Anomali
Demokrasi
Yasraf Amir Piliang ; Pemikir
Sosial dan Kebudayaan
|
KOMPAS, 03 Juni 2015
Setiap pergantian
rezim selalu menjanjikan harapan perubahan masa depan. Gagasan "revolusi
mental" yang diusung Joko Widodo-sebagai panduan perubahan, dan menjadi
agenda Kabinet Kerja-telah membentangkan jutaan harapan rakyat Indonesia bagi
perubahan cepat, segera, dan radikal di aneka bidang: penegakan hukum,
pemberantasan korupsi, pembangunan kualitas manusia, dan peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Akan tetapi, setiap
perubahan menuntut "kekuasaan nyata", yaitu pemimpin yang dituruti,
diikuti, dan dipatuhi secara nyata, bukan sekadar simbolik. Kekuasaan semacam
ini diharapkan mampu menciptakan kedisiplinan, kepatuhan, dan loyalitas
terhadap otoritas kekuasaan sebagai syarat mutlak perubahan. Bila kekuasaan
nyata ini tak bekerja, perubahan akan bergerak seperti bola liar, yang dapat
membawa kepada situasi ketakpastian dan kaos.
Sayangnya kekuasaan
nyata itu tak mampu ditunjukkan Jokowi. Berbagai ketakpatuhan,
ketakdisiplinan, dan ketaktaatan diperlihatkan bawahannya, yang menunjukkan
degradasi kekuasaan tertinggi negara. Di pihak lain, ada semacam
"kekuasaan tak tampak", yang meski tak terlihat, tetapi mampu
menunjukkan efek kekuasaannya dalam "mengendalikan" dan
"mengarahkan" perubahan.
Anomali kekuasaan
Kekuasaan sangat
sentral dalam setiap perubahan karena perubahan perlu kekuatan pendorong,
energi dan mesin penggerak. Makna kekuasaan paling luas adalah "potensi
bagi perubahan", yaitu kemampuan mencapai tujuan bersama, baik pada
tingkat keluarga, kelompok, organisasi, lembaga keagamaan, perusahaan, partai
politik, dan negara-bangsa. Kekuasaan adalah "kapasitas' untuk mengubah
potensi menjadi kenyataan. (Boulding
1989)
Kekuasaan
"normal" dalam sistem demokrasi ditunjukkan oleh kemampuan otoritas
kekuasaan merealisasikan segala potensi bagi perubahan, yang ditampakkan pula
oleh kedisiplinan, kepatuhan, dan ketaatan aparat-aparat negara yang terlibat
di dalamnya, serta berfungsinya aparatus negara yang ada. Dalam hal ini,
"kapasitas" bagi perubahan ditunjukkan efektivitas relasi tiga
unsur perubahan: pemimpin tertinggi, aparat, dan aparatus.
"Aparatus"
adalah segala sesuatu yang memiliki kapasitas mengarahkan, menentukan,
memodelkan, mengendalikan atau mengamankan gestur, perilaku, opini atau
wacana yang berkaitan dengan perubahan. Di antara aparatus ini adalah
sekolah, ruang pengadilan, penjara, tempat ibadah, ruang rehabilitasi, istana
presiden, persenjataan, UU, bahkan tulisan, filsafat, karya seni, media, dan
bahasa. Aparatus adalah "kendaraan" di mana kekuasaan
dimanifestasikan. (Agamben 2009).
"Anomali
kekuasaan" adalah penyimpangan dari relasi kekuasaan yang
"normal", ke arah yang "abnormal". Di sini ada distorsi
kepada otoritas kekuasaan, ketika fungsi kekuasaan nyata diambil alih
kekuatan-kekuataan tak tampak, di mana, ironisnya, para aparat negara justru
patuh kepada kekuatan tak tampak ini. Kondisi ini menyebabkan aparatus negara
tak berfungsi normal karena digerogoti kekuatan-kekuatan tak tampak itu.
Fungsi
"normal" aparat hukum seperti kepolisian adalah menegakkan aturan
hukum demi kebenaran. Anomali hukum adalah penyimpangan fungsi aparat hukum,
yang alih-alih menegakkan hukum, justru melindungi kepentingan korps mereka,
khususnya atas tuduhan keterlibatan korupsi. Anomali tingkat aparat ini
menggiring pula kepada anomali di tingkat aparatus hukum, yang kini tak lagi
mengarahkan perilaku, opini atau wacana ke arah pengungkapan kebenaran,
tetapi malah memalsukan kebenaran.
Di dalam sistem pemerintahan
demokratis, sistem kekuasaan tak hanya terbagi secara horizontal sebagai
manifestasi prinsip check and balance
(legislatif, eksekutif, dan yudikatif), juga secara vertikal bersifat
hierarkis. Fungsi aparat adalah menjalankan tugasnya sebatas otoritasnya,
dengan mematuhi otoritas kekuasaan lebih tinggi. Anomali kekuasaan adalah
ketika otoritas kekuasaan lebih rendah tak patuh kepada otoritas di atasnya,
seperti yang ditunjukkan aparat kepolisian.
Anomali kekuasaan pada
rezim pemerintahan Jokowi ditandai anomali kekuasaan horizontal dan vertikal
sekaligus. Di satu sisi, otoritas kekuasaan lebih rendah tak patuh kepada
kekuasaan lebih tinggi, seperti ditunjukkan aparat kepolisian. Di sini lain,
ada intervensi sistem kekuasaan yang setara, seperti yang ditunjukkan Menteri
Hukum dan HAM terhadap lembaga yudikatif.
Skeptisisme politik
Relasi kekuasaan
demokratis yang ditunjukkan melalui aktivitas kepemerintahan menentukan
kualitas demokrasi. Otoritas kekuasaan tak saja harus ditunjukkan secara
penuh, utuh, berkesatuan, konsisten, dan berkelanjutan, tetapi juga tak
mengandung unsur ambiguitas, ambivalensi, dan kontradiksi. Kekuasaan tak
mungkin mengandung dua sifat kontradiktif sekaligus: berkuasa sekaligus tak
berkuasa, memerintah sekaligus diperintah, melarang sekaligus menyuruh.
Ambiguitas adalah
kekacauan makna dalam bahasa. Padanannya dalam perilaku adalah ambivalensi,
yaitu keadaan mengambang di antara dua tindakan. Kata-kata ambigu biasanya
adalah turunan dari perilaku ambivalen. Ironisnya, ambiguitas ucapan dan
ambivalensi tingkah laku ini yang menandai rezim sekarang ini: ucapan ambigu
("tidak akan impor beras", tetapi "boleh impor beras') dan
tindakan ambivalen (meminjam ke Bank Dunia, tetapi meminta dihapuskan Bank
Dunia).
Ambiguitas dan
ambivalensi sangat memengaruhi tingkat "keterpercayaan" kepada
elite kekuasaan. Keterpercayaan adalah ekspektasi masyarakat akan perilaku
yang konsisten dan benar berlandaskan norma-norma bersama. Sebaliknya,
ambiguitas menunjukkan inkonsistensi, yang dapat melunturkan kepercayaan.
Ambiguitas ucapan dan ambivalensi tindakan adalah dua aspek yang berpotensi
menumpuk akumulasi ketakpercayaan kepada rezim pemerintah sekarang.
Keterpercayaan adalah
fondasi politik demokratis karena ia merupakan akar dari keyakinan akan
kapasitas, kompetensi, dan kemampuan seorang elite politik. Karena itu, di
dalam politik ada semacam "politik keyakinan", yaitu semacam
vitalitas yang memberi masyarakat politik semacam optimisme kolektif akan
kapabilitas dan kapasitas sebuah rezim kekuasaan dalam mencapai tujuan atau
cita-cita bersama masyarakat-bangsa, melalui otoritas kekuasaan yang
dimiliki.
Sebaliknya,
"politik skeptisisme" menumbuhkan ekspektasi bahwa tujuan bersama
tak mungkin tercapai karena aneka prasangka, benturan, konflik,
ketakharmonisan di antara aparat dan institusi- insitusi politik tak mampu
diselesaikan pemegang kekuasaan tertinggi.
Tak berfungsinya
otoritas tertinggi kekuasaan tampak dalam pembiaran "kriminalisasi"
kepada lembaga negara, seperti KPK oleh kekuatan-kekuatan "tak
tampak", yang tetap terjadi hingga kini. Anomali kekuasaan dan
ketakmampuan menunjukkan kekuasaan nyata oleh pemimpin tertinggi,
dikhawatirkan akan menyebabkan eskalasi dan meluasnya sikap skeptisisme dan
menumpuknya ketakpercayaan rakyat kepada otoritas kekuasaan, yang pada
gilirannya dapat mengancam kelanjutan rezim pemerintah.
Untuk
menghentikan eskalasi skeptisisme dan akumulasi ketakpercayaan, Jokowi
dituntut berpikir keras dan serius untuk menemukan cara memulihkan
kekuasaannya, khususnya untuk menghentikan mesin-mesin kekuatan tak tampak
yang merongrong otoritasnya. Hanya dengan cara itu dapat ditunjukkan kharisma
kekuasaannya dalam memimpin, mengarahkan, memandu, menyelesaikan, memberi
solusi, dan memutuskan berbagai masalah negara-bangsa di atas kekuatan diri
sendiri sebagai pemimpin tertinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar