyuburkan nilai-nilai etik sebagai tujuan tertinggi dari kehidupan beragama.

Hanya, era reformasi membuka keran kebebasan berekspresi warga. Tak hanya terkait ide-ide sekuler, ide keagamaan pun menyerbu dari segala penjuru dunia. Aliranaliran baru yang dulu meniarap sekarang berani terang-terangan. Tak hanya bergerak di jalan, kelompok-kelompok eksklusif itu juga membangun lembaga pendidikan pondok. Tiba-tiba di sebuah perkampungan telah berdiri megah sebuah masjid dan asrama, yang menjadi tempat belajar sekelompok santri dengan pemahaman yang beraliran keras. Karena kehadirannya mengusik orang kampung, lembaga yang berdiri tak jauh dari Kota Jember tersebut ditentang dan akhirnya tutup.

Karena itu, khalayak mesti mawas diri dengan keberadaan pondok-pondok baru yang tibatiba berdiri megah. Bukannya menjadi oase, kehadirannya justru membuat resah. Sebab, santri, ustad, dan pengasuhnya tampil secara eksklusif dan mencekoki anak didiknya dengan doktrin tertutup. Pengalaman seorang ibu dari Jember yang ”kehilangan” anaknya patut menjadi pelajaran. Pasalnya, setelah mondok, si buah hati tiba-tiba berubah sikap dengan menyebut NKRI sebagai kafir. Dia ingin lari dari negara tempatnya lahir dan pergi ke negara Islam. Sikap ketus pada kedua orang tuanya makin menggenapi kegalauan ibu-bapaknya. Untungnya, sebelum bertindak jauh, si anak ditarik dari ustad yang menjadikannya durhaka kepada orang tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar